Kekonyolan dan Kemunafikan Kita Di TTS

kita sepertinya perlu mengingat kembali pesan salah seorang novelis terbaik Indonesia, Pramodya Anata Toer, yang pernah mengatakan bahwa : “Kita haruslah berbuat adil sejak dari dalam pikiran”.

Minggu, 16 Mei 2021 | 12:18 WIB
0
808
Kekonyolan dan Kemunafikan Kita Di TTS
Kepada Timor Tempat Kami Berpulang

Daerah kita memang tidak selalu bergerak maju. Yang biasa terjadi adalah maju satu langkah, mundur tiga petak. Atau maju tiga langkah lalu diikuti dengan dua langkah mundur. Inilah yang kiranya seringkali dialami oleh daerah kita.

Para pembuat kebijakan didaerah kita, meski memiliki setumpuk pengalaman dibirokrasi beserta gelar yang panjang, tapi tidak selalu mengajari kita untuk lebih berkembang ke arah kedewasaan, tetapi malah mundur ke arah pembodohan dan pemakluman.

Akhirnya, tak heran ketika banyak daerah sudah mulai bergerak ke arah pemetaan untuk memaksimalkan potensi daerah demi mencapai kesejahtraan masyarakat, kita justru masih berkutat soal hal-hal remeh-temeh.

Kebijakan Tanpa Jiwa Dan Nalar Sehat


Masalah program internet desa yang dibiayai dari anggaran dana desa Tahun 2020, dan perluasan jaringan radio dengan total anggaran 1,8 M di kabupaten Timor Tengah Selatan adalah beberapa contohnya. Ini adalah bentuk kongkalikong tanpa melihat apa yang menjadi masalah dan kebutuhan paling mendasar yang dialami oleh masyrakat kita.

Dua contoh yg saya kemukakan diatas adalah contoh kongkrit dimana para pamangku kebijakan kita tidak ditopang dengan kajian dan nalar sehat. Nalar yang sehat dan kajian untuk menopang kebijakan-kebijakan seolah sudah menjadi barang langka di daerah kita. Kalau dalam pengambilan kebijakan selalu menggunakan nalar yang sehat, dan jiwa yang bersih, maka ia akan bergerak untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan mendasar dari masyrakat serta mampu melampaui sekat-sekat kedaerahan, agama, budaya, serta mengantarkan manusia pada kesadaran dasar sebagai mahluk semesta. Dan bukan malah sebaliknya.

Kesalahan Elit Dan Kesalahan Kita

Di sisi lain, korupsi juga masih terus menjadi masalah yang tak terselesaikan di kabupaten kita. Upaya untuk memerangi korupsi pun selalu saja dibuat mainan oleh para pejabat busuk.

Dewan Perwakilan Rakyat kita pun seakan pasrah ditengah kewenangan mereka untuk menjalankan fungsi kontrol kepada eksekutif. Belum berhenti disitu, bahkan lembaga penegak hukum didaerah kita pun seringkali tak mampu mempertahankan kebebasan dan kewibawanya. Mereka hanya tajam ketika berhadapan dengan masyarakat desa.

Akhirnya, kita membuat indikasi-indikasi liar bahwa jangan-jangan lembaga ini pun sudah jatuh ke dalam politik kotor, yang kehilangan ketajamannya sebagai ujung tombak di dalam perang melawan korupsi.

Pada tingkat yang lebih luas, kita sebagai masyarakat juga tidak kunjung belajar dari kesalahan-kesalahan kita sendiri.

Mesin dihidupkan, Pohon-pohon ditebang, dan hutan-hutan kita hilang sedikit demi sedikit. Pakaian-pakian dicuci dipinggir sungai, tapi sampah-sampah plastik bekas bungkusan rinso dibiarkan begitu saja. Air sungai kita tercemar, dan kualitas air kita buruk. Akhirnya, berbagai penyakit menyerang kita tanpa mengenal usui. Belum berhenti disitu, cara berkebun dengan terus berpindah-pindah dengan sistem tebas-bakar pun masih sering kita lihat dan diamkan.

Beberapa kasus diatas adalah contoh-contoh kongkrit, dimana alam kita dirusak oleh kita sendiri, demi kenikmatan dan kepentingan sesaat.

Bangga Pada Slogan Dan Julukan

Kita seringkali bangga dengan julukan-julukan dan slogan-slogan agama yang ditempelkan ke daerah kita, seperti: “TTS-ku, Firdaus-Ku”, atau disinilah “air pernah berubah menjadi anggur”, atau didaerah kitalah terdapat “kelompok doa” terbanyak di NTT. Tapi jujur, gaya hidup dan cara berpikir kita di abad 21 ini sama sekali tidak mencerminkan rasa prihatin terhadap kerusakan alam, masalah perempuan, kelaparan, krisis pangan, dan krisis air yang terjadi hampir setiap tahun di daerah kita.

Kalau dilihat, semakin hari semakin banyak keputusan yg kita buat, baik kita sebagai masyrakat biasa, atau juga para pengambil dan pembuat kebijakan kita malah semakin jauh dari nalar sehat dan nilai-nilai agama itu sendiri.

Sikap tidak peduli, bekerja asal jadi, ingin menonjolkan golangan, politik balas dendam, dan ingin cepat-cepat menutupi kesalahan dan lain-lain justru seakan menjadi daya dorong utama pembuatan keputusan. Maka tak heran, banyak masalah lama belum selesai, sementara masalah baru sudah muncul.

Sekali lagi, ini adalah contoh bahwa tanpa nalar yang sehat dan jiwa yang bersih dalam mengambil kebijakan, maka kebijakan kita hanya menjadi kumpulan masalah dan penderitaan yang tak kunjung berakhir.

Harapan Dan Kritikan Kepada Pemuda

Ditengah berbagai permasalahan yang ada didaerah, tentulah kita tidak boleh pasrah dan pesimis. Kita (pemuda) justru haruslah menjadikan permasalahan-permasalahan yang ada untuk melatih konsistensi diri kita masing-masing untuk terus berdiri bersama masyrakat (terutama masyrakat desa). Untuk itu, kita perlu lebih peka terhadap masalah-masalah yang dialami oleh masyarakat, serta terus-menerus mengawal kebijakan-kebijakan pemerintah daerah.

Kedua hal itu, haruslah terus kita lakukan untuk memastikan bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah daerah, haruslah bertujuan untuk menjawab permasalahan-permasalahan masyrakat.

Hanya dengan begitu, konsistensi dan keberpihakan kita terus diuji. Dan bukan sebaliknya, kita justru bermain diwilayah abu-abu.

Disatu sisi seakan mengakomodir suara-suara dan keluhan masyrakat, tapi disisi lain justru menyisipkan kepentingan pribadi ketika berhadapan dengan para pejabat daerah.

Hal ini seringkali dianggap sepeleh oleh sebagian orang, sehingga lupa mengoreksi diri kita secara pribadi. Kita perlu bertanya pada diri sendiri:

Apakah niat kita untuk mengoreksi kebijakan pemerintah agar sesuai dengan kebutuhan masyrakat, ataukah kita sedang memanfaatkan keluhan masyrakat untuk kepentingan pribadi?

Jadi perlu dilihat bahwa tugas kita adalah mengoreksi hal-hal yg ada diluar diri kita (seperti mengoreksi kebijakan pemerintah), tapi juga mengoreksi hal-hal yang ada didalam diri kita masing-masing.

Kita perlu saling mengingatkan, karna beberapa kali yang kita temui adalah mental “jilat atas, injak bawah”. Saat mengkritisi masyrakat dan pejabat didesa, garangnya minta ampun. Tapi saat ada kesalahan yang dilakukan oleh pejabat daerah, selalu saja bermain diwilayah abu-abu, bahkan diam seribu bahasa.

Begitu keras menekan dan mengkritisi kepala desa untuk melakukan transparansi anggaran, tapi kalau ke pemerintah daerah malah selalu mengutamakan sopan-santun. Coba cek saja, apakah pemerintah daerah benar-benar sudah melakukan transparansi anggaran?

Untuk itu, kita sepertinya perlu mengingat kembali pesan salah seorang novelis terbaik Indonesia, Pramodya Anata Toer, yang pernah mengatakan bahwa : “Kita haruslah berbuat adil sejak dari dalam pikiran”.

***

Honing Alvianto Bana, Lahir Di Kota Soe - Nusa Tenggara Timur. Saat ini sedang aktif bersama kawan-kawan pemuda GBKN. Ia sama seperti banyak orang yang pernah kalian temui dipersimpangan jalan.