Nusantara Jadi Kecil di Tangan Jokowi

Apa boleh buat, pilihan sudah diambil. Tinggal menunggu reaksi dan pendapat dari para pengamat, sejahrawan, dan bla bla bla. Apakah mereka mau mendebat atau sekedar membuatkan stempel.

Selasa, 15 Februari 2022 | 06:06 WIB
0
222
Nusantara Jadi Kecil di Tangan Jokowi
Koes Plus (Foto: eventori.id)

Kabarnya, Menteri Bappenas, Suharso Monoarfa telah mengkonfirmasi bahwa Jokowi. Yah Jokowi, bukan yang lain. Telah memilih kosa kata "Nusantara" sebagai nama ibukota baru, yang kelak akan dibangun di Kabupaten Penajam Paser. Pilihan ini diambil dari 80 nama yang disodorkan. Tentu kita tidak tahu, 79 nama lainnya itu apa saja? Dan siapa saja yang mengusulkan. Yang jelas pilihan, Nusantara itu dipilih dengan menghilangkan kata "Jaya" di belakangnya.

Bagi saya tentu ini adalah berita buruk. Meneruskan kesembronoan umum yang terus menerus dilakukan dalam kontek kata "Nusantara". Kata yang agung, yang terus menerus mengalami pendangkalan karena digunakan untuk berbagai merek. Di Jawa Tengah terdapat perusahaan otobis bernama Nusantara, yang kalau tidak salah berbasis di Kudus. Kota ajaib, yang banyak melahirkan pengusaha-pengusaha besar dari bermula sesuatu yang mini dan mikro. Mulanya PO ini hanya melayani trayek Kudus-Semarang, tapi akhirnya menjadi salah satu pemain bisnis transportasi paling besar di Jawa Tengah.

Sebesar-besarnya Nusantara, ia hanya nama otobis, yang hanya sebatas Jawa Tengah dan sekitarnya.

Nusantara juga simbol perampokan perusahaan swasta di masa kolonial. Perusahaan perkebunan milik pribadi, yang umumnya dikelola orang-orang Eropa dinasionalisasi untuk hanya menjadi beban keuangan negara. Saya sering menulis bahwa nasionalisasi pada awal tahun 1950-an adalah titik balik sistem ekonomi terbuka menjadi sangat tertutup. Sesuatu yang kelak, dibayar mahal dengan kebangkrutan rezim Orde Baru. Sial betul, program yang diinisiasi PKI ini, justru hanya (sangat) dinikmati oleh lingkaran militer TNI-AD. Yang kelak melahirkan perseteruan absurd yang ujungnya adalah peristiwa paling berdarah di negeri ini apa yang dikenal sebagai G30S PKI.

Perusahaan-perusahaan yang semula dikelola secara efisien dan secara mandiri berhasil membangun kota-kota besar di Indonesia itu, kemudian disatukan dalam Perusahaan Perkebunan Negara yang disebut sebagai Perkebunan Nusantara. Bisa maju? Hanya bertahan, sebagaian sangat besar bangkrut, karena bukan saja salah kelola. Tapi terutama jadi sarang korupsi! Silahkan digoogling, berapa banyak perusahaan dengan mencatut kata Nusantara yang bisa jadi besar? Umumnya justru malah mandeg dan berusia pendek saja.

Yah, karena kalau meminjam istilah Jawa itu: "kaboten jeneng". Keberatan nama, terlalu tinggi berkeinginan. Kurang deduga istilahnya...

Satu-satunya hal baik yang saya catat dari penggunaan kata Nusantara adalah kelompok band paling legendaris di Indonesia: Koes Plus. Band hyper nasionalis ini mengaransemen serial lagu Nusantara, yang lucunya justru didakwa sebagai band kapitalis-liberal oleh Sukarno. Sesuai dengan irama awalnya yang sangat sederhana, hingga acap disebut band ngik-ngok. Persoalannya jadi serius, hingga mereka sampai dipenjara di Glodok?

Begitulah selera, tak bisa diperdebatkan. Tapi bisa membuat orang jadi sangat dungu. Kelak di tangan Koes Plus lahir serial panjang album Nusantara, justru dimasa ketika Indonesia di bawah Orde Baru. Seperti ucapan selamat datang dari banyak perusahaan asing. Itulah Indonesia, politik selalu merusak ritme usaha yang sebelumnya justru jauh lebih membumi dan sehat. Lagu ini, seolah seolah menunjukkan Indonesia sedang mengangkang membuka bajunya telanjang, mengundang investor asing untuk kembali datang.

Absurditas yang lain lagi! Lagu-lagu indah Nusantara itu justru mengiringi atau undangan, awal pemerkosaan yang brutal terhadap kekayaan alam Indonesia! Mungkin semacam nina-bobo, proses blinding, yang hingga hari ini masih sering terdengar. Alam kita kaya, kita ini tak kurang apa? Sampai kita sadar kita tak pernah cukup modal, teknologi selalu tertinggal, SDM yang sibuk mikir perutnya sendiri ketimbang kemajuan bersama....

Itulah sekelumit cerita tentang "sejarah pemerkosaan" terhadap kontek ke-Nusantara-an. Akan makin panjang bila dikaitkan dengan kelompok atau gank-gank keagamaan: di mana kelompok yang lebih tradisional, apa pun itu agamanya akan mendaku sebagai Islam Nusantara, atau Kristen Nusantara atau Hindu Nusantara. Walau sesungguhnya mereka agak lupa diri, sebagai sesama pendatang. Mereka selalu merasa lebih "orisinal", "lebih domestik", lebih "tuan rumah", lebih membumi. Demikianlah pendatang selalu juga butuh pengakuan.

Dan bila hari-hari ini, Nusantara ditetapkan sebagai nama ibukota baru. Saya ngungun, malah mikir bahwa rencana pemindahan ibukota ini tak bakal terealisasi. Di luar biayanya yang super besar. Di tempat yang baru itu, SDM domestiknya payah. Bupatinya baru saja ditangkap KPK. Sosok yang masih sangat muda, tapi gaya sok tahunya luar biasa. Mungkin karena ia berasal dari "partai oposisi tanggung dan gagal". Yang sekarang ketuanya seolah memposisikan diri sebagai pemerintah dalam pengasingan. Lagi berobat, tapi gayanya lebih mirip bedol desa. Sosok bupati yang tak tampak mendukung upaya baik program nasional itu.

Jokowi tinggal 2,5 tahun lalgi menjabat. Tak ada tanda-tanda bahwa ibukota baru itu akan terealisasi dengan baik. Pandemi menghentikannya. Gambar rancangan memang telah disebar dimana-mana. Sebagian mengundang kagum, sebagian lain melecehkannya. Karena ibukota negara kok model, gaya, dan aura-nya tampak seperti resort peristirahatan dan obyek wisata. Terlalu nyaman, lah kapan bekerjanya....

Dan bila Jokowi melakukan blunder lain, dan memilih kata Nusantara. Suatu kosa kata yang dianjurkan oleh seorang ahli branding perusahaan dari Jogja. Ia sudah almarhum beberapa tahun yang lalu. Ia pandai menghitung angka, huruf, dan ahli mengkaji simbol, logo dan brand. Pada masanya, ia berhasil memprovokasi banyak seniman Indonesia berdasar nama mereka, lalu menghitung prospek baik buruknya. Lalu untuk mengkoreksi nasibnya, ia meminta si pasien itu untuk menulis di buku blirik. Saya tak yakin manjur, sependek yang saya tahu para pasiennya tetap tak mampu melawan gerusan penyakit usia tua.

Tapi itu bukan urusan saya. Salah satu legacy terpentingnya adalah ia adalah orang yang gigih menyarankan untuk mengganti nama Indonesia dengan Nusantara agar usia Indonesia jauh lebih panjang. Pertimbangannya banyak sekali. Salah satunya karena "Indonesia" itu memiliki angka yang menurut perhitungan numeriknya rendah. Selalu menimbulkan keributan yang tak pernah usai, dan yang jelas bukan asli buatan orang Indonesia. Artinya, ia telah mengingatkan bahwa usia Indonesia itu sebenarnya tak lama lagi. Horotoyoh....

Berpikir baiknya, Jokowi mungkin justru merasa sedikit meng-upgrade konteks Nusantara. Dari sekedar nama-nama ruang di lembaga wakil rakyat yang keparat di Senayan itu. Menjadi nama sebuah ibukota baru. Walau tetap saja, sebaliknya ia juga merendahkannya sekedar nama ibukota. Nusantara jadi tampak kerdil....

Demikianlah sebuah kontroversi. Bagi saya sendiri, pilihan nama Nusantara sebagai alternatif ibokota baru: di luar tidak kreatif, tidak reflektif, juga maaf menunjukkan makin tumpulnya Jokowi masa-masa akhir pemerintahannya. Sebagaimana umum terjadi pada figur yang menjabat dua periode, dan justru seolah malah tak tergantikan. Penyakit kronis yang terjadi karena kutukan alam demokrasi.

Apa boleh buat, pilihan sudah diambil. Tinggal menunggu reaksi dan pendapat dari para pengamat, sejahrawan, dan bla bla bla. Apakah mereka mau mendebat atau sekedar membuatkan stempel.

Sikap saya: tentu saja saya menolak!

NB: Eh, saya hanya ingin sedikit mengkoreksi. Mungkin nama Nusantara itu malah sudah sesuai lagu Nusantara 1 milik Koes plus, sebagai awal serial selanjutnya. Hidup di Nusantara yang santai, gontai, karena kita seolah sudah tidur di atas emas permata. Tak usaha cemburu, ini nusantara yang indah....

Ini juga sudah sesuai model arsitekturnya, nanti kita ke sana plesir. Menonton kemegahan bangunannya, sembari melihat para pegawainya bekera dengan gontai menegosiasikan proyek ini itu. Jual beli, tukar guling, hal ini itu: intinya semua pegawai merangkap pedagang. Hidupku bebas selalu kawanku, tiada ada yang memburu. Hutannya lebat seperti jembutku, eh salah rambutku....

***
.