Tumben, Kali Ini Sindiran Amien Rais Pas

Politisi yang membangun perlawanan terhadap pemerintah dengan isu agama bukanlah oposisi. Mereka cuma oplosan. Jangan diminum sebab meracuni jiwa dan raga bangsa.

Selasa, 16 Juli 2019 | 12:04 WIB
0
695
Tumben, Kali Ini Sindiran Amien Rais Pas
Amien Rais [harianjogja.com] dan Pertemuan Jokowi-Prabowo di MRT [sindonews.com]

Mungkin karena saya pendukung Pak Jokowi, saya menilai Pak Amien Rais jarang benarnya. Tetapi kali ini Pak Amin Rais tepat. Sindirannya pas dan berisi.

"Yang lucu, enggak ditawarin Pak Jokowi, tapi ada yang minta-minta. Itu kan aib. Jadi GR," kata Pak Amien ("Amien Rais: Lucu, Enggak Ditawari Pak Jokowi Tapi Minta-minta..." Kompas.com. 15/7/2019).

Yang ia maksud adalah politisi dan parpol pendukung Prabowo-Sandiaga, termasuk PAN dan para politisinya, yang tiba-tiba ingin pindah barisan, masuk dalam pemerintahan.

Dalam pandangan Pak Amien, politisi dan parpol yang selama masa kampanye mengkritik pemerintahan Jokowi seharusnya konsisten melanjutkan kritik sebagai oposisi di parlemen selama 5 tahun mendatang.

Memang demikian yang seharusnya. Pemilu dan pilpres adalah kontes platform, lomba proposal politik, siapa yang memetakan dengan benar problem-problem bangsa dan menawarkan jalan keluar yang lebih diterima rakyat.

Menjadi aneh, dan betul itu aib, kalau setelah kalah, politisi dan parpol di kubu Prabowo ingin gabung dalam pemerintahan. Itu berarti ia menyetujui platform Jokowi-Ma'ruf. Apa ia khilaf selama masa kampanye kemarin?

Praktik pindah barisan setelah kalah adalah contoh paling telanjang dari oportunisme tanpa prinsip. Tak ada nilai baik yang diperjuangkan politisi dan parpol yang demikian selain kekuasaan semata-mata. 

Politisi dan parpol yang seperti ini hendaknya dicatat baik-baik dalam memori dan semasa kampanye 2024 nanti ludahi saja para caleg-nya kalau masih punya nyali setor muka ke tengah-tengah rakyat.

Jangan salah kaprah memaknai persatuan. Persatuan itu tidak sama dengan peniadaan perkubuan. Persatuan justru menghendaki perkubuan, pertentangan gagasan berlandaskan semangat serupa: demi kemajuan dan kemenangan rakyat Indonesia.

Demi kemajuan dan kemenangan Indonesia inilah oposisi, di parlemen pun ekstraparlementer, sangat dibutuhkan.  Rakyat membutuhkan sekelompok anggota parlemen yang senantiasa mencurigai kebijakan eksekutif; yang konsisten berteriak lantang memprotes kebijakan pemerintah yang mereka nilai mengangkangi kepentingan rakyat; yang selalu menawarkan sudut pandang dan alternatif kebijakan.

Yang tidak rakyat kehendaki adalah oposisi palsu, yaitu mereka yang menghalalkan segala upaya untuk menjegal pemerintahan, terutama mereka yang mengeksploitasi kebencian agama.

Melandasi politik dengan nilai-nilai agama itu berbeda dengan mengorbankan kebencian agama. Ketika Anda memperjuangkan kebijakan yang membatasi tingkat bunga bank, Anda berpolitik dengan landasan nilai-nilai luhur dalam agama. Itu baik. 

Tetapi ketika Anda menggunakan kekuasaan untuk mendiskriminasi warga negara lain yang berbeda agama, menghalangi mereka memperoleh dan melaksanakan hak-haknya sebagai manusia dan warga negara, Anda mengobarkan kebencian agama.

Politisi yang membangun perlawanan terhadap pemerintah dengan isu agama bukanlah oposisi. Mereka cuma oplosan. Jangan diminum sebab meracuni jiwa dan raga bangsa.

Jadi kita punya dua aib: politisi dan parpol yang loncat ke barisan pemerintah (seperti sindiran Pak Amien Rais) plus politisi dan parpol yang asal oposan, yang menghalalkan segala cara dan isu (semoga orang-orang Pak Amien Rais tak termasuk)

.***