Polemik Pemilih Tetap, Kemendagri Tak Bisa Turut Campur

Ketidakwajaran yang ditemukan BPN seperti jutaan nama bertanggal lahir sama yakni 31 Desember merupakan kebijakan yang sudah berlangsung lama.

Senin, 15 April 2019 | 08:54 WIB
0
186
Polemik Pemilih Tetap, Kemendagri Tak Bisa Turut Campur
Foto : Rumah pemilu.org

Dirjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri, Zudan Arif Fakrulloh dikritik oleh Badan Pemenangan Nasional (BPN) ke KPU terkait polemik daftar pemilih tetap (DPT). Namun, permasalahan tersebut bukan kewenangan Dukcapil melainkan kewenangan KPU. 

DPT Carut Marut, Dirjen Dukcapil Disalahkan

Direktur Komunikasi dan Media Badan Pemenangan Nasional (BPN) Hashim Djojohadikusumo menganggap Dirjen Dukcapil seolah-olah tak bertanggung jawab atau lepas tangan atas temuan carut marutnya DPT. Hal ini tentu mengundang keprihatinan dari Dirjen Dukcapil Kementerian Dalam negeri.

Zudan menegaskan persoalan DPT sebenarnya bukan permasalahan Kemendagri. Sederhana, hal ini karena kemendagri bukan penyelenggara pemilu. Jadi, permasalahan DPT adalah kewenangan KPU.

Bukan pada tempatnya apabila Kemendagri turut campur dalam penyelenggaraan pemilu. Kalaupun diminta ikut campur, Kemendagri hanya hanya bisa memberi masukan kepada KPU yang tentunya keputusan KPU apakah hendak memakai masukan tersebut atau tidak. Tapi, tetap Kemendagri tak memiliki kewenangan meluruskan DPT.

Kewenangan penyelenggaraan pemilu diatur dalam UUD 1945 dan UU Nomor 7/2017. Kalau Kemendagri turut mengurusi DPT tentu menyalahi konstitusi dan PKPU. Pernyataan Hashim terkait penemuan DPT janggal yang terkesan menyudutkan Kemendagri dan KPU justru dianggap tidak tepat atau salah alamat.

Bisa Dianggap Sebagai Delegitimasi KPU

Pernyataan Hashim mengenai KPU dan Dukcapil yang seolah lepas tangan terhadap permasalahan temuan carut marutnya DPT malah bisa menjadi senjata makan tuan.

Hashim bisa dianggap hendak menyudutkan Kemendagri di saat Pilpres sudah dekat. Bahkan tindakan menggembor-gemborkan DPT janggal bisa dianggap upaya delegitimasi terhadap penyelenggaraan pemilu mendatang.

Temuan tim IT BPN berupa kejanggalan pada DPT Pemilu 2019 seperti 9,8 juta nama dengan tanggal lahir sama, pemilih yang terbukti tak memiliki e-KTP atau nama dalam DPT dengan NIK sama merupakan persoalan yang serius.

Tapi, akan lebih baik apabila dialamatkan pada pihak yang berwenang mengurusi hal tersebut seperti Bawaslu yang akan diteruskan ke KPU secara langsung misalnya.

Dengan mengalamatkan permasalahan tersebut pada Kemendagri justru memberikan image negatif pada tim BPN sendiri. Tim BPN bisa dianggap mengada-ada atau membuat kegaduhan yang sebetulnya tak perlu dilakukan menjelang Pilpres.
Sudah Ditangani KPU

Polemik kejanggalan DPT yang kini ditangani KPU seharusnya bisa menjadi koreksi untuk semua pihak. Bagi KPU, Kemendagri, tim BPN maupun pihak lainnya. Semua pihak seharusnya bisa bekerja sama tanpa membuat kegaduhan demi menciptakan pemilu yang damai.

Persoalan DPT yang janggal bisa membuka adanya kecurangan di saat pemilu nanti. Oleh karena itu semua pihak harusnya bisa bekerja sama mengawasi jalannya pemilu sejak masa persiapan seperti saat ini. Tapi, bukan berarti kita bisa seenaknya melemparkan masalah dan menuding pihak lain yang bukan kewenangannya. Apabila menemui kekeliruan atau kejanggalan segera laporkan ke KPU tanpa gembar-gembor yang akhirnya salah alamat.

Sebelumnya BPN juga mengklaim adanya 25 juta data pemilih ganda di Daftar Pemilih Sementara pada September 2018 lalu. Temuan tersebut kemudian ditanggapi oleh KPU dan dibuat versi perbaikannya. Pada Daftar Pemilih Tahap perbaikan II (DPThp II), BPN kembali menemukan kejanggalan DPT hingga 17,5 juta DPT. Ke depannya, BPN masih akan menyisir data DPT hingga menjelang hari pemungutan suara. Hal ini bertujuan guna mengurangi terjadinya potensi kecurangan.

Dibantah oleh Kemendagri

Temuan BPN tersebut justru dianggap wajar oleh Dirjen Dukcapil Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh.

Ketidakwajaran yang ditemukan BPN seperti jutaan nama bertanggal lahir sama yakni 31 Desember merupakan kebijakan yang sudah berlangsung lama. Kebijakan tersebut diterapkan semenjak Kemendagri menggunakan Sistem Informasi Manajemen Kependudukan (SIMDUK).

Sebelum tahun 2004, warga Indonesia yang tak mengetahui tanggal lahirnya atau lupa maka pada kartu identitasnya akan dituliskan lahir pada tanggal 31 Desember.

Kemudian ketika Dukcapil menggunakan Sistem Informasi Kependudukan (SIAK) pada 2004, warga negara Indonesia yang tak mengetahui tanggal lahirnya maka pada kartu identitasnya akan dituliskan tanggal lahir 1 Juli. Apabila tak ingat tanggalnya, namun masih mengingat bulannya, maka pada tanggal lahir ditulis tanggal 15.

***