Dendam

Di balik tangismu ada dendam-dendam yang terlampiaskan. Ini bukan tulisan di bak belakang truk Pantura. Saya menafsirkannya dari kalimat panjang seorang tokoh.

Sabtu, 25 September 2021 | 08:16 WIB
0
130
Dendam
Tinju (Foto: ayobandung.com)

Di balik tangismu ada dendamku yang tuntas. Ini bukan tulisan di bak belakang truk-truk yang melata di sepanjang Pantura. Saya merapikan kalimat panjang seorang tokoh, bekas petinggi negeri ini, yang mengirim pesan kepada saya, begitu mendengar si A menjadi tersangka.

Tokoh ini bukan politisi. Ia bekas petinggi. Tapi semasa menjabat, ia merasa banyak dikerjai oleh si A dalam rapat-rapat dengar pendapat di DPR. “Ia berusaha menjatuhkan saya untuk digantikan oleh koleganya,” kata sang tokoh.

Dan suara-suara seperti ini – puas mendengar kejatuhan seseorang – kerap terdengar di setiap KPK mengeluarkan pengumuman di hari Jumat keramat.

Orang-orang langsung mengaitkan kejatuhan seseorang dengan tingkahnya di masa lalu.

Masih ingat Gubernur Jambi, Zumi Zola, saat melakukan inspeksi mendadak di RSUD Raden Mattaher, di satu dinihari tahun 2017?

Saat sidak tersebut sang gubernur muda ini mendapati ruang jaga pasien kosong. Ia juga mendapati sejumlah dokter dan perawat tertidur pulas di kamar bagian belakang perawatan. Zola marah. Ia membangunkan dokter-dokter dan perawat itu dengan menggedor pintu dan membanting kursi. Mereka juga langsung diberi surat peringatan keras.

Aksi sang gubernur menuai pro dan kontra. Tak sedikit dokter yang marah. Dan kita tahu, belakangan Zumi Zola “kalah”. Bukan oleh para dokter, tapi oleh KPK.

Setahun setelah aksi gedor pintu dan banting kursi itu, Zumi Zola tersandung kasus hukum: ia ditetapkan sebagai tersangka kasus gratifikasi, dan dihukum penjara.

Begitu diumumkan oleh KPK, saya membaca komentar-komentar yang begitu banyak tentang aksi sidaknya itu.
Saya juga ingat ketika di tahun 2012, seorang anggota DPR menjadi sorotan publik oleh aksinya di Bandara Soekarno-Hatta. Sang tokoh, yang sesungguhnya kawan saya sendiri, menampar seorang pegawai Bea dan Cukai, konon karena tidak sabar mengantri di pintu imigrasi.

Empat tahun setelah peristiwa itu, anggota DPR kita ini ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas perkara penerimaan suap proyek infrastruktur. Dan di sela-sela berita tentang kasusnya, media dan banyak orang kembali mengangkat peristiwa lama itu. Di media sosial tak sedikit yang mencibir, atau berkomentar dengan gembira, atau menyambut penetapan tersangka itu dengan emotikon tawa.

Jangankan politisi -- yang memang sudah terbiasa dengan kawan dan lawan, citra baik dan isu miring – bahkan seorang Ketua KPK yang terjungkal dari posisinya juga menuai tangis, sekaligus tawa publik.

Tangis dan tawa? Ya. Ketika Abraham Samad jatuh dari kursi angker itu di awal tahun 2015, begitu banyak yang marah dan juga sedih atas nasib yang menimpa kawan saya ini.

Tapi tak sedikit juga yang bertepuk tangan: mereka yang merasai sepak terjang Abraham semasa memimpin KPK, dan juga orang-orang yang menganggap Abraham telah memutus pertemanan lama, atau orang partai yang menganggap dirinya berjasa mengantar Abraham ke kursi Ketua KPK tapi kemudian tak lagi direken.

Dan banyak contoh lainnya. Semua yang saya kisahkan ini masih begitu mudah ditemukan terselip di lalu-lalang pemberitaan dan pembicaraan media sosial.

Begitulah. Di balik tangismu ada dendam-dendam yang terlampiaskan. Ini bukan tulisan di bak belakang truk Pantura. Saya menafsirkannya dari kalimat panjang seorang tokoh.

***