Kehebohan terkait dengan habisnya perizinan ormas Front Pembela Islam FPI makin nyaring disuarakan di berbagai media termasuk sosial media. Memang muncul pro dan kontra di masyarakat, apakah perlu perpanjangan izin atau tidak perlu diperpanjang.
Walaupun suara yang pro untuk diperpanjang hanya sedikit, sementara masyarakat luas lebih cenderung untuk menghentikan izin beroperasi, namun suara yang segelintir orang tersebut nyaring, apalagi media tentu mengakomodir suara–suara yang pro terhadap FPI untuk mengekspresikan opininya.
Hal tersebut bukan karena tanpa alasan, karena berita yang konfrontatif merupakan sesuatu yang dianggap seksi untuk diberikatan dan sudah menjadi rahasia umum bahwa berita yang cenderung “panas” lebih enak untuk naik ke layar kaca.
Sepak terjang FPI selama ini dirasakan masyarakat lebih banyak meresahkan dibanding manfatnya, unsur kekerasan sering menjadi ciri khas yang dikedepankan dalam beragam aktifitasnya, sehingga tidak mencerminkan nuansa dan ajaran Agama Islam yang Rahmatan Lil Alamin, masyarakat sering dibuat resah oleh sepak terjang FPI, termasuk ketika unjuk rasa di tempat umum.
Bukan hanya tindakan yang kasar yang selalu dikedepankan, namun Bahasa lisan ketika diskusi di media masa maupun ketika unjuk rasa lebih bersifat intimidatif, bukan lantas mengajak untuk dakwah dengan suasana yang kondusif dan penuh dengan nuansa damai.
Dengan berpayung pada nama Islam dan kedok Ormas agama, namun dalam kenyataannya aktifitas ormas tersebut melebar hingga masuk dalam tindakan persekusi, misalnya jelang bulan Ramadhan, mereka cenderung main hakim sendiri dengan melakukan Razia di tempat hiburan malam maupun di warung penjual minuman keras, dengan dalih penegakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar, mereka merusak, membakar bahkan tega menganiaya pemilik warung maupun pengunjung hiburan malam.
Oleh karena itu negara dan masyarakat sampai sejauh ini belum mendapatkan manfaatnya dari eksistensi FPI, justru yang dirasakan oleh masyarakat adalah ketakutan dari aktifitasnya.
Selain itu tindakan persekusi jelas bertentangan dengan asas Bhineka Tunggal Ika, dengan demikian jelas sudah semestinya pemerintah untuk mempertimbangkan dengan seksama untuk tidak memperpanjang izin pendirian FPI.
Tentu pemerintah tidak perlu ragu untuk membekukan ormas tersebut, semakin cepat dibekukan tentu semakin baik, selain menodai agama Islam dengan aktifitasnya, FPI juga sering membuat onar dan kacau di masyarakat juga aktifitasnya sangat bertentangan dengan Pancasila, oleh karena itu, tidak salah kiranya FPI merupakan akronim dari Front Pengacau Indonesia.
Awal Maret 2019, 11 orang anggota FPI dengan sengaja telah mengacaukan Harlah ke-93 Nahdlatul Ulama di Tebing Tinggi. Dari hasil pemeriksaan para anggota FPI tersebut mengaku spontan membuat gaduh acara Harlah NU ke–93.
Dari kasus tersebut kita bisa menerka bahwa FPI tidak hanya membuat gaduh terhadap kelompok yang berbeda agama, bahkan dengan sesama muslim pun mereka masih berbuat rusuh dan anarkhis.
Padahal kita semua tahu bahwa NU merupakan ormas dengan umur yang lebih tua dari FPI bahkan NU lebih tua dari Indonesia.
Hal yang menyebalkan yang dilakukan oleh FPI adalah pencoretan bendera merah putih ketika melaksanakan aksi di depan Mabes Polri, kebayoran Baru pada 2017 lalu, hal tersebut tentu sangat melukai nilai–nilai kebangsaan.
FPI jelas telah memiliki rekam jejak dalam hal menodai harkat martabat bangsa, tidakkah mereka tahu bahwa Sang merah putih menjadi saksi bisu perlawanan arek suroboyo ketika berhasil merobek warna biru pada bendera Belanda dalam peristiwa di hotel Oranye.
Tidakkah mereka sadar bahwa Demokrasi dan Pancasila sudah final di Indonesia, sehingga siapapun yang tinggal dan mengaku sebagai warga negara Indonesia, maka sudah sepantasnya menjadikan Pancasila sebagai ideologi, bukan yang lain.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews