Sumpah Serapah Pemuda Pencari Tahta

Oleh mereka yang takut perubahan dan kompetisi. Bayangkan, baik parpol, ormas agama, relawan, menyodorkan 300 orang untuk dijadikan menteri pada Jokowi.

Selasa, 29 Oktober 2019 | 07:30 WIB
0
388
Sumpah Serapah Pemuda Pencari Tahta
Ilustrasi pencari kekuasaan (Foto: Jawapos.com)

Tanggal 28 Oktober. Dulu, 91 tahun lalu, beberapa tokoh pemuda berkongres yang kedua, di Batavia 27-28 Oktober 1928. Mereka bersumpah; Pertama: Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia. Kedoea: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia. Ketiga: Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia!

Masih relevan? Sangat. Tapi jika semalam dilupakan, kalah berdengung dengan peringatan hari nganu, tak usah baper. Jangan ngritik itu. Omongin lainnya. Jika kita mendengar kemarin, beberapa tokoh melakukan test DNA, betapa muspra kita ngaku sebagai pribumi dan non-pribumi. Nusantara Raya sejak awalnya beragam, terbuka, tidak rasis. Terjadi kawin-mawin, silang ras, silang budaya.

Dalam Test DNA Pameran ASOI (15/10/2019), Grace Natalie ada darah Arabnya. Najwa Shihab ada Cinanya. Mungkin Amien Rais juga ada darah Aseng, sebagaimana Rizieq Shihab mungkin punya darah Rusia (setahun lalu dari Kementerian Arab Saudi meralat pernyataan bahwa pelarian itu keturunan ke-38 Kanjeng Nabi Muhammad. Ternyata hoax).

Gus Dur sudah lama ngaku keturunan Cina. Nggak seperti mereka, nggak ngakuin Cina, tapi produk makanan, alat musik, pakaian, didaku tanpa malu. Jika dulu Jonroe menuntut test DNA Jokowi, mungkin benar, bukan pribumi.

Perkembangan ilmu pengetahuan, apalagi memasuki abad milenia dengan revolusi teknologi komunikasi dan informasi, menjadikan tak relevan claiming dan labelling kita selama ini. Apalagi, belum lama didemonstrasikan dengan menyedihkan oleh elite kita. Bahwa omongan Menteri Agama sebagai menteri agama Republik Indonesia, bukan agama Islam saja, diprotes keras sembari mengingatkan sejarah perjanjiannya.

Memang Departemen Agama di Indonesia ada karena kompromi politik, atas tujuh kata dalam preambule UUD 1945. Karena itu, katanya, kementerian agama memang untuk ngurusin agama Islam saja. Pandangan ini, mungkin benar secara sejarah. Tapi tidak dalam konteks peradaban. Karena diskriminatif. Semena-mena. Tidak adil.

Demikian juga dikatakan Kemendikbud jatah kelompok ormas agama tertentu. Tabu jika hal itu diberikan pada pihak lain, orang lain, apalagi anak muda tukang ojek. Duh, baru tahu kini, para pejuang dulu ternyata menurunkan anak-cucu pengejar tahta. Untung para pejuang 1908, 1928, 1945, 1966 tidak meminta-minta jatah, agar anak turunnya dijadikan pejabat negara. Biar hidup enak, bergaji gede, dapet tunjangan dan fasilitas negara. Terus petentang-petenteng mau tidur di desa-desa.

Jika sejarah tak menarik bagi generasi sekarang, karena sering hanya dipakai untuk claiming dan labelling. Oleh mereka yang takut perubahan dan kompetisi. Bayangkan, baik parpol, ormas agama, relawan, menyodorkan 300 orang untuk dijadikan menteri pada Jokowi.

Sumpah mampus, itu menjijikkan!

***