Quo Vadis, Fahri Hamzah, Mungkinkah Akan Berlindung di Kandang Banteng?

Minggu, 20 Januari 2019 | 16:26 WIB
0
1146
Quo Vadis, Fahri Hamzah, Mungkinkah Akan Berlindung di Kandang Banteng?
Sumber: www.detiknews.com

Seorang tukang bakso pernah berkata "Kalau benci janganlah terlalu benci, nanti jadi cinta lho.."

Dia mengucap itu kepada seorang wanita SMA yang membenci pemuda gondrong yang lebih sering bolos dan selalu dipanggil polisi akibat tawuran ketimbang belajar di kelas. "Cowok brandal, brengsek" katanya dulu.

18 tahun kemudian, pemuda tersebut tumbuh tampan, pengusaha start-up dan kini menjadi suaminya. 

Itupula kenapa kalimat tukang bakso itu menjadi begitu penting jika melihat langkah Fahri Hamzah belakangan ini.

Fahri terlihat kebingungan ketika ditodong pertanyaan mengenai adanya gerombolan orang berkaos Jokowi-Ma'aruf 01 di sebuah acara GARBI. Ormas anyar besutan Anis Matta, rekan politik Fahri.

Fahri memang sekonyong-konyong menolak pernyataan itu, tapi foto (yang dianggap hoax) tidak tampak seperti hoax atau tempelan. Jika itu betul penyusup, kok gak langsung diusir oleh panitia, malah enjoy ada disana. Piye?

Oya, sebelum lanjut, kita bahas dulu. Siapa sih GARBI itu?

GARBI adalah singkatan dari Gerakan Arah Baru Indonesia, didirikan oleh pentolan sekaligus ex-Presiden PKS, Anis Matta. GARBI muncul sebagai wahana "sayap" PKS. Bahasa politisnya: korban "konflik internal".

Latar belakang didirikan GARBI muncul dari Anis Matta sendiri, yang saat Agustus 2015 menginisiasi gerakan pembaharuan PKS dengan terlibat mengganti Ketua Majelis Syuro, Hilmi Aminuddin ke Salim Segaf Al-Jufri. Pergantian elit ini memang berhasil namun membuat nama Anis Matta yang saat itu menjadi Sekjen lantas menjadi incaran elit, utamanya elit tua.

Di PKS sudah bukan rahasia umum lagi jika terbagi dua faksi. Yaitu, faksi "Adil" dan faksi "Sejahtera". Faksi "Adil" diisi oleh para tokoh tua senior aliran konservatif, mereka adalah Hilmi Aminuddin, Salim Segaf Al-Jufri, Tifatul S, Sohibul Imam dan Suripto (ex-BIN). Sedangkan faksi "Sejahtera" diisi tim yang lebih muda, terbuka dan lebih modern, diantaranya Anis Matta, Fahri Hamzah, Mahfud Siddiq, dll, termasuk para legislatif daerah.

Menurut Maffudz Siddiq, Anis Matta memiliki ideologi berbeda dengan faksi "adil", diantaranya mengenai sistem pengelolaan sumber daya. Anis Matta berpandangan bahwa pengelolaan sumber daya harus terbuka dan transparan, sedangkan Hilmi sebaliknya.

Bagi Hilmi, sumber daya harus dikelola terpusat agar terkontrol. Cara yang sedikit banyak berkaca pada sistem Sosialis. Ini yang tidak disetujui oleh Anis Matta, Fahri dkk.

PKS lahir sebagai manifestasi partai Islam yang demokratis, dimotori oleh orang-orang muda di masa awal reformasi karena berpijak dari dakwah kampus (Tarbiyah) bawaan dari paham Ikhwanul Muslimin yang kental. Islam transnasional. Meskipun penegak ideologi awal adalah Hilmi dkk.

Fahri dkk sendiri muncul dari bibit KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) sebagai basis intelektual muda, motor gerakan Tarbiyah sebagai pondasi pendirian Partai Keadilan (PK) di awal, terpisah dari faksi ustad nan tua.  

Sehingga menurut Anis Matta, apa yang dilakukan Hilmi adalah kontradiksi dari semangat PKS. Jika terus menganut konservatif, PKS tidak akan berkembang di alam demokrasi. Tapi manuver Anis Matta tidak berhasil juga, Salim Segaf Al-Jufri justu kontra dengan dirinya. Jabatan Anis sebagai Presiden PKS selesai di 2015.

Masuk ke 2018. Konflik berkembang menjadi "teror". Banyak caleg di daerah yang akhirnya mengundurkan diri, atau dipecat lantaran berkiblat ke Anis. Sala satunya Imam Anshori, ketua DPD PKS Situbondo. Lalu muncul surat edaran Dewan Pimpinan Pusat PKS yang meminta loyalitas kader kepada partai yang diwujudkan dalam dua lembar formulir. 

Formulir pertama adalah surat pernyataan bersedia diganti jika sewaktu-waktu diperintahkan partai, formulir kedua adalah surat pengunduran diri sebagai anggota DPRD dengan tanggal kosong, Seperti dikutip Tirto.id.

Cara ini dilakukan karena"terinspirasi" dari kasus pemecatan Fahri Hamzah di tahun 2016. Fahri akhirnya berhasil banding dan kasus justru dimenangkan Fahri. Hal yang masih jadi tanda tanya, siapa di belakang Fahri?

Sedangkan gugatan (Alm) Yusuf Supendi (pendiri PK) ke PKS sebagai akibat dirinya di pecat diluar prosedural partai pun di tolak mentah-mentah Pengadilan.

Kasus pemecatan Fahri juga adalah buntut dari kisruh partai di Agustus 2015 itu. Kontra antara Fahri dengan Presiden Partai PKS, Sohibul Imam.

Yang menarik dicermati adalah manuver Fahri sebelum dirinya dipecat. Fahri seperti sengaja mengundang es-mosi para elit PKS. Kita mulai kronologisnya:

Pertama, Fahri nyebut bahwa anggota DPR "rada-rada bloon". Sebagai Wakil ketua DPR, menurut PKS tidak pantas Fahri ngomong seperti itu.

Kedua, Fahri mengatasnamakan DPR setuju untuk membubarkan KPK. Pernyataan kontroversi yang sebetulnya tidak perlu dikeluarkan Fahri. PKS pun marah, Fahri dianggap "kurang menjaga etik". Disini diduga ada hubungan penyataan Fahri dengan upaya melindungi kasus suap Setya Novanto.

Ketiga, Fahri malah pasang badan untuk megaproyek gedung DPR. Yang "infonya" tidak sesuai dengan arahan DPP PKS.

Keempat, ini yang fatal. Fahri mendukung kenaikan gaji dan tunjangan anggota dan pimpinan DPR, serta revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. "Padahal WKMS (Wakil Ketua Majelis Syuro) dan Presiden PKS telah secara tegas menolak revisi UU KPK," kata Sohibul.

Fahri malah seperti menantang, kata Fahri, orang-orang yang menolak itu adalah orang yang sok pahlawan. Saya saat mendengar itu lantas tertawa segar. Ada sesuatu dari Fahri yang kita tidak tahu.

Atas itu semua menghasilkan satu hal: Fahri di bully rakyat. Otomatisl PKS pun kena bully. PKS seperti tidak mau ikut-ikutan atas omongan Fahri, Fahri yang menumpahkan gelas kopi kok PKS yang kena cipratannya? Disuruh bersihin lagi. Kan ya gak mau, gitu kira-kira.

Alhasil, 2016 Fahri dipecat dari PKS. Saya pernah menulis bahwa Fahri tidak perlu bersedih, suatu saat Fahri akan kembali ke PKS dengan bendera PKS Perjuangan. Seperti Megawati. Eh saya salah, Fahri justru menggugat balik PKS, dan menang. Fahri tetap di PKS, meskipun PKS tidak pernah mengakui dirinya lagi.

Fahri tentu bukan orang sembarangan. Fahri punya massa yang kuat, dia pun bisa mengarahkan kemana massa itu. Ada yang tanya "Kok gak malu sudah gak dianggap tapi masih pake nama PKS untuk di DPR?".

Kalau anda di politik, singkirkan rasa malu, plester wajah anda dengan semen yang tebal.

Jadi pergerakan GARBI saat ini adalah puncak dari perseteruan Fahri dengan faksi "adil". Fahri pun terang-terangan meminta Sohibul mundur, Fahri mendukung Anis Matta, atau dirinya sendiri menjadi Presiden PKS.

"Menggembosi" PKS sampai dalam tahap yang sekarang bukan langkah satu-dua kali, tapi langkah konsisten nan persisten. kasus seperti ini akan kembali ke pertanyaan retorik. Siapa yang paling diuntungkan dari manuver Fahri (dan juga Anis Matta)?.

GARBI muncul persis menjelang Pilpres 2019. GARBI menunjukkan ada konflik partai yang serius di PKS. PKS tidak lagi solid. Bahkan bukan rahasia lagi jika bicara perpecahan.

GARBI jelas adalah bentuk lain dari PKS, inilah PKS Perjuangan versi Anis Matta dan Fahri Hamzah. Bagaimanapun menyebalkannya Fahri, Fahri adalah sosok yang menguntungkan bagi oposisi PKS. Dalam hal ini tentu saja: PDI Perjuangan.

Hanya PDIP yang sejak orde baru hingga saat ini memiliki platform visi misi dan arah yang konsisten. Partai lain (termasuk Golkar pasca Orba) naik turun, kiri kanan, loncat sana sini.

Geliat Fahri merontokkan PKS pun terlihat dari kritikannya ke Jokowi. Fahri adalah kritikus ulung, bahkan sering diluar pakem. Fahri sering membuat dirinya sasaran bully. Elit PKS (lagi-lagi) gerah, kritikan Fahri dianggap kurang santun, sering membuat kader PKS di lapis bawah bepikir ulang.

Bahkan ada yang membandingkan antara kritikan ala Fahri dengan kritikan ala Hasto di PDIP. Hasto dianggap lebih santun dengan tata krama, padahal PDIP bukan partai agamis. Berbeda dengan Fahri yang membawa PKS sebagai partai agamis. 

"Jangan-jangan Fahri intel PDIP, bro?" Tanya seorang kawan.

"Terlalu jauh, orang dalam PDIP mungkin enggak, tapi kalo ada tujuan lain ya entah, namanya politik" Jawab saya.

Toh isu bahwa Anis dan Fahri "diternaki" oleh Orde Baru, Hary Tanoe dan bahkan Wiranto sudah sering saya dengar, meskipun tak ada bukti, hanya isu semata.

Yang jelas, salah satu pendiri sekaligus deklarator PKS, (Alm) Yusuf Supendi santai-santai saja melenggang ke Hanura lalu kemudian ke PDIP. Ini membuktikan, tidak ada loyalitas buta disana.

Artinya kemudi politik tidak pernah di kendalikan oleh Nahkoda, namun oleh kemana angin berhembus.

***