Pilkada dan Risiko Politik bagi Pimpinan Nasional

Disarankan pemerintah mempersiapkan langkah kontijensi apabila covid menjadi sulit dikendalikan, monitoring dengan ketat setiap perkembangan yang terjadi.

Minggu, 27 September 2020 | 05:59 WIB
0
211
Pilkada dan Risiko Politik bagi Pimpinan Nasional
Presiden Joko Widodo (Foto: Bisnis.com)

Pada hari Senin (21/9/2020), Komisi II DPR RI bersama Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sepakat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 tetap berlangsung 9 Desember 2020.

Ketua Komisi II, Ahmad Doli Kurnia, membacakan kesimpulan rapat;

"Mencermati seluruh tahapan yang sudah dan sedang berlangsung masih sesuai sebagaimana yang telah direncanakan dan situasi yang masih terkendali, maka Komisi II DPR RI bersama Mendagri, Ketua KPU RI, Ketua Bawaslu RI dan Ketua DKPP RI menyepakati bahwa pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 tetap dilangsungkan pada 9 Desember 2020." Doli meminta KPU merevisi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pilkada dalam Kondisi Bencana Nonalam.

Nah, palu telah diketuk, 6 hari lagi sejak artikel ini ditululis, rangkaian pilkada yang paling berbahaya (masa kampanye) akan dilaksanakan. Artinya kini ancaman dari virus corona Covid-19 tidak membuat gentar politisi, parpol serta KPU serta pemerintah yang ujung tombaknya Mendagri. Covid senang dinilai masih terkendali. Mestinya pukulan "jab" covid terhadap Ketua KPU dan dua komisioner yang dia tulari dilihat sebagai early warning.
Kebijakan Presiden

Presiden dalam kebijakannya beberapa waktu yang lalu menetapkan bahwa prioritas pemerintah mengutamakan penanganan covid, bila covid dapat diatasi maka dampak ekonomi akan diatasi. Penulis sangat setuju, karena Covid ini masalah mendasar yang menimbulkan dampak merusak, terutama dampak resesi ekonomi. Jadi bukan dampak yang menjadi prioritas tetapi selesaikan dahulu masalah mendasar itu.

Tetapi kini pilkada sebagai sub sistem komponen politik justru tidak tergoyahkan, walau sudah disarankan diundur waktunya oleh PBNU dan Muhammadiah tetap tidak dikerjakan. Disini terlihat betapa kuatnya pengaruh politik tersebut. Presiden jelas mendapat masukan dari Mendagri, dari inner circle dan dari DPR, serta partai-partai pendukungnya.

Kira-kira masukannya "Aman pak, kita bisa atur dengan merevisi PKPU, sangsi diketatkan, covid masih terkendali, kita tidak tahu kapan covid selesai, sehingga kalau diundur, ada banyak Plt kepala daerah yang tidak bisa mengambil keputusan strategis". Itu reason yang disampaikan lewat media. Agak terpikir, presiden tanpa sadar bisa tergiring ke killing ground (persepsi intelijen).

Fungsi dan Fakta Intelijen

Intelijen adalah bisnis yang sulit, dan akan berakhir menjadi sebuah prediksi. Artinya intelijen memberi masukan sesuai dengan fungsinya, yaitu penyelidikan, pengamanan dan penggalangan.

Presiden semestinya mendapat masukan murni (independen) hasil penyelidikan khusus tentang covid, seberapa besar kemungkinan pengaruh pilkada terhadap penularan. Misalnya sebagai contoh, data pertambahan kasus harian mulai 23 September ditarik mundur ke bulan maret (203 hari). Tanggal 23 maret +65 kasus, 23 April +357, 23 Mei +949 , 23 Juni +1.051, 23 Juli +1.906, 23 Agustus +2.037, 23 September +4.465 kasus. Secara sederhana terbaca, dalam kondisi tidak ada kegiatan besar tingkat nasional saja angka dan trendnya naik.

Menurut Co-Founder KawalCovid-19, Elina Ciptadi, "Saat ini bukan waktu yang aman, bukan waktu yang tepat melakukan Pilkada. Pertama, karena jumlah kasus harian kita masih meningkat. Tidak hanya kasusnya setiap hari ribuan, tapi trennya masih naik," kata Elina dalam webinar soal desakan penundaan Pilkada 2020, Selasa (22/9).
"Kedua, trend yang naik ini didapatkan dari jumlah tes yang masih sangat rendah. Menurut ketentuan minimum WHO saja, seharusnya kita mengetes minimum 40 ribu orang sehari. Sampai sekarang jumlah tes yang sudah kita lakukan masih di angka 20-30 ribu," sambung dia.

Bahkan, menurut Elina, kenaikan kasus harian di Indonesia yang sudah mencapai 4 ribu belum menjadi puncak tertinggi kasus corona. Dia mengatakan kasus harian COVID-19 akan semakin banyak apabila tes terus ditingkatkan.

"Sehingga angka yang 4 ribu kasus kemarin itu baru puncak gunung es-nya saja. Kalau kita mengetes lebih banyak orang, itu niscaya jumlah kasusnya akan naik, tapi positivity rate-nya turun," ucapnya.

Selain itu, kata dia, saat ini positivity rate di Indonesia masih mencapai 20 persen yang menunjukkan "kasus corona belum terkendali dengan baik." Karena itu, seharusnya pelaksanaan pilkada ditunda.

Fungsi Intelijen Pengamanan

Dalam fungsi pengamanan (intelijen) memberikan input user (the decesion maker), yaitu pengamanan (pam) pribadi, pam personil, pam materiil, pam informasi dan pam kegiatan. Kebutuhan fakta dan analisis adalah, seberapa besar KPU serta aparat keamanan mampu mengatasi ketidak disiplinan mereka yang terlibat dalam pilkada, pembantu presiden memberi masukan prediksi covid potensi penularan hingga proses pilkada selesai.

Dalam kasus kehilangan pekerjaan, kehilangan mata pencaharian, sulitnya perekonomian masyarakat serta pengusaha berusaha terus survive walau ada efeknya yang berat.Tetapi dalam pilkada ini yang perlu diwaspadai adalah besarnya semangat para pendukung, yang bisa mengacuhkan protokol kesehatan. Sanksi yang selama ini dipertontonkan tidak membuat takut. Nah, tugas berat KPU dan Bawaslu, membuat aturan baru dengan sangsinya.

Apa juga akan ditaati?

Penilaian Resiko

Menarik yang disampaikan M.Qodari, Direktur Eksekutif Indo Barometer, bahwa pilkada mirip bom atom. Walau statemennya agak ektrem, persepsi Qodari memberi gambaran hitungan bahaya Covid-19. Disebutkan bahwa masa kampanye 29 September-5 Desember akan terjadi di 1.042.280 titik, dari 1.468 calon, bila positivity rate 10 persen, maka 10 dari 100 yang hadir berpotensi Covid/OTG. Bila dihitung, 10X 1.042.280, akan ada 10.422.800 orang yang berpotensi covid yang berkeliaran selama 71 hari kampanye.

Nah, hitungan akan lebih menakutkan bila dimasukkan data dari Co Founder, KawalCovid19, Elina, bahwa positivity rate Indonesia saat ini masih 20 persen. Maka jumlah yang betpotensi covid akan menjadi dua kali lipat, yaitu 10.422.800 x 2 = 20.845.600 orang. Semoga saja hitungan ini tidak akurat, tetapi kalau benar bagaimana? Ada yang menyebut Indonesia bisa menjadi pandemi dunia (Astaghfirullah).

Intelijen selalu berfikir kemungkinan terburuk (worst condition), maksudnya bila itu terjadi, kita sudah siap. Tidak terkena pendadakan dan menjadi panik. Disinilah dibutuhkan saran intelijen fungsi pengamanan, seberapa banyak pemerintah bisa menyiapkan petugas kesehatan, tempat isolasi, ruang ICU, dukungan pulasara.

Saat normal saja tower 4 di Wisma Atlit, yang baru 4 hari dibuka sudah terisi 34 persen. Jangan sampai bila jumlah meledak, pemerintah tidak mampu mengendalikan kondisi yang berlaku, tidak siap dan bisa terjadi situasi panik.

Satu hal yang membuat penulis khawatir, bila pilkada menyebabkan efek negatif ekstrem, kasus covid meledak, sulit dikendalikan , maka akan muncul resiko politik terhadap siapa yang harus bertanggung jawab. Jelas bukan Mendagri, DPR, Parpol, KPU atau Bawaslu. Dengan ringan akan ada yang disalahkan yaitu Presiden Jokowi. Karena final decesion adalah presiden, itu alasannya.

Secara hukum dan konstitusi maka mereka yang berniat melengserkan akan mencari celah kalimat dalam pembukaan UUD 1945, .... tujuan Pemerintah Negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia...Ini resiko terberatnya, bisa ada penilaian masalah kemampuan. Mengganti menteri atau yang lain tidak besar efeknya, tetapi bila presiden dilengserkan, jelas ada konflik kepentingan dan upaya perebutan kekuasaan.

Saran dan Penutup

Dari fakta-fakta dan pembahasan, disarankan, PKPU dibuat lebih tegas, beri sangsi kepada si calon bila terjadi pelanggaran, hingga sanksi diskwalifikasi. Pendukung hanya akan taat kepada si calon. Di sini peran aparat keamanan harus mampu membuktikan. Kampanye sebaiknya lebih ditekankan secara virtual, tetapi jelas akan ada hambatan bagi pilkada di daerah yang terpencil.

Intinya, arahkan PKPU jangan ada pengerahan masa
Disarankan pemerintah mempersiapkan langkah kontijensi apabila covid menjadi sulit dikendalikan, monitoring dengan ketat setiap perkembangan yang terjadi. Waspadai kemungkinan kasus covid dipergunakan sebagai sarana teror.

Demikian, semoga pemerintah mampu mengendalikan Covid19 dalam kegiatan pilkada dan Allah selalu melindungi bangsa Indonesia dan Presiden Jokowi dengan barokahNya, Aamiin.

Marsda TNI (Pur) Prayitno Wongsodidjojo Ramelan, pengamat intelijen

Jakarta, 23 September 2020