Paradoks, Acara Kerumunan

Peran pemerintah sebagai regulator, fasilitator dan motor kehidupan adaptasi kenormalan baru sangat dinantikan untuk menjamin keutamaan keselamatan masyarakat.

Senin, 5 Juli 2021 | 18:23 WIB
0
167
Paradoks,  Acara  Kerumunan
Kolase foto dari : liputan6.com dan trotoar.id

Kerumunan ribuan  orang di acara Peluncuran Satuan Tugas (Satgas) Detektor COVID-19 yang digelar oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar di Lapangan Karebosi pada Jumat lalu (2/7/2021)  menjadi paradoks  di tengah  upaya pemerintah mencegah penyebaran Covid.

Pemerintah, yang selama ini berkoar-koar agar  masyarakat menerapkan protokol kesehatan, menjaga jarak, melarang   acara resepsi pernikahan dan kegiatan lainnya yang berpotensi  menimbulkan kerumunan, pada kenyataan  menjadi ceremony creator yang paling banyak memproduksi  kegiatan yang mengundang kerumunan.

Dalih bahwa setiap kegiatan  yang dilaksanakan telah menerapkan  protokol kesehatan  yang ketat, pada praktiknya tak sepenuhnya bisa dijamin. Contohnya di acara peluncuran tim detektor oleh Pemkot Makassar tersebut.

Awalnya, kegiatan  itu  berjalan tertib, semua peserta diatur dengan  jarak tertentu. Namun kerumunan mulai terjadi saat hujan mengguyur. Para petugas yang baru diperkenalkan tiba-tiba  berlarian mencari tempat bernaung, sebagian besar mereka berkumpul  di bawah  tribun lapangan, akhirnya, kerumunan pun tak  mampu terhindari.

Aturan tinggallah aturan, prokes  hanya panduan   di atas kertas, di lapangan siapa yang bisa menjamin! Resiko terjadinya kerumunan yang  tak terduga itulah yang  sebenarnya disadari  pemerintah, sehingga   melarang kegiatan yang mengumpulkan banyak orang.

Acara yang sebenarnya hanya  ceremoni  belaka, sekedar  parade pidato dan sedikit pertunjukan, selayaknya bisa dilakukan secara virtual atau daring. Segitu urgent-nya kah ceremoni itu digelar? Padahal yang penting tim yang dibentuk  memahami teknis operasional, tugas, fungsi dan tanggung jawabnya, yang sebelumnya bisa di-upgrade melalui training online atau kelas offline terbatas.

Hingga saat ini, tak satu pun pihak yang   bisa menjamin orang yang berkumpul dalam jumlah besar tidak menimbulkan kerumunan.  Benar, kita  mungkin mampu mengawasi dan mengatur orang tetap menjaga jarak ketika awal acara berlangsung.  Tetapi, bagaimana sebelum acara?

Apakah kita bisa menjamin mobilitas kedatangan peserta ke tempat acara atau  pergerakan peserta setelah acara bubar tidak menimbulkan kerumunan? Situasi  seperti inilah yang tak terjangkau oleh kita sebagai penyelenggara, sehingga  potensi kerumunan luput diantisipasi.

Tak hanya  Pemkot Makassar, Jika kita berselancar di portal-portal berita daerah, kita akan menemukan banyak sekali kegiatan ceremoni tatap muka  yang digelar oleh pemerintah daerah.

Acara yang sebenarnya bisa dilakukan secara daring, tetapi dengan alasan protokoler dan anggaran terlanjur dialokasikan,  tetap harus dilaksanakan secara offline.

Pemerintah sebenarnya harus  sadar dan sabar bahwa tidak bisa lagi  suatu  kegiatan itu dilaksanakan secara emosional, instan dan sekaligus. Misalnya dalam kasus lain, pelaksanaan kegiatan vaksinasi 1 Juta orang sehari yang baru-baru ini digelar  di beberapa daerah, ternyata menimbulkan kerumunan dan mengabaikan protokol kesehatan. Hanya karena mengejar target 1 juta orang dalam sehari, semuanya  kemudian  berpacu mengabaikan prokes.

Kita sangat setuju, kegiatan vaksinasi harus terus  berjalan dan dipercepat, namun tetap  bertahap dan menghindari euforia yang berlebihan. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengeliminasi  potensi kerumunan, diantaranya memecah  centra pelayanan vaksinasi di banyak titik dan memaksimalkan platform online untuk proses  pendaftaran dan undangan vaksinasi.

Dari dua contoh paradoks persoalan di atas, sudah saatnya pemerintah mengoreksi secara serius sikap inkonsistensi dan  ironis soal kebijakan larangan berkerumun di masyarakat. Pemerintah harus memaksakan dirinya realitis  dengan kondisi kehidupan di tengah pandemi Covid-19 saat ini.

Peran  pemerintah sebagai regulator, fasilitator dan motor kehidupan adaptasi kenormalan baru sangat dinantikan untuk menjamin keutamaan keselamatan masyarakat. Sehingga tak ada lagi diksi paradoks dan ironis atau labelling ceremony creator yang disematkan kepada pemerintah.

***