Pepatah Betawi Mengatakan, "Air Laut Siape yang Asinin?"

Secara objektif harus diakui bahwa, hujatan, kritik dan caci-maki yang diterima SBY atau pun Jokowi sama beratnya, yang berbeda dari keduanya adalah reaksi dalam menerimanya.

Sabtu, 30 Mei 2020 | 09:25 WIB
0
1170
Pepatah Betawi  Mengatakan, "Air Laut Siape yang Asinin?"
Foto:Konspirasinews.com

Kalau orang betawi bilang, bagi orang-orang yang cenderung menyanjung diri sendiri itu, 'air laut siape yang asinin'. Idiom itu tergambar dalam pernyataan SBY, yang mengatakan, "dulu saya memimpin kurang apa?"

Pernyataan ini sepertinya membandingkan apa yang dialaminya selama memimpin, dibandingkan dengan yang dialami Jokowi, dalam menghadapi kritik, dan hujatan masyarakat, apa yang dihadapinya jauh lebih berat dibandingkan Jokowi. Kira-kira begitulah maksud pertanyaannya.

Bukan sebuah pertanyaan yang perlu dijawab sebetulnya, karena pertanyaan tersebut merupakan rangkaian dari sebuah pernyataan, yang lebih kepada ingin mengatakan SBY sudah melewati fase yang lebih sulit, namun stabilitas pemerintahannya tetap terjaga, dan pertumbuhan ekonomi tertap 6 persen. Seperti yang dilansir Wartaekonomi.com,

"Dulu saya memimpin kurang apa, dikritik, dihujat, tapi pemerintah saya tidak jatuh, ekonomi tetap 6 persen, demokrasi hidup, saya selesai alhamdulillah tepat pada waktunya. Jadi menurut saya, ini pelajaran yang perlu diambil oleh kita semua," katanya.

Tapi memang ukuran kritik terhadap sebuah pemerintahan, bukan semata menyangkut hal yang kurang atau berlebihan saja, karena sifatnya subjektif, kadang yang sudah benar pun dianggap tidak benar, dan yang gak bagus pun dianggap bagus.

Semua tergantung siapa yang memberikan kritik, seperti apa posisinya saat sedang menyampaikan kritik, kalau oposan pemerintah jelas akan cenderung subjektif, mungkin berbeda kalau yang memberikan penilaian adalah seorang pengamat.

Secara pribadi boleh saja SBY mengatakan apa yang dialaminya saat menjadi Presiden, lebih berat daripada Jokowi, begitu juga soal kritik dan hujatan yang dialaminya, karena beliau melihat dari sudut pandang pribadinya.

Jokowi juga bisa bilang bahwa, caci-maki, kritik dan penghinaan terhadap dirinya lebih sadis dari yang diterima SBY. Namun tetap saja masyarakat yang akan lebih objektif memberikan penilaian terhadap pernyataan keduanya.

Sayangnya sampai saat ini Jokowi belum pernah mengemukakan seperti apa yang dikemukakan SBY, cukup dia telan sendiri penderitaannya, Jokowi sangat menyadari bahwa semua itu bagian dari konsekwensi menjadi seorang pemimpin.

Kalau kritik terhadap sebuah kebijakan tentunya wajar saja, dan tidak mungkin SBY atau pun Jokowi tidak bisa menerima kritik. Bahkan penghinaan secara fisik pun keduanya sama-sama mengalami. Dan hal seperti itu adalah hal yang biasa, dan pasti dialami oleh seorang pemimpin.

Nabi sendiri sering menghadapi hal seperti itu, bahkan sampai diludahi wajahnya dan dilempari kotoran tubuhnya, namun Nabi menganggap itu adalah bagian dari ujian yang harus dihadapi, tanpa perlu mengeluhkannya.

Namun negara juga mengatur secara hukum, ada pasal penghinaan terhadap Presiden, dan siapa pun yang dianggap menghina dan melecehkan Presiden, dan dianggap melanggar hukum yang berlaku, tentunya perlu ditindak secara hukum.

Kalau hal seperti itu tidak ada tindakan hukumnya, maka selamanya seorang Presiden tidak akan pernah dihormati dan dihargai. Baik dimasa pemerintahan SBY, maupun Jokowi aturan tersebut tetap diterapkan.

Apalagi hal-hal yang menyangkut fitnah, baik terhadap SBY, maupun kepada Jokowi, negara mengambil tindakan jika SBY atau Jokowi melaporkan tindakan tersebut, kepada aparat yang berwajib, karena memang seperti itu prosedur hukumnya.

Pernyataan SBY tersebut di atas, bentuk dari hiperbolisme berbagai keadaan yang dialaminya, dalam persepsi pribadinya. Jelas yang bisa mengukur seberapa buruknya keadaan yang dialaminya, hanya dia yang bisa jawab.

Resiko menjadi pemimpin itu memang menderita, apa lagi menjadi pemimpin negara dengan rakyat yang berjumlah 270 juta jiwa. Penderitaan yang dialami adalah satu paket dengan pengabdian, dan pengabdian erat kaitannya dengan ketulusan.

H Agoes Salim pernah mengatakan, "Memimpin itu Menderita", ungkapan tersebut jelas merupakan berdasarkan pengalaman yang dihadapinya di zaman Pra Kemerdekaan.

Paskakemerdekaan, situasinya sudah jauh berbeda, pemimpin menjadi raja diraja, bergelimang harta, dan kaya raya. Begitu menderita sedikit langsung melow, berkeluh kesah, dan mudah prihatin.

Memang menjadi seorang pemimpin itu secara mental tergantung tempaan keadaan, yang ditempa keadaan yang sulit, secara mental akan lebih kuat, dan lebih berani mengambil resiko.

Pertanyaan yang diajukan pak mantan, yang bisa menjawab seperti apa dulu memimpin, dan kurang apa kritik yang diterima, hanya pak mantan, kalau kita yang jawab nanti malah dianggap tidak objeltif.

Secara objektif harus diakui bahwa, hujatan, kritik dan caci-maki yang diterima SBY atau pun Jokowi sama beratnya, yang berbeda dari keduanya adalah reaksi dalam menerimanya.

SBY cenderung sensitif dan reaktif, sementara Jokowi cenderung membiarkan, yang memberikan reaksi justeru pendukungnya dan aparat keamanan.

***