Menuju Sungai Brantas “Seger Waras”

Dalam kurun waktu 3 tahun terkahir yaitu dari 2015 hingga 2018, peristiwa ikan mati massal atau yang popular disebut Ikan Munggut di Sungai Brantas berulang kali terjadi.

Kamis, 19 Desember 2019 | 11:10 WIB
0
719
Menuju Sungai Brantas “Seger Waras”
Direktur Eksekutif ECOTON Prigi Arisandi menunjukkan ikan yang mati di Sungai Brantas. (Foto: Istimewa).

Akhirnya gugatan yang diajukan oleh Yayasan Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecological Observation and Wetlands Conservation – ECOTON) dengan nomor perkara  08/Pdt/2019 dikabulkan oleh majelis hakim PN Surabaya.

Proses persidangan yang memakan waktu hampir setahun sejak gugatan itu didaftarkan pada Januari 2019, telah membuahkan hasil telak dan memuaskan. Majelis hakim pimpinan Anne Rusiana mengabulkan gugatan Ecoton, Rabu (18/12/2019).

Seluruh eksepsi para tergugat KLHK, PUPR, dan Gubernur Jatim ditolak tanpa terkecuali, terkhusus Gubernur Jatim yang dalam jawaban dan eksepsinya menyertakan Gugatan Rekonpensi.

Hal ini secara jelas kuasa hukum Gubernur yang diwakili Biro Hukum Pemprov Jatim itu tidak membaca dan memahami UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada pasal 66.

“Bahwa setiap orang yang memperjuangkan lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak bisa digugat secara perdata dan dituntut pidana,” ujar Direktur Eksekutif ECOTON Prigi Arisandi kepada Pepnews.com.

Majelis hakim juga menyebutkan bahwa alat bukti yang diajukan Para Tergugat adalah sebuah kenormatifan belaka yang sifatnya arsip tanpa adanya tindakan yang signifikan untuk melakukan penanganan ikan mati di Sungai Brantas sejak 2012.

Yayasan Ecoton mengajukan gugatan ke PN Surabaya terhadap 3 instansi pemerintahan, pada Jumat (4/1/2019).  Ketiga instansi tersebut yakni, KLHK, Kementerian PUPR, dan Gubernur Jatim.

Gugatan ini diajukan karena ECOTON menganggap ketiga instansi pemerintah itu gagal dalam menangani permasalahan lingkungan terkait banyaknya ikan yang mati massal (Iwak Munggut) di Sungai Brantas dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.

Menurut Ecoton, sesuai dengan UU Nomor 32 Tahun 1999 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, secara jelas ketiga instansi pemerintahan itu memiliki tanggung jawab mutlak yang harus dilaksanakan.

Oleh sebab itu, Ecoton menuntut ketiga instansi pemerintahan itu untuk memberi hukuman pada pelaku pembunuhan ikan massal di Sungai Brantas, serta membentuk dan melaksanakan patroli Sungai Brantas dengan melibatkan seluruh pihak yang berkontribusi dan bertanggung jawab terhadap kelestarian Sungai Brantas.

Kemudian Ecoton juga meminta ketiga instansi untuk meminta maaf kepada Sungai Brantas karena telah gagal memberi pengawasan dan penanganan. Permintaan maaf tersebut harus dilakukan melalui sedikitnya 5 media, baik itu media cetak, media elektronik, dan media online.

Dalam press rilis yang diberikan, pihak Ecoton juga meminta ketiga instansi pemerintah untuk menyusun anggaran APBN 2020 untuk program pemulihan Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas.

Selain itu, menuntuk disusunnya SOP mengenai penanganan ikan mati di Sungai Brantas terkait pencemaran dan perusakan yang terjadi dan memberikan sanksi hukum yang berlaku baik sanksi administrasi, perdata, maupun pidana lingkungan hidup

Dalam putusannya, majelis hakim yang dipimpin oleh hakim Anne Rusiana mengabulkan gugaatan ECOTON yaitu:

1.      Mengabulkan tuntutan penggugat untuk sebagian;

2.      Menyatakan bahwa Para Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum;

3.      Memerintahkan Para Tergugat untuk meminta maaf kepada masyarakat di 15 Kota/ Kabupaten yang dilalui Sungai Brantas atas lalainya pengelolaan dan pengawasan yang menimbulkan ikan mati massal di setiap tahunnya;

4.      Memerintahkan Para Tergugat untuk memasukkan program pemulihan kualitas air Sungai Brantas dalam APBN 2020;

5.      Memerintahkan Para Tergugat untuk melakukan pemasangan CCTV di setiap Outlet Limbah Cair wilayah DAS Brantas untuk meningkatkan fungsi PENGAWASAN para pembuang Limbah Cair;

6.      Memerintahkan Para Tergugat melakukan pemeriksaan independen terhadap seluruh DLH di Provinsi Jatim baik DLH provinsi maupun DLH kabupaten/kota yang melibatkan unsur masyarakat, akademisi, konsultan lingkungan hidup dan NGO di bidang pengelolaan lingkungan hidup dalam hal ini pembuangan limbah cair;

7.      Memerintahkan Para Tergugat mengeluarkan peringatan terhadap industri khususnya yang berada di wilayah DAS Brantas.Untuk mengolah limbah cair sebelum di buang ke sungai;

8.      Memerintahkan Para Tergugat melakukan tindakan hukum berupa sanksi administrasi bagi industri yang melanggar atau membuang limbah cair yang melebihi baku mutu berdasarkan PP 82 Tahun 2001;

9.      Memerintahkan Para Tergugat untuk memasang Alat Pemantau Kualitas Air Real Time di setiap Outlet Pembuangan Limbah Cair di Sepanjang Sungai Brantas, agar memudahkan pemerintah untuk mengawasi dan memantau industri;

10.  Memerintahkan Para Tergugat untuk melakukan kampanye dan edukasi masyarakat wilayah sungai Brantas untuk tidak mengkonsumsi ikan yang mati karena Limbah Industri;

11.  Memerintahkan DLH Kabupaten/Kota untuk melakukan pengawasanindustri dalam tata cara pemantauandanpembuangan limbahcair Industri;

12.  Memerintahkan Para Tergugat untuk membentuk tim Satgas yang beroprasi untuk memantau dan mengawasi pembuangan Limbah Cair di Jatim, khususnya pada malam hari.

Menurut Prigi Arisandi, gugatan tersebut diajukan menyusul makin tingginya fenomena ikan mati massal. Dalam kurun waktu setahun terkahir saja, Ecoton mencatat setidaknya sebanyak 6 kali peristiwa itu terulang. Seluruhnya terjadi di Sungai Brantas dan anak sungainya.

Belum lagi, dalam kurun waktu 3 tahun terkahir yaitu dari 2015 hingga 2018, peristiwa ikan mati massal atau yang popular disebut Ikan Munggut di Sungai Brantas berulang kali terjadi.

Peristiwa tersebut juga hampir setiap tahun terjadi dalam 10 tahun terakhir tanpa adanya penanganan yang serius dari pemerintah untuk melakukan investigasi sumber pencemaran.

“Sumber pencemaran itu apakah dari limbah cair industri sepanjang Brantas atau limbah domestik atau dari sumber-sumber pencemaran yang lain, pemerintah lah yang punya wewenang,” tegas Prigi Arisandi.

Begitu pula upaya pemantuan lingkungan atau membuat sistem tanggap darurat ketika terjadi ikan mati massal yang sebagaimana mestinya menjadi pedoman penanganan sampai gugatan akan diajukan, pemerintah juga belum malukan tindakan apapun untuk upaya tersebut.

“Acuhnya pemerintah itukah yang menjadi dasar utama Ecoton mengajukan gugatan ini ke Pengadilan Negeri Surabaya,” ungkap Prigi Arsandi.

***