Semua aparatur sipil negara harus bebas dari radikalisme dan pemeriksaannya sangat mudah, cukup dilihat dari jejak digitalnya di media sosial.
Aparatur Negara seperti TNI, Polisi, Aparatur Sipil Negara, maupun Pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bebas dari radikalisme. Aparatur negara yang terpapar paham radikal akan dapat menghambat pelayanan publik dan mengganggu jalannya roda pemerintahan.
Aparatur negara adalah profesi yang menjadi idaman banyak orang, karena dianggap memiliki gaji tetap dan tunjangan kesehatan. Oleh karena itu tes aparatur negara seperti CPNS atau TNI/Polri selalu ramai peminat. Sementara itu, tes CPNS saat ini memiliki 1 syarat baru yakni tidak boleh terpapar radikalisme.
Mengapa ada aturan seperti itu? Penyebabnya karena jika seorang pegawai negeri jadi kader radikal maka akan berbahaya. Pertama, ia bisa menyebarkan paham itu ke rekan-rekan kerjanya. Kedua, ia bisa memanfaatkan jabatan dan fasilitas yang dimiliki dan disalahgunakan untuk mendukung program-program kelompok radikal.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo menyatakan bahwa ASN tidak boleh terpapar radikalisme. Jika ketahuan maka ia akan mendapat peringatan keras, dan jika masih ngotot bisa terkena ancaman hukuman, mulai dari tidak bisa naik pangkat hingga pemecatan. Menteri Tjahjo lalu bercerita bahwa tiap bulan ia memecat 40 ASN secara tidak hormat gara-gara mereka jadi anggota kelompok radikal.
Lantas bagaimana kementrian aparatur negara tahu bahwa seorang ASN terpapar radikalisme? Menteri Thahjo melanjutkan, caranya dengan melihat jejak digitalnya di media sosial. Jika seorang ASN gemar sekali menghina pemerintah dan menyinggung-nyinggung tentang jihad, serta negara khilafah, maka dipastikan ia sudah menjadi anggota kelompok radikal. Penyebabnya karena itu ciri-cirinya.
Dengan melihat jejak digital maka akan mudah sekali penelusurannya, sehingga pihak kementrian bisa menegur ASN tersebut. Mengapa ancaman hukuman terberatnya adalah pemecatan? Penyebabnya karena radikalisme adalah penyakit menahun dan ketika ASN malah memilih setia kepada kelompoknya maka sama saja ia kehilangan rasa nasionalisme, karena kelompok radikal sangat anti pancasila.
Ancaman hukuman ini tidak main-main karena jika seorang ASN dipecat secara tidak hormat akan rugi besar. Pertama, ia kehilangan mata pencaharian dan ketika sudah masuk usia di atas 40 akan susah untuk mencari pekerjaan baru karena rata-rata perusahaan mencari karyawan fresh graduated yang masih belia. Kedua, ia tidak akan mendapatkan uang pensiun sama sekali.
Ketika ada ancaman hukuman seperti ini dianggap sangat pantas karena jangan sampai radikalisme malah tumbuh subur di kementrian dan lembaga negara lain. Seorang ASN adalah abdi negara sehingga harus setia pada negara. Akan tetapi, ketika ia sudah terpapar radikalisme, maka akan kehilangan rasa nasionalisme dan menjadi penghianat negara, karena berambisi mendirikan negara khilafah.
Oleh karena itu amat wajar jika dalam tes CPNS disayaratkan tidak boleh terlibat radikalisme, sehingga ASN yang tersaring tak hanya cerdas tetapi juga harus jujur dan setia pada negara. Lebih baik melakukan tes ketat sejak awal daripada melakukan seleksi lagi setelah semua diangkat sebagai abdi negara.
Peraturannya memang sudah jelas, ASN tidak boleh jadi anggota (atau bahkan hanya simpatisan) kelompok radikal. Bayangkan jika ada ASN yang terpapar radikalisme maka di media sosial ia akan rajin misuh-misuh dan menghina pemerintah. Padahal itu sama saja mempermalukan dirinya sendiri karena ia akan dianggap rendah oleh orang lain.
Semua aparatur sipil negara harus bebas dari radikalisme dan pemeriksaannya sangat mudah, cukup dilihat dari jejak digitalnya di media sosial. Ancaman hukuman bagi ASN yang terpapar radikalisme, yang paling keras, adalah pemecatan secara tidak hormat. Tidak ada ampun karena jangan sampai ASN malah menyalahgunakan jabatannya untuk menguntungkan kelompok radikal.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews