Menjadi Pendukung Tidak Harus Seperti Pengidola Penyanyi K-Pop?

Selasa, 4 Februari 2020 | 09:56 WIB
0
356
Menjadi Pendukung Tidak Harus Seperti Pengidola Penyanyi K-Pop?
Foto:Hipwee.com

Kadang memberikan dukungan kepada seorang pemimpin, tidak melulu dengan support yang bersifat pujian, memberikan kritik secara konstruktif juga harus dilakukan. Memang dengan kritik yang diberikan, bagi orang lain bisa menganggap sebagai kekecewaan terhadap pilihan.

Padahal sebuah kritik yang konstruktif, jauh lebih baik dari sekedar pujian yang menjerumuskan. Menjadi pendukung seorang pemimpin, tidak harus membuat kita membeo, dan menganggap semua apa yang dilakukannya baik.

Kembalikan saja dasar pijakan kita saat memilih, apa yang mendasari kita memilih, apakah cuma berdasarkan seiman, atau karena melihat kelebihan yang dimilikinya, misalnya kejujuran, ketegasan, dan juga kepemimpinannya.

Ada kewajiban dan tanggung jawab kita sebagai pemilih, yakni mengawasi kinerjanya selama lima tahun kepemimpinannya. Apakah benar pemimpin yang kita pilih tersebut amanah terhadap tanggung jawab yang diberikan.

Kalau pun kita mengkritiknya, itu tidak berarti mengkritiknya secara personal, tapi lebih kepada kinerja dan kebijakan yang diterapkannya. Dan tentunya, kritik tersebut bukanlah atas dasar kebencian, tapi lebih dalam bentuk koreksi.

Saya pendukung dan pemilih Jokowi, mulai sejak Pilgub DKI sampai dua kali Pilpres 2014 dan 2019. Pada saat beliau jadi Gubernur, tidak sekalipun saya mengkritisi kinerjanya, begitu juga pada masa jabatan periode pertama menjadi Presiden.

Kalau pun ada satu dua artikel yang saya tulis, siafatnya lebih kepada mengingatkan. Soal apa yang disampaikan diterima atau tidak, itu bukan persoalan, bagi saya yang penting sebagai pendukung saya sudah ikut memberikan koreksi.

Pada kepemimpinan Jokowi di periode kedua, saya agak kerap mengkritiknya, dan itu bukan berarti saya kecewa atas pilihan saya, karena itu saya lakukan sebagai sebuah kewajiban sebagai pendukung, saya bukanlah pendukung yang suka membeo, yang cuma sebagai pemuja.

Pada masa pemerintahan SBY juga begitu, pada periode pertama, saya mendukung penuh semua kinerjanya, karena memang banyak perubahan yang diberikan, namun pada periode kedua, sepanjang lima tahun kekuasaannya, hampir setiap hari saya menulis artikel yang mengkritisi kinerja dan kebijakannya.

Apakah saya pembenci SBY? Ya tentu tidak, kecewa mungkin iya, karena memang banyak hal yang tidak sesuai harapan. Ditambah lagi dominasi partai dan perilaku kader partainya yang terlalu atraktif dalam hal korupsi. Sehingga banyak menteri kabinet dan kader partainya terjerat kasus korupsi.

Padahal jargon politiknya "katakan tidak pada Korupsi", ketidak-konsistenan inilah yang saya kritisi. Itulah kenapa akhir-akhir ini beberapa artikel saya banyak mengkritisi sepak terjang pemerintahan Jokowi dan PDIP, karena memang sinergi keduanya terasa sangat timpang.

Kalau saya mengkritisi kinerja Anies Baswedan, bukan karena saya benci, atau karena saya bukanlah bagian dari pendukungnya. Dalam kemenangannya, ada beberapa suara yang saya sumbangkan saat pemilihan.

Pada putaran pertama, saya memang memilih Ahok, tapi pada putaran kedua saya memilih Anies Baswedan, hanya atas dasar 'seiman'. Ya wajar saja kalau saya mengkritisi kinerjanya sebagai pemimpin, sebagai bentuk tanggung jawab saya sebagai pemilihnya.

Kita tidak boleh buta hanya karena dukungan dan pilihan, sehingga kehilangan objektivitas dalam memberikan penilaian, cuma membeo atas dasar seiman. Kalau memang ada yang salah dalam kepemimpinannya, dan salah dalam penerapan kebijakannya, masak sih kita cuma membeo.

Itulah kenapa saya bilang, menjadi pendukung tidak harus membeo, tetap harus rasional dan objektif. Harus bisa memisahkan antara seiman dan kepentingan, juga kewajiban. Taklik kepada seorang pemimpin hanya atas dasar seiman, hanya akan merusak nalar dan objektivitas.

Tetap proporsional dan profesional dalam memberikan penilaian, berani mengatakan yang salah adalah salah, dan yang saya benar adalah benar. Jangan bilang menjadi pendukung itu gak ada beban, justeru menjadi pendukung itu juga punya beban dan tanggung jawab.

Menjadi pemilih dan pendukung seorang pemimpin itu bukan seperti mengidolakan penyanyi K-Pop, yang tidak perlu rasional, sehingga mabuk dalam pemujaan yang berlebihan, tidak lagi menggunakan nalar dan logika.