Inilah Kepala Daerah Paling Produktif Menulis Buku!

Tak mudah menemukan kepala daerah semacam ini. Harus diperbanyak. Kalau perlu dikloning, agar masyarakat benar-benar dipimpin oleh sosok yang melek budaya dan adab.

Selasa, 11 Agustus 2020 | 11:53 WIB
0
470
Inilah Kepala Daerah Paling Produktif Menulis Buku!
Kompilasi pribadi

“Saya pilih menjadi orang miskin yang tinggal di pondok penuh buku, daripada menjadi raja yang tak punya hasrat untuk membaca.” - Thomas B. Macaulay

Kebiasaan membaca buku menjadi salah satu lambang majunya suatu peradaban. Manusia beradab dan berbudaya adalah manusia-manusia yang paling rajin membaca buku. Artinya, mereka yang selalu haus ilmu, terus mencari, dan selalu merasa kurang. Manusia semacam ini akan lebih cepat maju dalam banyak hal dibanding orang lain yang malas mencari ilmu.

Budaya membaca seiring sejalan dengan budaya menulis. Semakin tinggi budaya membaca suatu bangsa, semakin besar pula budaya menulisnya. Tak ada kebiasaan menulis tanpa membaca. Tak ada orang membaca tanpa tulisan. Bangsa berperadaban maju sejak zaman Yunani Kuno, Romawi, Mesir Kuno, sampai Tiongkok Kuno, mencirikan diri mereka melalui hasil karya tulis bermutu. Sampai sekarang, kita masih dapat menikmati karya mereka, sekaligus mengambil ilmu, pelajaran, dan hikmah.

Bagaimana dengan Indonesia?

Bangsa kita sesungguhnya bangsa yang hebat dalam menulis dan membaca. Sejarah menggambarkan hal tersebut. Pada masa Sriwijaya, sudah terdapat perpustakaan sebagai pusat belajar warga dan pendatang yang sering singgah di cikal bakal kota Palembang itu.

Pun demikian peninggalan candi besar seperti Borobudur dan Prambanan, yang menyertakan beragam tulisan di sana. Beberapa kitab kuno dapat kita temukan hasil karya para pendahulu hebat kita. Misal kitab Sutasoma (Empu Tantular) yang di dalamnya terdapat konsep Bhineka Tunggal Ika.

Ada juga kitab Negarakertagama (Empu Prapanca), Arjuna Wiwaha (Empu Kanwa), Serat Centini (Pakubuwono V), La Galigo (Bugis Kuno), Sanghyang Siksa Kandang Karesian (kitab Sunda Kuno), Ilmu Jawa Kuno (Empu Siwamurti), Serat Dewa Ruci (Yasadipura II) dan masih banyak yang lainnya. Karya dan nama mereka abadi hingga saat ini.

Budaya membaca dan menulis di Indonesia saat ini, tergolong rendah. Data statistik mengungkapkan hal tersebut. Budaya baca kita hanya nol koma sekian, alias dari 1.000 penduduk hanya di bawah 10 orang yang gemar membaca buku. Demikian versi UNESCO. Jika budaya membaca rendah, sudah pasti budaya menulisnya lebih rendah lagi.

Orang yang membaca belum tentu menulis, apalagi yang tidak gemar memnaca. Data dari industri penerbitan buku menggambarkan hal tersebut. Ketika negara maju sudah menghasilkan lebih dari 200 ribu judul buku baru pertahun, Indonesia belum lagi menyentuh angka 100 ribu judul.

 Menjadi penulis tentu saja jauh lebih tidak mudah dibanding menjadi pembaca. Seaktif-aktifnya pembaca, jauh lebih aktif penulis. Butuh waktu, tenaga, pikiran, biaya, alat, disiplin, komitmen, dan niat besar untuk menjadi penulis. Orang tak punya waktu (sibuk), tak bisa menulis buku.

Orang yang tak punya pikiran, tak bisa menulis buku. Orang tak punya tenaga, tak bisa pula menulis buku. Orang tak punya disiplin, komitmen, dan niat tak mungkin mampu menulis buku. Betapa hebat para penulis masa lalu ya... Mereka singkirkan beragam hambatan itu demi menghasilkan karya tulis.

Melihat fakta-fakta tersebut, suatu hal yang istimewa ketika seorang kepala daerah, yang sibuk, yang punya segudang tugas, ternyata masih mampu menghasilkan karya tulis. Menulis sendiri bukan dituliskan oleh orang lain. Ide dan pikiran sendiri, bukan meminjam ide dan pikiran orang lain. Tak banyak kepala daerah jenis ini.

Hanya Ada Dua Kepala Daerah

Saya riset kecil-kecilan mencari siapa saja kepala daerah (bupati, walikota, atau gubernur) yang konsisten menghasilkan karya, selama dia menjabat. Buku apa saja, termasuk otobiografi. Yang penting naskahnya dia tulis sendiri. Lebih bagus lagi adalah hasil karya pemikiran, konsep, gagasan, dan sejenisnya.

Hasil riset itu mengerucut kepada dua nama. Satu berada di Sumatera, dan satunya lagi di Kalimantan. Memang benar banyak kepala daerah yang menerbitkan buku, terutama buku biografi. Sayang sekali, tidak masuk kriteria.

Beberapa alasan jadi penyebabnya.

1.      Sebagian besar dituliskan oleh orang lain.
2.      Sebagian besar untuk kepentingan kampanye politiknya.
3.      Sebagian besar hanya itulah satu-satunya buku sang kepala daerah tersebut.

Sementara dua kepala daerah yang masuk kategori sebagai yang paling produktif, konsisten menulis buku karya mereka sendiri, selama menjabat. Jumlahnya bukan hanya satu atau dua buku, tapi lebih dari 5 judul. Terhitung produktif untuk ukuran seorang kepala daerah, dengan kesibukannya sebagai pemimpin pemerintahan lokal.

 1.      Dr. Yansen TP., M.Si. (Bupati Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara)

Sejak menjabat sebagai bupati pada 2011 sampai 2020 ini, YTP (demikian sapaan khasnya) sudah menelurkan 6 judul buku. Semua bukunya adalah gagasan dan hasil pemikiran sang bupati. Dia tuliskan sendiri. Temanya adalah tentang konsep pembangunan, kebudayaan, dan literasi. Dari enam buku tersebut, empat di antaranya diterbitkan oleh penerbit terbesar di Indonesia, Gramedia Grup.

- Revolusi dari Desa (tentang pembangunan di desa)
- Revolusi RT (tentang terobosan pembangunan sampai level RT)
- Hidup Bersama Allah jadi Produktif
- Kaltara Rumah Kita (baru diluncurkan pada 8 Agustus 2020)

Saat naskah ini tayang, YTP sedang menyiapkan tiga buku lainnya, yaitu Budaya Membangun Bangsa, Krayan – Peradaban dari Dataran Tinggi Borneo, dan Mengkhianati Keputusan Sendiri. Uniknya, tak sekalipun dia tertarik menulis buku biografinya. Ingat, menulis buku itu tidak mudah. Hanya manusia dengan kapasitas mental dan intelektual tertentu yang mampu menghasilkan karya tulis bermutu.

Selain menulis buku, sang bupati juga aktif menggiatkan literasi warganya. Beragam kegiatan menulis terselenggara berkat kepedulian bupati, mulai dari pelatihan sampai lomba. Tak salah jika IPM (Indeks Pembangunan Manusia) kabupaten Malinau termasuk tinggi (di atas 71).

Paling tinggi kedua di Kaltara, setelah Tarakan, dan lebih tinggi dibanding sebagian besar kabupaten di Pulau Jawa. Kepala daerah yang intelektual, yang peduli literasi, yang haus ilmu, rajin membaca, dan mampu menulis, membuktikannya dengan hasil nyata.

2.      Soekirman (Bupati Serdang Bedagai, Sumatera Utara)

Bupati yang satu ini juga produktif menulis buku. Sejak sebelum menjadi bupati, Soekirman sudah rajin menulis buku. Jumlahnya kalau ditotal lebih dari 10 judul. Dia sangat aktif mengkampanyekan gerakan literasi khususnya membaca dan menulis di Serdang Bedagai. Selama menjabat sebagai bupati sejak 2010, berikut ini karya Soekirman.

- Ensiklopedia Serat Centhini
- Bang Kirman
- Perahu Gethek Nyabrang Jaladri
- Serdang Bedagai Kampung Kami
- Onderneming Van Sergai
- Serser Sauduran, Kumpulan Cerpen bahasa Batak
- Surat dari Medan, Merawat Budaya Literasi untuk Bangsa

Kedua bupati ini mengkampanyekan literasi bukan hanya dengan jargon dan kata-kata. Mereka melakukannya dengan contoh nyata. Bukankah salah satu model kepemimpinan terbaik adalah lewat teladan? Contoh nyata yang bukan sekadar formalitas. Mereka menghayati literasi sampai ke sanubari.  Beruntunglah warga Malinau dan Serdang Bedagai memiliki kepala daerah seperti YTP dan Soekirman.

Yusuf Ngadri, manajer Museum Rekor Indonesia (MURI) menyatakan dengan tegas bahwa kepala daerah semacam ini layak mendapatkan penghargaan dari MURI sebagai pegiat literasi. Tak mudah menemukan kepala daerah semacam ini. Harus diperbanyak. Kalau perlu dikloning, agar masyarakat benar-benar dipimpin oleh sosok yang melek budaya dan adab.  

***