Jokowi Melawan dengan Memangku

Ketika lawan menyerangnya, ia justru balik memujinya. Ketika lawannya merasa diserang, ia justru membelanya.

Minggu, 31 Maret 2019 | 13:31 WIB
0
1285
Jokowi Melawan dengan Memangku
Ilustrasi persahabatan Prabowo dan Jokowi (Foto: Facebook: Andi Setiono Mangoenprasodjo)

Debat semalam, sebenarnya menunjukkan "kesiapan dan kepantasan" Jokowi untuk mempertahankan kekuasaannya. Ia siap berkelahi, tapi mengajak lawannya dengan menggunakan caranya. Cara yang sebenarnya justru kuno sekali. Bila tidak bisa dianggap tradisional bin ndesit.

Dan Prabowo suka tidak suka terjebak. Ia memainkan strategi yang disebut "tangkap ikannya, jangan bikin keruh kolamnya". Ia memperlakukan sedemikian rupa Prabowo sebagai kawannya, bahkan tampak ia memiliki kecenderungan melindunginya. Ia berkali-kali dengan santai berkata: "Pak Prabowo adalah teman saya." Bahkan tak sungkan mengatakan, "Kami berdua sama-sama berjuang untuk kepentingan bangsa".

Akibatnya fatal! Prabowo justru nyaris out of control, yang saya yakin ia keluar dari skenario yang telah dipersiapkan oleh think-tank, minimal tim debatnya. Ia untuk ke sekian kali menunjukkan bahwa dirinya "jendral ugal-ugalan, penuh improvisasi, dan tidak taat garis komando". Hal ini bisa dilihat secara mencolok dan ceroboh, ketika ia justru memarahi penonton dan melarangnya tertawa. Ketika ia menyatakan bahwa pertahanan negara dalam keadaan rapuh, karena TNI lemah. Fatal! Opo tumon?

Barangkali, Tim Debat Prabowo kecele, karena seminggu sebelumnya Jokowi menyatakan akan melawan. Seolah-olah siap tempur da beradu keras dalam Masa Kampanye Terbuka.

Di sinilah persoalannya, Jokowi tetaplah Jokowi yang penuh kejutan. Ia tetaplah orang Jawa yang suka ngglembuk. Ngglembuk di sini bisa sulit diterjemahkan dalam bahasa Indonesia baku. Ia perpaduan antara menggoda, merayu, menipu, sekaligus mempermainkan.

Intinya ada unsur "kenakalan" dalam diri Jokowi yang digunakan untuk menaklukkan rivalnya secara sangat halus dan mulus. Akibatnya apa? Prabowo tampak sedang monolog di panggung, typical jendral militer tinggalan era Orde Baru. Ia gagap dan gugup dalam berdialog. Dan bagian terburuknya, setiap kali ia melakukan statement ofensif selalu mentah, karena Jokowi justru tidak melakukan serangan balik.

Inilah perubahan strategi terpenting dibanding dengan debat ronde sebelumnya. Rangkulan Jokowi ini, merusak psikologis Prabowo yang semula dipersiapkan Tim Debat-nya bersikap gahar seperti rocker, malah jatuh jadi penyanyi mellow berhati Pance.

Dan bagian paling dramatik yang terjadi adalah Jokowi seolah melindungi Prabowo dari "kemungkinan" serangan keluarga besar TNI aktif maupun purnawirawan. Yang suka tidak suka telah dilecehkannya dengan mengatakan "Saya TNI yang lebih dari TNI".

Ia mungkin salah comot iklan, meniru dan mengaplikasi jargon yang selalu bilang "mobil yang lebih dari sekedar mobil". Padahal setiap mobil juga selalu mengiklankan dirinya begitu. Nyaris sama dengan Kecap No, 1, tak ada satu pun yang nomer 2. Apa Lacur!

Bagi saya pribadi, inilah perbedaan capres dari kalangan sipil dan militer. Orang militer itu "terlalu mempersiapkan diri", mereka terlalu serius, sehingga kadang kehilangan sisi alamiahnya. Mereka kurang rileks, sehingga sisi humanisnya hilang. Berbeda dengan orang sipil, yang cenderung "nothing to loose".

Coba lihat Soekarno, Gus Dur, dan juga Megawati. Bandingkan dengan Suharto dan SBY. Orang militer terlalu banyak tik-tak, plan-skenario-nya terlalu rumit. Bahkan dalam sebuah acara seperti debat capres ini yang mustinya tak lebih sebuah "idol challenge". Artinya apa? Kita mustinya paham bahwa joget-jogetan yang beberapa kali yang dilakukan Prabowo itu bukan tanpa rencana. Itu dibuat untuk sekedar membuat dirinya sendiri tampak rileks. Karena sesungguhnya ia sangat tegang!

Akhirul kata: Jokowi malam ini untuk ke sekian kalinya menggunakan falsafah Jawa yang sebenarnya sudah terlalu biasa. Sudah seperti kacang goreng, saking pasarannya. Ia melawan dengan cara memangku. Yen dipangku meneng, yen dipepet ngampret. Haiyah!

Ketika lawan menyerangnya, ia justru balik memujinya. Ketika lawannya merasa diserang, ia justru membelanya. Ia menggunakan falsafah Sosrokartono: menang tanpa ngasorake, "menang tanpa harus merendahkan".

Toh seperti kata Jokowi: Prabowo adalah sahabat saya.

Mangkanye dilanjutkan persahabatannya....

***