Penahanan dan pemeriksaan Rizieq Shihab oleh polisi dan intelijen Arab Saudi Al-(Mabahith Al-Aammah) adalah peristiwa yang merugikan baik bagi para pengikut Rizieq Shihab pun kelompok politik yang mengambil untung dari figur Rizieq.
Peristiwa memalukan ini membongkar kenyataan bahwa Rizieq bukan siapa-siapa, jauh dari gembar-gembor kedekatan dengan penguasa Arab Saudi yang digaungkan lingkaran dalam Rizieq dan para politisi pedagang figurnya.
Orang-orang itu memiliki motif untuk segera menutupi kabar memalukan ini. Cara yang lazim adalah menciptakan kabar baru yang lebih sensasional. Hebatnya orang-orang ini merancang isu yang berfungsi ganda: menaikkan lagi pamor Rizieq Shihab sekaligus menyerang pemerintahan Joko Widodo.
Maka dibuat isu bahwa bukan Rizieq yang menempelkan bendera ISIS atau HTI di dinding tempat tinggalnya, melainkan Badan Intelijen Negara (BIN).
Menyeret-nyeret nama BIN dalam persoalan ini diharapkan akan berdampak pada naiknya pamor Rizieq Shihab, seolah-olah ia musuh negara, seolah-olah hanya demi Rizieq Shihab, lembaga intelijen harus repot-repot membuang sumber daya untuk bikin operasi.
Kelemahan dari pilihan isu ini adalah ahistoris.
Para penyebarnya lupa bahwa sebelum masa Pemerintahan Joko Widodo, FPI dipandang sebagai perpanjangan tangan aparatur koersif negara (polisi dan tentara).
Ini adalah kenyataan yang sederhana. Dahulu FPI adalah bagian dari PAM Swakarsa, organisasi binaan militer yang dimobilisasi untuk membantu tentara dan polisi menjamin pelaksanaan Sidang Istimewa MPR 1998 dari ancaman kegagalan oleh masifnya protes gerakan mahasiswa pro-demokrasi.
Di bawah payung PAM Swakarsa, FPI menjadi milisi sipil bersenjata yang merepresi gerakan mahasiswa pro-reformasi saat itu. Cukup banyak bentrokan terjadi antara FPI melawan mahasiswa dan rakyat yang menuntut penuntasan agenda reformasi pasca lengsernya Soeharto.
Dahulu, PAM Swakarsa (FPI di dalamnya) boleh saja garang menghadapi gerakan mahasiswa, namun bagi rakyat yang menghendaki perubahan, mereka bukan apa-apa.
Para aktivis dan pekerja pers tentu masih ingat dua peristiwa PAM Swakarsa (FPI di dalamnya) babak belur dihajar massa rakyat. Peristiwa pertama pada Hari Pahlawan 1998, ribuan rakyat Bendungan Hilir mengepung ribuan massa PAM Swakarsa hingga akhirnya aparat keamanan mengevakuasi pasukan sipil peliharannya itu, pontang-panting menyelamatkan diri.
Beberapa hari berselang, rakyat kembali memberi pelajaran kepada milisi-milisi peliharaan aparat orde baru ini yang ketika itu menghadang demonstrasi mahasiswa di Jembatan Cawang. Massa rakyat yang awalnya hanya menonton aksi mahasiswa menjadi marah melihat penghadangan oleh tentara, polisi, dan PAM swakarsa bersenjata. Rakyat turun tangan membantu mahasiswa, melawan dengan kayu dan batu. Tiga orang anggota PAM Swakarsa tewas.
Semasa Gus Dur, PAM Swakarsa dibubarkan. Mulailah era organisasi-organisasi eksponen PAM Swakarsa mencari makan sendiri-sendiri.
Hubungan mereka dengan aparat berubah dari hubungan formal kelembagaan menjadi sekedar relasi dengan oknum-oknum. Sejumlah nama perwira tinggi TNI dan kepolisian yang disebut-sebut terlibat dalam pembentukan PAM Swakarsa ditenggarai masih menjalin hubungan "proyek" dengan kelompok-kelompok milisi ini. Sebut saja nama-nama seperti Kivlan Zen, Adityawarman, Djadja Suparman, Noegroho Djajoesman. Hingga kini nama-nama ini masih satu kubu dalam politik.
Pada masa Joko Widodo, pemerintah dan aparat keamaan tampak berusaha membersihkan diri dari hubungan dengan kelompok-kelompok milisi ini. Para perwira tinggi yang dahulu dipandang sebagai backing kelompok-kelompok milisi telah purnawirawan dan ditendang keluar dari lingkaran kekuasaan, berkumpul sebagai oposisi.
Di bawah pemerintahan rezim sipil demokratis Joko Widodo, negara bertindak lumayan tegas. Bekas perwira tinggi seperti Kivlan Zen dan Adityawarman ditangkap polisi dengan tuduhan makar.
Nah, jika bekas orang-orang kuat militer yang dianggap pelindung FPI saja bisa ditangkap-tangkapi polisi maka jika pemerintah mau, urusan menggebuk Rizieq Shihab cs adalah perkara mudah dan dilakukan terang-terangan, tak perlu operasi intelijen segala.
Karena itu banyak orang yang tertawa mendengar isu yang ditiupkan bahwa Rizieq Shihab korban operasi intelijen.
Komisi I DPR, yang membidangi urusan luar negeri dan intelijen meyakini tak ada skenario pemerintah, apalagi operasi intelijen, dalam pemeriksaan Rizieq.
Komisi I DPR menyatakan dugaan adanya operasi BIN sebagai spekulasi yang kejauhan. Komisi I minta BIN segera mengeluarkan pernyataan resmi agar rakyat tidak ikut tertipu dengan kabar yang dihembuskan.
BIN pun segera memberi klarifikasi. Juru bicara BIN Wawan Hari Purwanto dalam keterangan tertulis menyatakan justru BIN ingin Rizieq Shihab segera pulang ke tanah air agar dapat mempertanggungjawabkan sejumlah masalah.
Kita tahu, jika Rizieq tak pulang-pulang, sejumlah kasus hukum yang menantinya di tanah air masih terus terkatung-katung.
Sebenarnya tanpa BIN memberi klarifikasi pun rakyat tidak mempercayai informasi Rizieq dikerjai BIN, menganggapnya sebagai bualan, hoaks, atau fitnah. Ini tampak dari komentar warganet dalam sejumlah laman kabar daring.
Ada komentar satir, ada yang sinis, ada pula yang kasar menyatakan betapa muaknya mereka kepada sepak terjang Rizieq Shihab.
Berikut beberapa contoh komentar warganet menanggapi rumor Rizieq Shihab dikerjai BIN.
Kalau mau menduga-duga, saya merasa lebih mungkin memandang Rizieq Shihab yang memasangnya sendiri untuk membuktikan ke tanah air bahwa ia bukan pengecut yang hanya bisa memberi instruksi kepada pengikut namun takut melakukannya sendiri di Arab Saudi.
Atau bisa juga ada anak buah Rizieq Shihab yang salah menafsirkan instruksi. Ketika Rizieq Shihab menyerukan kepada para pengikutnya untuk memasang bendera HTI yang ia sebut sebagai bendera tauhid di rumah-rumah, si pengikut Rizieq di Mekah ini mungkin melihat Rizieq lupa memasangnya di tempat tinggal sendiri. Karena itu ia mengambil inisiatif untuk memasangkannya.
Sebenarnya upaya para pengikut Rizieq Shihab membuat rumor keterlibatan BIN adalah blunder baru yang merugikan Rizieq sendiri.
Dengan tidak mau mengkui dirinya bertanggungjawab atas pemasangan bendera itu dan melempar tuduhan kepada orang lain, masyarakat di tanah air akan tersadarkan bahwa:
Pertama, bendera hitam bertuliskan tauhid itu bukanlah bendera tauhid melainkan bendera yang jadi ciri khas organisasi-organisasi teroris. Jika itu bendera tauhid, tak mungkin pemerintah Arab Saudi melarangnya, apalagi sampai orang yang memasangnya diperiksa oleh intelijen anti-teror.
Kedua, rupanya Rizieq Shihab tahu itu bendera terlarang namun menyerukan kepada para pengikutnya di tanah air untuk mengibarkan bendera terlarang itu. Ini bukan tindakan seorang pemimpin yang pantas dihormati
Ketiga, penyangkalan ini membuat citra Rizieq Shihab sebagai seorang ksatria pemberani pupus dengan segera. Ia tampak ketakutan berhadapan dengan polisi Arab Saudi sehingga melempar tuduhan pemasangan bendera itu kepada pihak lain.
Jika sosok Rizieq Shihab sehebat yang diyakini pengikutnya, tentu ia akan tegakkan kepala dan busungkan dada melawan tindakan polisi Arab Saudi yang melarang pemasangan bendera yang disangka milik kelompok teroris yang ia sebut bendera tauhid itu.
Jika Rizieq Shihab sungguh yakin bendera hitam ciri organisasi teroris itu sebagai bendera tauhid, tentu sekarang ia sudah berapi-api berpidato menyerukan para pengikutnya di tanah air berdemonstrasi ke Kedutaan Arab Saudi di Indonesia, menuntut Kerajaan Arab Saudi mengakui bendera hitam itu sebagai bendera tauhid sebagaimana yang mereka tuntut pula dari pemerintahan Joko Widodo.
Jika ini tak dilakukan, menjadi terang-benderalah bagi rakyat, heboh bendera tauhid tempo hari hanya skenario dari simbiosis saling menguntungkan antara organisasi terlarang internasional dengan kelompok politisi tertentu.
Sumber
Dipublikasi sebelumnya di Kompasiana.com/tilariapadika
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews