Pilpres bukan untuk kalah atau memang, tapi bagaimana kita bisa mensejahterakan rakyat sesuai visi dan misi yang sudah dikampanyekan
Tidak diragukan lagi, yang namanya semburan kebohongan memang tidak bisa begitu saja dihentikan. Meskipun ajang kampanye Pilpres sudah selesai, bahkan proses pencoblosan pun sudah dilaksanakan, aroma kebohongan itu masih saja berhembus kesana-kemari.
Saya kembali teringat dengan tulisan saya di Kompasiana mengenai ahli propaganda Nazi Jerman, Paul Joseph Goebbels, yang dikenal dengan perkataannya bahwa
"Kebohongan yang dikampanyekan secara terus-menerus dan sistematis akan berubah menjadi (seolah-olah) kenyataan! Sedangkan kebohongan sempurna, adalah kebenaran yang dipelintir sedikit saja."
Sebagai pembaca, Anda tentu saja bisa menilai apa alasan capres nomor urut 02 Prabowo Subianto yang berulang kali mendeklarasikan bahwa dirinya adalah pemenang Pilpres 2019, bahkan disertai dengan sujud syukur.
Hal itu dilakukan mantan Danjen Kopassus ini setelah beberapa lembaga survei independen menampilkan hasil hitung cepat (quick count)-nya di layar televisi, tepat pukul 15.00 Waktu Indonesia Barat.
Pernyataan kemenangan dan sujud syukur itu dilakukan Prabowo berdasarkan hasil quick count yang dilakukan secara internal, dimana pasangan Prabowo-Sandi unggul dalam perolehan suara dari Jokowi-Ma'ruf.
Kok bisa-bisanya Prabowo berasumsi bahwa hasil quick countinternalnya yang paling benar dan akurat.
Sedangkan quick count yang dirilis lembaga survei, seperti LSI Denny JA, Indikator, Indo Barometer, Poltracking, Median, dinyatakan oleh Prabowo Subianto sebagai hasil hitung cepat yang tidak benar dan mengandung unsur kebohongan.
Bahkan, hasil real count yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sendiri, nyatanya tidak jauh berbeda dengan hasil yang dirilis lembaga survei independen, dimana pasangan Jokowi-Ma'ruf dinyatakan unggul sekitar 55% dari Prabowo-Sandi.
Klaim kemenangan yang dilakukan berkali-kali oleh Prabowo Subianto, tentu saja tidak bisa dianggap lagi sebagai hal sepele. Oleh karena itu, saya sepakat dengan apa Apa yang dikatakan Peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Wahyudi Akmaliah, bahwa gejala itu perlu dilihat sebagai persoalan serius dan harus ditanggapi oleh semua pihak, karena hal yang dilakukan Prabowo secara tidak langsung bisa merusak wajah demokrasi Indonesia.
Mengapa? Karena dengan membangun sikap delusional, perayaan kemenangan itu dianggap sebagai kebenaran. Ironisnya, di tengah fenomena post-truth di media sosial, ternyata pendukung Prabowo sangat mempercayai kabar kemenangan itu.
Hal ini tentu saja begitu mengkhawatirkan. Bagaimana jika saatnya KPU mengumumkan hasil Pilpres 2019 dan ternyata hasilnya tidak sesuai dengan keinginan pendukung Prabowo, tentu saja kita semua tidak menginginkan hal buruk sampai terjadi.
Melalui tulisan ini, saya berharap kepada siapapun, baik Presiden Petahana Joko Widodo (Jokowi) maupun Prabowo Subianto, untuk tidak melakukan provokasi-provokasi yang bisa menyulut emosi rakyat semakin besar.
Jangan karena keinginan untuk berkuasa, lantas kita harus mengorbankan rakyat yang tidak berdosa.
Jangan pula ada niatan untuk merusak iklim berdemokrasi kita yang sudah semakin maju, setelah lebih dari 32 tahun dikekang oleh sebuah rezim, yang seolah-olah menjalankan demokrasi dengan baik, namun kenyataanya tidak.
Tunjukkan kedewasaan kita dalam berdemokrasi, yang tidak hanya siap untuk menang, tetapi juga siap juga untuk kalah.
Karena Pilpres ini, bukan untuk kalah atau memang, tapi bagaimana kita bisa mensejahterakan rakyat sesuai visi dan misi yang sudah dikampanyekan beberapa waktu lalu.
Salam dan terima kasih!
***
Sumber:
1. Pikiran-Rakyat.com (19/04/2019): "Peneliti LIPI Ungkap Alasan Kenapa Klaim Kemenangan Prabowo Mesti Ditanggapi Serius"
2. Kompasiana.com (04/12/2018): "Politik "Kebohongan" ala Prabowo-Sandi sebagai Alternatif untuk Menang?"
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews