Nasi Setengah Matang

Agar sesuai dengan perilaku atau perlakuannya. Atau mungkin bisa kita sebut sebagai bakteri baik yang berkhianat kepada rakyat pencernaannya.

Kamis, 24 September 2020 | 16:39 WIB
0
1138
Nasi Setengah Matang
Nasi mentah (foto:bidadari.my)

Usai rehat siang sebentar tadi, saya merasa lapar karena dari tadi pagi saya belum makan nasi. Sebagai manusia yang normal, saya langsung berdiri dari tempat peristirahatan dan menuju ke ruang makan. Setelah saya buka ram (penutup makanan), ternyata belum ada lauk maupun nasi. Kemudian saya membuka rice cooker yang letaknya tak jauh dari meja makan tersebut, tapi hasilnya nihil. Mungkin dari tadi pagi orang tua saya sangat sibuk dengan pekerjaannya sampai-sampai mereka lupa memasak nasi dan lauk.

Karena saya tinggal di Jawa, tepatnya di Banyumas, yang dikenal sebagai daerah manusia-manusia berakhlak, beradab dan memiliki etika yang tinggi, maka saya yang memasak nasi dan membeli lauknya di warung makan dekat rumah. Sembari menunggu nasi matang, saya duduk di depan rumah dan meminum kopi. Biasanya setelah minum kopi, ada beberapa ide yang tiba-tiba muncul. Benar saja, tiba-tiba saya teringat pesan lucu dari Guru Sosiologi SMA dulu. Tentu saja ide ini muncul berkaitan dengan persoalan nasi yang belum matang.

Sebut saja Pak Hari (nama samaran). Beliau pernah mengajar Sosiologi pada saat saya kelas XII SMA. Di suatu jam pelajaran, beliau pernah bercerita mengenai anak indekos yang kelaparan. Seperti yang sudah biasa terjadi, pasti ada masanya anak-anak kos kekurangan materi dan  juga lumbung pangan.

Di saat-saat seperti itu, berbagai macam cara dilakukan anak kos untuk bertahan hidup seperti menjadi marbot masjid musiman, atau duduk-duduk di depan masjid sambil menunggu keajaiban datang. Ada juga yang utang duit ke teman dekatnya. Ada juga yang nyusup ke acara hajatan daerah sekitar. Bahkan ada juga yang mengikuti seminar hanya karena ingin snack-nya saja.

Namun Pak Hari waktu itu malah menyarankan hal lain untuk dilakukan jika berada dalam masa-masa depresi ekonomi seperti tadi. Beliau menyarankan dan memberi tips kepada kami, yang merupakan calon mahasiswa baru atau pekerja baru. Beliau bilang "Kalau kalian nanti ngekos, kalau masak nasi sendiri di kos, diusahakan jangan sampai matang. Minimal seperempat matang atau setengah matang". Usai berpesan seperti itu, sontak kami agak kaget. Karena memang sedari dulu kami selalu makan nasi yang matang dan tidak terbayang sedikitpun untuk makan nasi yang masih mentah.

Tak berselang lama, beliau melanjutkan pesannya, "Kalian pasti bingung, kan. Jadi, kalau misal kalian nanti memasak nasi setengah matang, pas di makan, pasti nanti akan bertahan lama di perut. Karena proses mengembangnya beras yang belum sepenuhnya jadi nasi itu akan mengembang di perut kalian. Nah ini kan nanti akan membuat kalian kenyang, juga tahan lama. Hahaha". Ucapan beliau ini kemudian menuai gelak tawa satu kelas.

Mungkin tidak setiap siswa mengesankan hal tersebut, tapi bagi saya sendiri itu merupakan hal yang sangat berkesan. Hingga saat ini, saya masih mengingat hal tersebut. Ketika ingatan ini muncul kembali tadi siang, saya lantas berpikir mungkin hal ini juga berulaku buat mi instan.

Jadi, semisal saya nanti sedang krisis di kos, saya tinggal beli mi instan dan dimakan mentah-mentah dengan tujuan untuk memanjang masa aktif kenyang di dalam perut. Dan saya rasa, bukan hanya saya saja yang pernah makan mi instan mentah. Pasti banyak kawan lain yang pernah juga melakukan hal serupa.

Saya kira pesan beliau hanyalah sebuah gurauan untuk menghias suasana kelas saja. Walaupun secara medis saya belum tahu mengenai benar atau tidaknya hal tersebut, tapi sangat memungkinkan kalau itu hanyalah sebatas guyon Pak Hari saja. Zat-zat yang ada di perut kita tentu tidak bisa membuat nasi atau mi instan menjadi mengembang. Malah justru sebaliknya, bukannya menyehatkan atau mengenyangkan, malah yang terjadi adalah sakit perut.

Banyak anjuran medis yang saya ketahui seperti anjuran untuk tidak memakan mi instan secara instan/tidak melalui perebusan terlebih dahulu. Bahkan ada yang mengatakan berbahaya.

Di samping itu, setelah flashback tadi, kemudian pikiran liar saya beralih pada ingatan lain seperti kasus korupsi, pelanggaran HAM, dan kasus lainnya di Indonesia kita ini yang marak terjadi. Rasa-rasanya pelaku-pelaku keburukan terkait kasus-kasus di atas jarang diusut tuntas, terkhusus kasus-kasus yang besar.

Mungkin pemerintah juga pernah mendengar pesan atau saran dari seseorang yang isinya hampir sama dengan apa yang disampaikan Pak Hari tadi. Orang yang terkait kasus-kasus besar kebanyakan terkait juga dengan pemerintah dan terkadang juga terkait sanak familinya.

Mi instan atau nasi yang belum matang kemudian kita makan dan masuk ke dalam perut, pasti makanan itu akan di demo oleh rakyat pencernaan karena dianggap sangat berbahaya bagi pencernaan dan imunitas tubuh. Akan tetapi zat-zat berbahaya ini pasti akan ditangkap oleh bakteri baik dan sistem perlindungan lain di dalam pencernaan.

Mereka memang bertugas menangkapi zat-zat berbahaya untuk kemudian diproses dengan tegas dan ditempatkan di tempat yang semestinya. Karena zat-zat berbahaya tidak dibutuhkan dalam imun tubuh dan pencernaan manusia, akhirnya mereka di buang di usus besar yang kemudian keluar lewat anus dan menjadi kotoran manusia. Namun tidak semua zat berbahaya bisa tertangkap oleh sistem perlindungan, kadangkala sebagian dari mereka luput dari pengawasan sistem perlindungan.

Analoginya, ketika orang-orang yang kiranya belum matang sepenuhnya secara mentalitas maupun moralitas kemudian dimasukkan ke dalam pemerintahan, maka yang terjadi di dalamnya adalah keributan dan hal-hal yang berbahaya lainnya. Bahkan mereka cenderung merugikan pemerintah, negara dan apa-apa yang ada di dalamnya. Kerugiannya juga melampaui rakyat banyak. Tentu hal ini berdampak buruk bagi pemerintah dan negara Indonesia. Alih-alih mereka ditangkap, malah justru mereka dilindungi oleh pemerintah dan aparat.

Bedanya kasus ini dengan pencernaan, yaitu terletak pada bakteri baik dan sistem perlindungan pencernaan lainnya. Dalam kasus zat berbahaya dari mi instan dan nasi yang belum matang, bakteri baik menangkap mereka untuk di buang ke tempat yang semestinya. Namun dalam kasus pejabat yang berbahaya, bakteri baiknya (pemerintah dan aparat) justru melindungi zat-zat berbahaya (pejabat) tersebut.

Seyogyanya dalam kasus tersebut bakteri baiknya, dinamakan bakteri jahat. Agar sesuai dengan perilaku atau perlakuannya. Atau mungkin bisa kita sebut sebagai bakteri baik yang berkhianat kepada rakyat pencernaannya.

***