Berorganisasi di Masa Pagebluk, Antara Digitalisasi dan Inovasi Aktivitas Organisasi

Ketika sebuah aktivitas dijalankan hanya karena itulah yang dilakukan sebagaimana pendahulu melaksanakannya, maka jiwa organisasi semakin mengecil dari masa ke masa.

Selasa, 20 Juli 2021 | 14:57 WIB
0
157
Berorganisasi di Masa Pagebluk, Antara Digitalisasi dan Inovasi Aktivitas Organisasi
Cak Nur (Koleksi @fileCaknur)

Lama tak bersua. Walau selama ini juga tetap berkomunikasi dengan pelbagai flatform yang ada, sehingga merindukan pertemuan langsung.

Terakhir, bertemu dalam aqiqah kelahiran putri seorang kawan. Namun, kini “rindu” yang membuncah mempertemukan kami kembali.

Ketikan ini, bukan tentang pertemuan itu. Mengawali obrolan segelas kopi yang kemudian berlangsung sampai empat jam.

Mahasiswa tak lagi berada di kampus. Mereka di rumah masing-masing. Sepenuhnya pembelajaran daring. Kekuatan jaringan internet yang menjadi penyokong aktivitas.

Kini, sepenuhnya bukan lagi pada kemampuan transmisi pengetahuan yang dikelola dosen. Namun, justru kalau tidak tersedia jaringan listrik dan juga internet, maka semuanya akan ambyar.

Kondisi seperti ini menjadi tantangan organisasi kemahasiswaan. Ketika mahasiswa hanya berada di rumah, memberikan pengalaman berorganisasi dan juga membangun soliditas perlu dikreasikan dalam platform yang juga hanya bisa lewat daring.

Walaupun dalam fase sebelum pemberlakukan PPKM, ada peluang untuk melaksanakan kegiatan dalam bentuk hybrid ataupun blended.

Masa-masa bulan Juli menjadi tantangan dimana “gelombang kedua” penyebaran virus dan juga merebaknya varian Delta. Maka, situasinya kembali seperti ketika pertama kali wabah berlangsung. Semuanya hanya dapat dilaksanakan dalam bentuk daring.

Merespon ini, maka saya menjawab “disesuaikan dengan kebutuhan anggota”. Setelahnya, kawan di warung kopi malam itu menimpali “hanya saja masalahnya, apakah anggotanya ada?”. ini juga sebuah kendala tersendiri, Latihan Kader ataupun rektuitmen anggota melalui pelatihan belum dapat diformulasikan melalui media daring.

Pro dan kontra masih saja menyelimuti. Dimana doktrin dan juga pesan-pesan organisasi “katanya” tidak dapat dilaksanakan secara daring. Ketika mahasiswa tidak berada di wilayah kampus, maka akan menjadi masalah untuk melaksanakan rekruitmen yang bertumpu pada wilayah kampus.

Peluang yang dapat dilakukan adalah formulasi Latihan Kader dengan integrasi perangkat digital. Tidak lagi semata-mata hanya dengan tatap muka yang juga efektivitasnya tidak terukur. Sementara dengan menggunakan pelbagai platform daring, justru dimungkinkan untuk memberikan pembobotan dan juga pengarsipan dokumentasi organisasi.

Ini juga peluang yang dapat dilakukan. Semua dokumen dan arsip organisasi tersimpan dalam bentuk digital. Lagi-lagi, masalahnya pada kemampuan teknis. Pengurus dan juga kader sering terbentur pada kemampuan teknis.

Bahkan di masa itu, sebelum pandemi mendera Februari 2020. Pertanyaan singkat kini bahkan hilang seiring dengan Dies Natalis74, “adamikah websitenya komisariat?”. Pertanyaan itu tidak pernah tersahuti. Jangankan dalam bentuk laman web yang tersedia secara lengkap, dalam bentuk blog yang menggunakan fasilitas gratisan juga bahkan tidak terbangun.

Kawan mengobrol kemudian menimpali “generasi milenial dengan cara manual”. Rupanya gelombang tipologi milenial tidak memengaruhi kondisi organisasi dalam masa pandemi sekalipun. Tidak itu saja, juga dalam pemanfaatan keperluan organisasi yang sudah sampai pada tahap membutuhkan kecepatan dan juga ketepatan.

Saya justru memilih jalan pesimis. Atau bahkan dalam bentuk pengharapan yang lain. Bahwa pengurus dan kader memang hanya memiliki kemampuan retorika dan ini sepenuhnya sesuai dengan aktivitas politik praktis.

Dengan mudah ditemukan, bukan saja kader aktif tetapi juga pengurus yang menjadi tim sukses. Walaupun kadang mendapatkan permakluman dimana senior yang menjadi Dapat saja meningkat statusnya, maka menjadi pekerja politik yang “professional”. Atau juga “pekerja” yang dibayar untuk memenuhi order politisi.

Dalam kondisi ini, politisi tidak dapat dijadikan “tersangka”. Mereka justru yang rajin untuk menyapa kader-kader dan pada saat yang sama memiliki sumber daya untuk digerakkan. Berbanding dengan akademisi yang juga kadang bahkan untuk keperluan dirinya tidak tercukupi. Tidak memungkinkan untuk juga menyediakan logistik bagi mengerjakan pikiran-pikiran sebagai hasil diskusi.

Kemampuan memimpin memang tidak dilahirkan. Kemahiran itu bukan dibawa sejak lahir. Dapat saja dilatihkan dan ditempa dengan pelbagai cara.

Itulah mungkin sehingga disebut dengan Latihan Kader. Dimana untuk sampai pada kemampuan kader, ada pelatihan baik secara formal maupun informal ataupun nonformal.

Termasuk diantaranya dengan membaca dan menyediakan kesempatan untuk belajar mulai dari hal-hal terkecil, seperti memisahkan kata di dan juga menyambungkannya dalam kalimat. Tidak saja dalam persuratan resmi organisasi, bahkan dalam mengetikkan maklumat melalui poster ataupun sekadar meme. Tetap saja urusan kata di, selalu menjadi urusan yang runyam.

Satu hal lagi, inovasi. Memberi nilai tambah untuk keberlanjutan aktivitas organisasi merupakan sebuah agenda tersendiri. Dimana sama dengan kepemimpinan tadi di awal. Tidak dapat tersedia pelajaran, tetapi perlu kemauan dan kemampuan berkelana mencarinya dari waktu dan forum yang ada.

Ketika sebuah aktivitas dijalankan hanya karena itulah yang dilakukan sebagaimana pendahulu melaksanakannya, maka jiwa organisasi semakin mengecil dari masa ke masa. Jiwa yang perlu diperlihara dan dipertahankan justru adalah empati dan kemampuan melihat kepentingan di luar diri pengurus.

Termasuk menengok sejenak bagaimana romantisme Yogyakarta. Dimana allahuyarham Lafran Pane bersama kawan-kawannya mendirikan HMI bukan karena kepentingan diri sendiri dan sekelompok kecil mahasiswa.

Justru mereka mendirikan karena kepentingan kebangsaan dan keumatan. Bonusnya, HMI menjadi bagian dari lokomotif pembaruan pemikiran Islam. Ketika kepentingan diri dan individu yang tidak direkeng, maka akan memberi dampak bagi kalangan lebih luas.

Obrolan ini menjadi tidak berujung karena juga tidak berpangkal. Setakat sebagai pengisi ujung malam yang justru diakhiri dengan makan sahur.

Keesokan harinya adalah hari arafah. Sehingga pertemuan tersebut sekaligus disempurnakan untuk sahur bersama, sebab untuk masa berbuka puasa akan diselesaikan bersama dengan keluarga masing-masing.

***