Ketika Karikatur Menjadi Cara Mengeritik Kepala Negara

Menjadi pemimpin yang dicintai tidak berarti harus selalu hanya terima pujian dan penghargaan. Karena cinta itu tidak buta. Rakyat, LSM, Pers juga berkewajiban mengawal negara.

Kamis, 19 September 2019 | 20:06 WIB
0
615
Ketika Karikatur Menjadi Cara Mengeritik Kepala Negara
Cover Tempo tentang Presiden Joko Widodo (Foto: Dok. pribadi)

Mengkritisi seorang pemimpin negara tentu banyak cara dan gaya. TEMPO minggu ini menempuh cara karikatur dalam mengkritisi Pak Jokowi lewat cover story Majalah Mingguan mereka. TEMPO menampilkan karikatur wajah Presiden Jokowi dengan bayangan Jokowi berhidung Pinokio. Jokowi berhidung panjang. Bayangan wajah Jokowi yang diumpamakan seperti wajah Pinokio si boneka kayu buatan Kakek Gepetto yang menjelma menjadi anak kecil laki-laki yang berhidung panjang kalau sedang berbohong.

Bagaimana seseorang bisa punya wajah yang berbeda dengan bayangannya? Itu aneh tapi nyata. Mengundang senyum. Siapa yang tak kenal tokoh Pinokio di masa kecilnya? Dan, kemudian, gambar karikatur wajah Pak Jokowi yang punya wajah bayangan Pinokio itu menjadi viral, melintas semua medsos dan jaringan grup whatsapp.

Sepertinya, karikatur Tempo itu menjadi jawaban bagi sekelompok orang yang peduli pada KPK karena mewakili suara hati mereka. Kenapa karikatur itu disukai? Karena gambar karikatur itu jadi fenomena keajaiban alam. Mana mungkin wajah seseorang berbeda dengan wajah dalam bayangannya, bukan?

Di sisi lain, karikatur itu juga menjadi senjata menarik para pecinta Jokowi kelompok lain yang tak terima kalau Jokowi dibuat punya bayangan wajah berhidung Pinokio nan panjang. Disebut tu penghinaan terhadap kepala negara. Penghinaan terhadap lambang negara. Bahwa itu tidak pantas dilakukan siapapun. Sedemikiankah nistanya TEMPO si pembuat karikatur seperti itu?

Karikatur wajah Jokowi berbayangan hidung Pinokio menjadi pisau bermata dua. Sisi mata pisau yang satu dipakai untuk mengkritisi Presiden Jokowi dalam mempertanyakan konsistensinya terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia lewat tangan KPK. Sisi lainnya, dipakai tangan yang lain untuk menghabisi orang yang bikin produk seni karikatur Jokowi berhidung Pinokio sebagai pelaku penghinaan Kepala Pemerintahan dan lambang negara.

Baca Juga: Dua Pinokio di Cover Tempo

Semua punya alasan dan nilai moral yang berbeda. Semua benar dengan dasar pemikiran masing-masing. Semua mencintai Indonesia dengan caranya masing-masing. Tapi tidak semua memahami kritik yang dibungkus dengan gaya karikatur jurnalisme. Inilah yang menurut saya harus dibetulkan.

Saya menyebut inilah yang disebut seni berhumor satir dalam bentuk karikatur. Humor pedas nan cerdas. Ada juga banyak cara lain yang rakyat lakukan yang dalam mengkritik pemimpin pemerintahannya. Ada yang membuat patung, filem, drama, pertunjukkan teater, tulisan opini, puisi dan lagu.

Semua memerlukan kecerdasan ketika merancang dan membuatnya, demi sebuah pesan yang sampai di publik, yang harus ditangkap dengan jiwa besar kepada orang yang dikritik. Semua adalah bagian dari demokrasi, kebebasan menyampaikan pendapat dan berekspresi. Aspirasi kritik dan koreksi itu mahal dan sangat diperlukan. Tanpa itu, pemerintahan negara akan berjalan tanpa norma, nilai moral, dan kehilangan sukma.

Kalau itu semua diharamkan karena dihitung sebagai penghinaan terhadap lambang negara, menurut saya, itu sangat kontraproduktif, terkesan arogan, bikin rakyat yang menyaksikan itu lambat laun tambah benci dan muak.

Bukankah mengkritik dan menyampaikan aspirasi itu wajar dalam berdemokrasi? Asal dikemas dengan kreativitas cerdas dan bertanggungjawab, menurut saya itu sangat baik. Itu artinya negara tersebut memiliki sistim demokrasi yang sehat dan bekerja dengan baik.

Menurut saya, Pak Jokowi memang harus dikritik, apalagi oleh para pemilihnya dan pendukungnya. Kenapa? Karena tentu para pemilih dan pendukung tidak mau Presiden Jokowi pemerintahnya salah jalan atau jatuh.

Kritik dan koreksi itu bagus untuk dilihat sebagai tanda cinta rakyat pada negara dan proses penyelenggaraan negara, dalam dimensi yang berbeda. Inilah cara lain rakyat, dalam hal ini pers, untuk berpartisipasi dalam menyampaikan pendapatnya di hadapan publik.

Baca Juga: Klarifikasi Dua Sampul Majalah Tempo yang Kontroversial

Menjadi pemimpin yang dicintai tidak berarti harus selalu hanya terima pujian dan penghargaan. Karena cinta itu tidak buta. Rakyat, LSM, Pers juga berkewajiban mengawal negara. Kalau Presiden hanya senang dipuji-puji juga aneh. Sejauh ini, saya tidak (atau belum) mendengar Pak Jokowi menyampaikan keberatannya akan gambar karikatur TEMPO ini kepada Dewan Pers.

Saya menulis ini bukan karena solidaritas semata terhadap pers. Saya menulis ini karena saya juga peduli pada KPK, sebuah lembaga anti korupsi yang menjadi tumpuan harapan rakyat Indonesia. KPK yang bersih dari intrik, pesanan, titipan, dan kepentingan politik.

Menurut saya, ketika semua sudah menjadi bagian dari masalah atau terlibat terlalu jauh ke dalam pusaran, adalah tugas dan tanggungjawab Pers juga untuk mengkritisinya. Beginilah saya melihat TEMPO dan karikatur wajah bayangan Pak Jokowi berhidung Pinokio.

Pers Indonesia adalah salah satu institusi terhormat yang bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara yang aman, tertib dan bersih. Negara tanpa Pers yang rajin mengkritik juga bakal berjalan menuju kehancuran. Masa cuma ada ekskutif, yudikatif, dan legislatif saja? Pers, lewat medianya, adalah mata, telinga dan mulut rakyat.

Pers yang bertanggungjawab, lewat publikasi medianya dapat menjadi dirinya bagian dari proses mengubah peradaban suatu bangsa menuju ke arah yang lebih baik. Pers itu, lewat medianya, adalah guru bangsa, ketika ia mempublikasikan sesuatu dengan jujur, berani, tidak berpihak dan dengan data dan informasi akurat.

Tentunya apabila, di atas semua itu, pers dapat menempatkan dirinya sebagai media yang independen, tak direcoki penguasa, pemilik modal dan partai politik. Meski Pers juga selalu harus juga dikoreksi dan dikritik kalau salah jalan oleh rakyat dan pemerintah.

***