Antara TransJakarta dan Freeport, Mas Dirman Bukanlah Kang Udar!

Minggu, 24 Februari 2019 | 06:45 WIB
0
493
Antara TransJakarta dan Freeport, Mas Dirman Bukanlah Kang Udar!
Sudirman Said, mantan Menteri ESDM. (Foto: Tempo.co).

Kabar mengejutkan datang dari Sudirman Said, mantan Menteri ESDM, ketika bicara dalam forum bedah bukunya Simon Felix Sembiring, seorang mantan Birokrat Profesional, Pemikir dan Akademisi yang terus memberi perhatian pada pengelolaan Mineral dan Pertambangan.

Januari 2019 yang lalu, bersamaan dengan ulang tahun Simon Felix yang ke-70 buku yang berjudul “Satu Dasa Warsa Pengelolaan Minerba”, diluncurkan. Pada Rabu (20/2/19), Mas Dirman, menjadi salah seorang nara sumber forum bedah buku tersebut.

Dalam salah satu bab, ditulis cerita bahwa adanya surat dari Menteri ESDM pada 7 Oktober 2015 perihal Kontrak PT Freeport, yang dianggap bermasalah. Pertama, menulisnya dianggap melampaui kewenangan seorang Menteri.

“Kedua, surat itu dinilai memperlemah posisi tawar Indonesia dalam perundingan dengan PT Freeport, kelak di kemudian hari,” cerita Mas Dirman. Ia sendiri tidak terlalu risau dengan tulisan dalam buku tersebut.

“Karena apapun yang saya lakukan semasa menjadi menteri ESDM selalu saya diskusikan dengan orang sekeliling, terutama untuk meyakinkan landasan moral dalam setiap kebijakan. Dan dalam urusan surat ini, saya merasa moral ground-nya cukup kuat,” ujarnya.

Tapi para sahabatnya meminta Mas Dirman menjelaskan duduk masalah surat itu, kronologi terbitnya surat; semata-mata menghindari fitnah. Maka dengan niat baik itulah Mas Dirman pun bercerita kronologis terbitnya surat itu.

Proses yang normal saja, seperti yang ia jelaskan dalam wawancara Majalah Tambang pada 2015. Presiden memutuskan, Menteri dipanggil untuk menindaklanjuti keputusan itu. Yang memicu reaksi berkibar-kibar adalah detail kronologinya.

Menurut Mas Dirman, terutama pada saat ia menjelang masuk ke ruang kerja Presiden. Untuk tidak menimbulkan penafsiran yang salah, Mas Dirman menjelaskan bahwa sebelum masuk ke ruangan, ada yang memberi tahunya: “Pak Menteri, pertemuan ini tidak ada”.

Ia juga jelaskannya, bila surat itu dianggap melampaui kewenangan dan melemahkan posisi pemerintah, Mas Dirman ingin membuat semua clear: “yang memerintahkan membuat surat itu Pak Presiden”, itu saja.

Mas Dirman membuat penjelasan pers tentang perpanjangan kontrak itu. Ia harus melakukan klarifikasi karena publik menganggap Menteri ESDM-lah yang memperpanjang. Tampanya, Mas Dirman tak mungkin lagi menyimpan “rahasia” tingkat tinggi ini terlalu lama.

Sebab, ini semua juga menyangkut nama baik. Reputasi Sudirman Said yang akrab dipanggil Mas Dirman itu. Sehari sebelum surat perpanjangan itu diterbitkan, Presiden Joko Widodo melakukan pertemuan rahasia dengan bos Freeport McMoran, James R Moffet.

Pertemuan dilakukan di Istana. Tepanya di ruang kerja Presiden Jokowi. Pertemuan itu terjadi pada 6 Oktober 2015. Mas Dirman menjelaskan ini dalam acara diskusi yang diselenggarakan oleh Institut Harkat Negeri di Jakarta, Rabu (20/2/2019).

Menurut Mas Dirman, saat menjabat Menteri ESDM, pada 6 Oktober 2015 itu, ia ditelepon oleh asisten pribadi (Aspri) Presiden Jokowi agar datang ke Istana. Ia bertanya tentang apa, namun Aspri mengatakan dia tidak tahu.

Cuma, anehnya, sebelum Mas Dirman masuk ke ruangan kerja Presiden Jokowi, si Aspri membisikkan agar ‘pertemuan ini dianggap tidak ada’.

Begitu masuk ke ruang kerja Presiden, Mas Dirman terkejut. Di situ sudah ada James Moffet. Presiden Jokowi langsung menyuruh Mas Dirman agar membuatkan surat yang diperlukan (maksudnya surat perpanjangan kontrak Freeport).

Tetapi, Presiden Jokowi  telah membantah ada pertemuan rahasia dengan Moffet. Menurut Jokowi, pertemuan dengan bos Freeport McMoran sudah terjadi berkali-kali. Tidak ada yang dilakukan diam-diam.

Enggak sekali dua kali ketemu, gimana sih kok diam-diam. Ya, ketemu bolak-balik, enggak ketemu sekali dua kali,” kilah Presiden Jokowi, seperti dilansir CCNIndonesia.com, Rabu (20/2/2019), usai memberikan pembekalan saksi di Hotel El Royale, Jakarta.

TransJakarta

Keberanian Mas Dirman “membuka” pertemuan Presiden Jokowi dengan James Moffet yang diikuti dirinya itu tentunya bisa membuka tabir yang selama ini tertutup rapat, meski Jokowi membantah bahwa itu bukanlah pertemuan “diam-diam”.

Sampai di sini, kita bisa saja melempar pertanyaan penting: sampeyan lebih percaya kepada  Mas Dirman atau Jokowi? Peristiwa ini mengingatkan pada kasus korupsi yang diduga kuat “melibatkan” Jokowi saat menjabat Gubernur DKI Jakarta.

Korupsi pengadaan bus TransJakarta yang akhirnya menyeret mantan Kadis Perhubungan Permprov DKI Jakarta Udar Pristiono yang akhirnya divonis hukuman 13 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider satu tahun kurungan. Tragis!

Kang Udar adalah salah satu diantara beberapa pejabat di Pemprov Jakarta yang diseret di  Pengadilan Tipikor Jakarta berkat “kebijakan” Gubernur Jokowi saat itu. Dua mantan anak buahnya, Setiyo Tuhu dan Drajad Adhyaksa, juga menjadi pesakitan.

Drajad Adhyaksa adalah Pejabat Pembuat Komitmen pada Dinas Perhubungan DKI Jakarta pada Tahun Anggaran 2013. Sedangkan Setiyo Luhu adalah Ketua Panitia Pengadaan Barang dan Jasa di Dishub DKI Jakarta.

Jaksa menyebutkan bahwa kasus korupsi pengadaan TransJakarta pada 2013 dilakukan secara bersama-sama oleh sejumlah pihak. Jaksa juga menyebut Direktur Pusat Teknologi Industri dan Sistem Transportasi pada BPPT Prof. Prawoto.

Lembaga yang dipimpin oleh Prawoto ini disebut bertanggung jawab karena berperan sebagai perencana dan pengendali teknis serta pengawas pengadaan dalam proyek TransJakarta.

Beberapa pemenang lelang juga disebut terlibat dalam kasus ini. Pertama adalah Direktur Utama PT Korindo Motors Chen Chong Kyong. Perusahaan ini merupakan pemenang lelang pada pengadaan busway articulated (bus gandeng) paket I.

Kemudian ada juga keterlibatan dari Direktur Utama PT Mobilindo Armada Cemerlang, Budi Susanto, selaku pemenang lelang pada pengadaan busway articulated paket IV. Direktur PT Ifani Dewi, Agus Sudiarso, juga disebut ikut melakukan korupsi.

Perusahaan tersebut adalah penyedia barang pada pengadaan busway articulated paket V dan busway single (tunggal) paket II. Jaksa menyatakan, beberapa bentuk penyimpangan proyek pengadaan TransJakarta adalah tidak terpenuhinya spesifikasi teknis;

Juga, harga perkiraan sendiri (HPS) berdasarkan sodoran harga proposal dari rekanan dan diarahkannya spesifikasi pada perusahaan tertentu, serta adanya kemahalan harga. Akibat perbuatan mereka, negara dirugikan hingga Rp 392,7 miliar.

Dalam persidangan beberapa kali Kang Udar menyebut nama Jokowi, yang kini menjabat Presiden dan menjadi capres petahana pada Pilres 2019. Modus “kebijakan” yang saat itu dilakukan Jokowi nyaris sama dengan yang dialami Mas Dirman.

Kang Udar mengklaim proses pengadaan 14 paket bus TransJakarta pada 2013 sudah sesuai aturan. Bahkan, ia mengaku sudah melakukan prosedur pelelangan sejalan dengan kemauan dan aturan yang dibuat oleh Jokowi, Gubernur DKI Jakarta saat itu.

Saat memberikan kesaksian Udar mengaku proses pelelangan sesuai aturan. Yakni Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa serta Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta.

Ia mengaku, sebagai Pengguna Anggaran (PA), Kang Udar sudah menyerahkan sebagian tanggung jawabnya kepada Drajad selaku Kuasa Pengguna Anggaran. Ia mengaku cuma mengawasi penggunaan anggaran dan meneken perjanjian kontrak kerja di akhir proses.

“Karena itu memang tugas saya sebagai PA,” kata Kang Udar, seperti dilansir Merdeka.com, Selasa (4 November 2014 09:10). Kang Udar mengatakan, proses pengadaannya juga sudah sesuai visi misi Jokowi saat masih menjabat Gubernur DKI Jakarta.

Bahkan, ia mengaku Jokowi sangat keras mengawasi penyerapan anggaran dalam proses pengadaan. “Program pengadaan bus TransJakarta sesuai rencana daerah. Ini visi misi Gubernur DKI Jakarta,” tegas Kang Udar.

Bahkan, katanya, “Pernah diancam oleh Pak Gubernur kalau penyerapannya kecil dibatalkan saja. Karena DKI sangat ketat tentang penyerapan anggaran. Diawasi setiap minggu,” ujar Kang Udar.

Ia pun mengklaim proses pelelangan pun bebas dari intervensi, sebab dilaksanakan secara elektronik. Kang Udar mengatakan, tak menanggung seluruh wewenang pengguna anggaran lantaran sudah diwakilkan kepada anak buahnya.

“Karena terjadi delegasi wewenang, maka proses selanjutnya dilakukan mereka. Pelelangan dilaksanakan melalui electronic procurement, kecuali tatap muka pada tahap akhir karena menandatangani kontrak kerja,” sambung Kang Udar.

Kasus Kang Udar yang sebenarnya juga diduga melibatkan Jokowi itu memang beda dengan yang dialami Mas Dirman. Yang pasti, dari kedua “skandal” ini terlihat sekali betapa Jokowi dengan mudahnya “lepas tangan” atas kebijakannya itu.  

Jadi, pertanyaan yang perlu diulang lagi, “Sampeyan lebih percaya siapa?”

***