Gejayan dalam Ingatan

Kentalnya suasana mahasiswa zaman dahulu yang sibuk membuat makalah, membuat karya tulis dan tugas guru dan dosen sekarang banyak menggunakan internet.

Kamis, 26 September 2019 | 18:41 WIB
0
378
Gejayan dalam Ingatan
Mahasiswa dan demo Gejayan (Foto: Alinea.id)

Hari-hari ini Gejayan seperti menggeliat di tengah isu gerakan mahasiswa, sejumlah  isu muncul terkait dengan gerakan #Gejayan Memanggil yang mendapat respon bermacam- macam. Ada yang melihat bahwa trending Gejayan memanggil lebih ke arah dugaan penyusupan pada gerakan agama terutama disinyalir dari ajakan HTI dan kelompok ektrem kanan.

Menurut isu ada kelompok berbasis agama yang ingin melakukan gerakan demonstrasi mengajak mahasiswa di Jogja untuk mulai bergerak di Gejayan. Sebuah jalan yang letaknya di Condong Catur berbatasan antara kota Jogja dan Kabupaten Sleman.

Jaman 90 an Jalan Gejayan penuh toko – toko yang sebagian besar membuka jasa foto copy dan pengetikan. Di dekat situ ada sebuah toko legendaris yang menjual alat-alat stasionery murah. Toko tersebut bernama Toko Merah. Mahasiswa UGM, Sanata Dharma, IKIP Jogja (Universitas Negeri Jogjakarta), Atmajaya,  ISI jurusan Tari dan Teater banyak yang kost di sekitar Jalan Gejayan.

Sewa kamar sederhana satu tahun sekitar 150 ribu rupiah per tahun dengan satu kamar dan mandi dengan menimba air dari  sumur.  Gang Kuwera , Selokan Mataram (Rumah Romo Mangun), Karang  Malang Gang Guru, Gang Narada lalu masuk ke dalam dengan jalan jalan unik dari negeri para raksasa pewayangan Kalabendana,Brojowikalpo, Brajamusti, Brajadenta (di belakang STM Pembangunan ), tembus ke arah Gayam dan Seturan Babarsari.

Daerah sekitar situ sebut saja daerah Mrican berada di wilayah Condong Catur (CC). Penulis masih sangat hapal jalan- jalan di sekitar Gejayan. Karena dulu biasa blusukan dengan sepeda angin. Meskipun tidak setiap hari di Jalan Gejayan (karena lebih sering PP Jogja Magelang) tetapi ingatan tentang Gejayan masih membekas.

Berbagai cerita muncul dan yang masih saya ingat, ya tentang demonstrasi yang berawal dari ajang orasi mahasiswa di depan gerbang kampus pencetak guru Sanata Dharma.  Setelah mendengarkan tuntutan reformasi dan menyerap aspirasi mahasiswa yang ingin melakukan perubahan atas dominasi orde baru yang mematikan demokrasi. Mahasiswa sudah lelah merasakan kesewenangan orde baru ditambah dengan krisis ekonomi yang melanda dunia.

Mahasiswa dan simpatisan berkumpul di jalan Gejayan yang kini bernama Affandi. Kampus Sadhar, Atmajaya, Universitas Negeri  Jogjakarta, SMA Gama (Tiga Maret), pemakaman Bethesda dan aneka kuliner murah meriah.

Di Jalan Gejayan hampir semua penghuninya adalah mahasiswa dari hampir seluruh pelosok tanah air. Maka ketika muncul wacana demonstrasi yang berawal dari Gejayan apakah mereka yang sekarang pasti sudah berumur lebih dari 40 tahun mengingatnya? Penulis sendiri ikut hadir dalam demonstrasi di Sanata Dharma bersama ratusan orang lainnya. 

Setelah dari Sanatha Dharma massa bergerak kea rah Kolombo namun dicegat dekat Kampus IKIP depan kantor Pos dan Asrama Realino yang sekarang menjadi kampus Sanata Dharma. Pasukan Dalmas mencegat di depan pertigaan jalan Gejayan dan Kolombo, rencananya mau bergerak ke UGM lewat Samirono tetapi di halangi Polisi pengendali massa, yang dengan wajah dingin menjaga demonstrasi.

Berkali- kali mereka (Dalmas) di goda peserta demo, terutama perempuan, mencoba membangkitkan emosi mereka agar membuka barikade tetapi tentu saja pasukan itu tetap bergeming. (jika menjadi aparat kesal juga melihat demonstran yang membuli aparat  dengan kata- kata yang memerahkan kuping). Kadang tentara yang kebetulan wajahnya cukup ganteng kena sasaran rayuan mahasiswa perempuan hehehe.

Berjam-jam berpanas-panasan di tengah jalan membuat emosi semakin memuncak. Menjelang sore karena lelah saya keluar dari barisan dan masuk ke kampus IKIP, sebab motor saya parkir di situ. Untung motor sudah saya singkirkan karena ternyata gejolak demonstrasi memanas sore sampai malam. Kost saya waktu itu ada di Gang Kamboja  sekitar  50 meter dari Selokan Mataram. Sebelumnya saya juga pernah kost di Mrican, dari Gejayan cuma jalan beberapa langkah.   

Dari gerakan demonstrasi di Sanata Dharma itu muncul demo- demo yang lebih besar. Jujur saya bukan aktifis tapi mengikuti berita tentang reformasi. Penulis yang memang dari dulu hobi menulis sering menyalurkan aspirasi dengan menulis di surat pembaca beberapa koran daerah seperti Bernas dan koran atau tabloid nasional waktu itu tabloid Detik kemudian berganti dengan Detak. Tulisan-tulisan tentang reformasi juga masih sering penulis baca di catatan – catatan penulis sekitar 1998 sampai 2000.

Suasana mencekam gerakan reformasi 1998 yang berawal dari Gejayan ini mungkin yang dicoba diwacanakan oleh segelintir orang yang menamakan diri Aliansi Rakyat Bergerak dengan tema dan tagar #gejayan memanggil. Mahasiswa pada tahun 1998 bergerak sukarela. Mereka merasakan keprihatinan mendalam atas ketidakadilan dan kesewenangan pemerintah Orde Baru. Sedangkan gerakan Gejayan memanggil lebih condong karena ada misi terselubung untuk meruntuhkan legitimasi pemerintah saat ini.

Maka Kampus- kampus merespon. Tidak akan ada lagi gerakan seperti yang terjadi tanggal 8 Mei 1998. Mahasiswa dulu bisa gesit menghindar dari kerusuhan, Moses Gatotkaca sendiri adalah warga asli yang tinggal di belakang STM Pembangunan.

Ketika demosntrasi mencapai titik lelah siapapun entah mahasiswa, polisi, tentara, aparat lainnya mulai muncul emosinya. Ketika emosi menggelegak ujung- ujungnya berakhir dengan anarkis. Anda bisa membayangkan aparat yang berdiri dengan memakai tameng, lapar, kepanasan, capek masih mendapat cibiran, nyinyiran dari mahasiswa.

Sama- sama manusia yang kebetulan satunya petugas yang harus siap sedia melakukan tugasnya mencegah munculnya kerusuhan, lainnya mahasiswa yang masih muda dengan pikiran yang kadang- kadang meledak- ledak dan muncul provokator di tengah demo yang membuat suasana semakin panas dan emosional. Semakin sore maka titik lelah itu memicu kekerasan muncul. Dan itulah yang membuat demonstrasi menjadi rusuh ketika sudah melewati batas waktu.

Maka benar ada aturan yang membatasi waktu demo. Gejayan kini beda Toko – toko foto copy jauh berkurang berganti dengan aneka warung dan resto. Tempat nongkrong anak- anak muda yang demen dengan gadget dan kecanggihan era digital. Kentalnya suasana mahasiswa zaman dahulu yang sibuk membuat makalah, membuat karya tulis dan tugas guru dan dosen sekarang banyak menggunakan internet.

Kadang dosen mengecek tugas dan memeriksanya via email, tidak perlu lagi membuat tugas  dengan menggunakan jasa pengetikan karena hampir semua mahasiswa mahir menggunakan laptop. Pergerakan apapun termasuk politik cukup menggunakan media sosial. Maka ketika ada tagar #Gejayan Memanggil lewat Twitter segera saja isu tentang gerakan mahasiswa menuntut RUU KUHP dicabut segera menjadi trending topik.

Salam Damai Selalu.

***