"Little Singapore" di Kalimantan Barat

Indonesia sedang bergerak maju. Singkawang serang berlari. Jokowi juga sedang bekerja keras untuk membuat Indonesia sejajar dengan kemajuan dunia.

Rabu, 10 April 2019 | 08:08 WIB
0
400
"Little Singapore" di Kalimantan Barat
Saya dan Denny Siregar di Singkawang (Foto: Istimewa)

Ngopi di Singkawang di kedai Rusen. Kedai ini dibangun sejak 1955. Dulunya adalah penginapan Rusen.

Di depan kedai berdiri sebuah Klenteng tua yang dibangun akhir tahun 1890-an. Jika bergeser sekitar 100 meter dari Klenteng, berdiri masjid Agung Singkawang. Masjid itu didirikan kira-kira tujuh tahun setelah pembangunan Klenteng.

Sejak dulu toleransi beragama sudah terbangun di kota ini. Masyarakat Singkawang terdiri dari multietnik. Ada Tionghoa utamanya dari suku Khek atau Hakka. Ada Melayu, Bugis dan suku Dayak.

Dari sisi agama, sekitar 56% muslim, 26% penganut Buddha, 10% Kongucu. Sisanya Katholik dan Kristen.

Yang menarik kota ini sedang berbenah besar-besar. Sebuah terminal internasional sedang dibangun di wilayah Kijing. Saya membayangkan sebentar lagi kota ini akan kedatangan berbagai kapal besar dari seluruh dunia. Termasuk puluhan ribu orang yang turun. Aktivitas bongkar muat begitu ramai. Ekonomi bergerak luar biasa.

Belum lagi Bandara yang juga sedang dipersiapkan.

Apalagi sebagian besar masyarakat Singkawang terbiasa jadi entepreuner. Data yang saya dapatkan di museum budaya Singkawang, sekitar 65% masyarakat berprofesi sebagai pengusaha. Budaya yang plural dan terbuka membuat iklim usaha disini berpotensi untuk maju.

Populasi etnis Tionghoa di Singkawang bisa menjadikan kota ini setara Singapura. Kita tahu Singapura bisa semaju sekarang karena dianggap sebagai tempat yang pas untuk para Taipan China daratan dari seluruh dunia berkumpul.

Mereka berinvestasi di Singapura. Menanam uangnya yang akhirnya membuat ekonomi Singapura seperti meteor di Asia Tenggara. Nah, Indonesia punya Singkawang. Punya sebuah wilayah yang memiliki potensi ekonomi besar. Juga memberi kenyamanan pada para Taipan seluruh dunia untuk datang. Seperti pulang ke negeri leluhurnya sendiri.

Masalahnya. Di sini mulai tumbuh organisasi kocak semacam FPI. Gerakan keagamaan ekslusif diperkenalkan oleh kelompok-kelompok garis keras. Ideologi agama transnasional ditanam untuk mengoyak kenyamanan hidup.

Ini bisa jadi masalah serius. Merusak potensi masyarakat yang sedemikian dasyat.

Tidak ada masyarakat yang maju jika budaya inklusif dan penuh toleransi dirusak. Orang malas datang. Orang juga malas berinvestasi. Ekonomi gak muter.

Saya ingat dulu pemerintah pernah menetapkan Anyer sebagai Bali kedua. Pantainya bagus dan indah. Suasananya juga cocok sebagai destinasi wisata.

Tapi, toh, Anyer gak berkembang. Hambatannya ada pada budaya masyarakatnya. Gerakan-gerakan garis keras di Banten membuat masyarakat membenci pendatang. Intoleransi juga mengkhawatirkan. Akibatnya orang malas ke Anyer. Lalu losmen dan hotel sepi. Rumah makan melompong.

Belum lagi ditambah ada restoran kurang ajar. Masa makan seafood berdua harganya ditembak sejutaan. Harga segelas es teh, dipatok Rp40 ribu. Bangke, kan. Ketika beritanya viral di medsos, makin malas orang ke sana.

Potensi alam yang besar gak cukup. Harus didukung oleh budaya masyarakat yang mendukung. Budaya ramah pada pendatang. Budaya yang saling menghargai. Budaya toleransi. Sekaligus budaya helpful.

Ketika kemarin saya melihat video perayaan acara keagamaan di Singkawang diisi oleh penceramah yang rasis dan bermulut kotor. Saya sedih. Orang-orang seperti ini menjadi penghambat kemajuan masyarakat. Mereka mau membetot peradaban ke abad jadul. Ke jaman ketika Prabowo masih pakai celana pendek.

Padahal Indonesia sedang bergerak maju. Singkawang serang berlari. Jokowi juga sedang bekerja keras untuk membuat Indonesia sejajar dengan kemajuan dunia.

"Sementara Prabowo sibuk ngomel," celetuk Abu Kumkum.

***