Turun Gunungnya " Sang Mantan"

Kenapa mantan raja tua itu harus kembali turun gunung, belum tega anaknya bertarung sendirian di tengah kejamnya perang politik dan adu mental bertanding.

Senin, 26 September 2022 | 20:58 WIB
0
77
Turun Gunungnya " Sang Mantan"
AHY dan SBY (Foto: Kompas com)

Konon ada seorang “Raja” setelah lengser dan menyerahkan tahtanya kepada penerusnya melalui pemilihan langsung yang melibatkan rakyat. Ia kemudian pergi ke gunung untuk melakukan olah rohani, sekedar menghibur diri setelah anak buahnya banyak melakukan tindakan yang merugikan rakyat. Ia juga meninggalkan banyak masalah yang harus diselesaikan oleh raja berikutnya.

Ia sebenarnya tidak benar-benar melupakan kisah pengalamannya sebagai raja, para pendukungnya masih selalu melakukan nostalgia atas “catatan kesuksesan” selama Raja masih berkuasa. Meskipun dalam masa kekuasaannya tidak banyak pembangunan yang berhasil diselesaikan karena dalam setiap keputusannya ia bukanlah pedagang yang berani berspekulasi, lebih banyak maju mundur ragu takut di demo takut menyakiti masyarakat sehingga ia lebih menyerah agar ia tetap dikenang sebagai pembela rakyat dengan menggelontorkan BLT yang ujung-ujungnya hanya membuat masyarakat terbuai manja dengan bantuan-bantuan dan kurang bersemangat bekerja keras mencari peluang pekerjaan. Maka muncul ormas-ormas, muncul lembaga-lembaga yang disubsidi, juga banyak proyek menjadi bancakan para oligarki partai. Mereka pesta pora hingga akhirnya setelah lengser Raja peragu itu banyak pemuja dan anak buahnya yang terseret kasus korupsi.

Badan dan kata-kata Rajanya memang memukau, Raja yang gemar belajar, hingga bisa mencapai tataran pendidikan tertinggi pada sebuah perguruan berlatar belakang pertanian. Ia menjadi doktor namun jarang bicara tentang spesifikasi keahlian dan latar belakang pendidikannya. Ia lebih banyak melontarkan opini, pesimisme dan kecurigaan adanya konspirasi para elite politik yang saat ini tidak banyak mengajak anaknya untuk berkolaborasi atau melakukan kerjasama politik. Maka partainya memutuskan menjadi oposisi dengan modal nostalgia masa lalu, mengingatkan pada masyarakat bahwa mereka dulu pernah ada di menara gading kekuasaan.

Bersenandung, memperlihatkan bahwa kekuasaan itu agung, meskipun”terkesan”jauh dan tidak tersentuh”. Ia lebih percaya kata-kata yang menjadi sihir, menciptakan narasi yang berkadar intelektual”canggih” meskipun pelaksanaan di lapangan  kedodoran. Namun paling tidak ada hal positif yang bisa dilihat rekam jejaknya Raja yang sering melow tersebut dan dituangkan dengan banyaknya lagu yang diciptakan.
Bagi pemuja orang-orang gagah, dengan pidato tertata dan tata bahasa yang “meyakinkan” bolehlah pemujanya menaikkan bendera kekaguman. Namun yang tidak suka basa-basi, lebih suka kerja-kerja dan kerja maka orasi-orasi mantan raja itu hanya berisi retorika yang susah dilaksanakan di lapangan. Bahkan naluri spekulasinya untuk memutuskan kebijakan benar-benar membuat banyak pengamat meradang.

Kenapa sering muncul keraguan, sehingga ia lebih takut tidak disukai rakyat daripada meluncurkan kebijakan yang baru akan dirasakan setelah ia tidak menjabat. Raja ini sungguh punya perasan halus, gampang iba hati dan tidak tega jika popularitasnya turun gara-gara keputusan yang tidak bisa memberikan kesenangan pada banyak pihak.

Maka beliau lebih senang membatalkan hal-hal yang tidak”urgen”dan puas hanya dengan pembangunan sedikit yang penting masyarakat menikmati BLT. Maka banyak yang lebih terkenang pada raja ini yang tidak banyak meninggalkan jejak pembangunan namun dikenang “baik hati” karena bisa memanjakan masyarakat dengan BLT.

Ia ingin membangun dinasti dengan mengutus putra mahkota bertarung memperebutkan pucuk kekuasaan negeri yang kaya akan sumber daya alam ini. Sayang kalau dilewatkan, maka ia selalu menjadi pendamping setia anaknya, dan belum berani melepaskan untuk bisa bertarung dari tingkatan paling rendah. Anaknya langsung diprioritaskan untuk menjadi ketua partai, dan bertarung di level tertinggi negara. Sang Raja sangat yakin dengan dirinya meskipun pada pertarungan untuk menjadi pemimpin di tingkat ibu kota anaknya kalah telak.

Ia ragu dan akhirnya kembali masuk gelanggang pergunjingan politik, melontarkan perang polemik, memicu dan memainkan isu-isu yang bernada playing victim. Bom konspirasi agar hanya ada 2 calon yang berkontestasi untuk memperebutkan jabatan tertinggi di negerinya. Raja yang galau gemalau kalau anak mahkotanya kesepian karena tidak ada partai yang melamarnya untuk dijadikan calon raja.

Kenapa mantan raja tua itu harus kembali turun gunung, belum tega anaknya bertarung sendirian di tengah kejamnya perang politik dan adu mental bertanding.

“Sebetulnya kalah dan menang khan sebuah resiko, Tuan. Kenapa harus gebalau begitu, nikmati masa tua anda, tidak usah kembali bertarung, toh tubuh dan mental sudah tidak mendukung. Yakin saja bahwa putra mahkota yang kinyis-kinyis, gagah perkasa itu mampu melewati tantangan rintangan, belajar saja pada Arjuna, Bima. Mereka petarung dan tidak mengandalkan suport orang tua. Mereka lebih yakin pada diri sendiri.”

“Sungguh tidak tega membiarkan anakku harus menghadapi kejinya dunia politik saat ini, apalagi harus meyakinkan kembali pada rakyat bahwa kami masih sangat patut dipertimbangkan. Aku ingin kembali turun gunung, menyokongnya dari dekat, mumpung aku masih punya jejaring relasi kekuasaan.”

“Ah, istirahat saja, melukis, menyanyi, main musik, sambil menikmati jalan-jalan tol yang terhubung ribuan kilometer, menikmati tempat wisata indah di seantero negeri ini. Sudahlah, nikmati hidup saja.”

“Tidak bisa, aku harus mempersiapkan pidato, banyak yang harus diluruskan. Anakku harus mendapat tempat terhormat seperti diriku.”

“Halah… gagal move on.”

 ***