Ada Apa Dengan Rasionalitas Pendukung Capres?

Selasa, 15 Januari 2019 | 22:16 WIB
0
556
Ada Apa Dengan Rasionalitas Pendukung Capres?
perdebatan menghiasi sosial media

Pesta demokrasi pemilihan presiden atau pilpres tinggal hitungan bulan. Namun hawa panas antara kedua pendukung telah memasuki suhu yang cukup ekstrim. Rasionalitas dari pendukung pilpres pun kini harus dipertanyakan.

Menurut KBBI, rasional merupakan pikiran dan pertimbangan yang logis, menurut pikiran yang sehat, cocok dengan akal. Sedangkan kerangka pemikiran yang tidak berdasarkan pertimbangan yang logis dianggap irasional karena menggunakan emosionalitas semata.

Merujuk pengertian tersebut maka sejauh mana pendukung calon presiden yang akan berkompetisi pada pilpres 2019 berpikir secara rasional? Ataukah perseteruan polarisasi politik telah membentuk perilaku pendukungnya mengambil langkah irasional?

Empat bulan menjelang pilpres pertentangan kedua kubu pendukung terlihat jelas didunia nyata. Meski secara kehidupan nyata, polarisasi politik ini telah menelan korban jiwa di Madura. Peristiwa tersebut diawali dari saling ejek dan ancam di media sosial.

Iklim politik kini memang tak sejuk lagi jika dianggap sebagai pesta demokrasi. Kerangka pemikiran yang seharusnya dengan mempertimbangkan logika sudah sirna ditelan emosionalitas. Saling hujat di dunia maya, saling mencari keburukan, menunggu kesalahan, selalu menghiasi media sosial, Prihatinnya tak sedikit manusia yang terjebak dengan kebencian.

Sekarang ini memperlihatkan kerangka berpikir rasional akan mendapatkan stempel cebong ataupun kampret sebagai jargon hinaan diantara kedua belah kubu. Tak sedikit mereka yang berusaha mengkritisi akan mendapatkan perlawanan keras dari pendukung yang irasional. Bisa dikatakan saat ini bukan saja tahun politik, tapi tahun baper– istilah kids jaman now.

Daya rasionalitas yang telah dikangkangi oleh emosionalitas tentu menciptakan interaksi sosial yang kurang nyaman. Tak sedikit media sosial yang seharusnya menjadi ajang silahturahmi antara keluarga, teman sekolah, teman kampus, teman kantor, kini menjadi wadah marketing digital untuk para capres.

Ketika mengamati aplikasi whatsapp yang dikelompokan dalam beberapa kotak hubungan sosial, seperti keluarga atau arisan RT merupakan kelompok dengan lingkup orang terbatas. Sayangnya karena irasional terhadap capresnya, tanpa sengaja memasarkan jagoannya hingga menjelekkan lawan pilihannya.

Padahal ketika kerangka berpikir masih mempertimbangkan logika, maka akal akan mengolah apakah yang dishare baik atau buruk, fakta atau hoax, logis atau tidak,menyinggung atau tidak, menghargai pilihan anggota grup atau tidak. Karena setiap anggota grup tentunya telah memiliki pilihan tersendiri, namun karena pertimbangan logis memilih diam untuk saling menghargai.

Saat jar-jari ini meneruskan informasi yang tidak jelas dengan kebenarannya, tidak sesuai dengan etika dan moral, tentunya pertanyaan harus dibalikan kepada diri sendiri, sudah sejauh mana kerangka berpikir logis dikalahkan berpikir irasional atau emosionalitas.

Ketika berpikir irasional menduduki pemikiran logis, maka dapat dikatakan bahwa akal tengah mengalami gangguan kesehatannya. Hasilnya memang memberikan kepuasan emosional tetapi tidak memberikan dampak positif dalam interaksi sosial.

Elit Politik Ciptakan Irasional Kepada Pendukungnya

Fenomena mengkerdilakan akal sehat atau rasionalitas para pendukung capres tentunya tidak tercipta begitu saja. Cara menanggapi stimulus informasi terkait pilihannya secara irasional tentunya karya dari elit-elit politik, mesin-mesin politik dan strategi menciptakan pendukung fanatik karena tahap emosional yang dipengaruhi.

Propaganda politik yang menyentuh ranah emosional memang kerap disuguhkan para elit politik. Tak sedikit di depan layar televisi melakukan dramatisasi perdebatan, namun terkait proyek saling berjabatan.

Lebih ekstrim lagi, ketika para elit ini melemparkan ungkapan-ungkapan sadis, dari gantung dimonas, jalan kaki Jakarta-Yogya, potong kuping, hingga yang terbaru, pernyataan dari La Nyalla Mattalitti yang akan memotong lehernya jika Jokowi tidak mendapatkan kemenangan di Madura. Widih… sadis bangetkan!

Retorika yang dihembuskan para elit politik ini telah mencapai titik nadir dalam pesta demokrasi 2019. Pengkhianatan akal sehat terus dipropagandakan, pendewasaan berpolitik kini dikerdilkan, mimpi disiang hari para elit memberikan pengajaran kebangsaan.

Elit politik tak lagi memperlihatkan ketinggian logika yang menempel pada titel sosial dan ijasah ilmunya, mereka sibuk sebagai homo sapien yang menampilkan sisi hewani yang bermodalkan naluri. Sehingga tak heran jika para kawula mengimplementasikan hal yang tak jauh berbeda.

Mirisnya tak sedikit penjaga risalah Tuhan terinfluence dengan ulah elit politik. Penjaga akal sehat dan kelembutan daya rasa tersebut, tidak lagi menyampaikan keteduhan menjelma laksana politikus yang berorasi menggelegar.

Mengutip pujangga luhur Ronggo Warsito, Amenangi Jaman Edan. Ketika banyak manusia sudah keluar dari akal sehatnya (edan), untuk selamat melewati jaman tersebut harus lebih Ingat dan Waspada kepada yang Maha Pencipta Kehidupan jika tidak ingin ikut edan (gila).

***