Tanggapan atas Polemik APBD 2020 DKI Jakarta yang Memakan Korban

Semoga Pemprov DKI Jakarta segera membenahi anggarannya untuk tahun 2020, supaya uang yang dialokasikan tidak terbuang sia-sia. Kasihan masyarakat yang terbebani membayar kontribusi.

Sabtu, 2 November 2019 | 18:56 WIB
0
490
Tanggapan atas Polemik APBD 2020 DKI Jakarta yang Memakan Korban
William Aditya Sarana dan Anies Baswedan (Foto: Tribunnews.com)

Beberapa hari ini, di media ramai pemberitaan tentang adanya penemuan "aneh" dalam RAPBD 2020 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, khususnya rencana pengeluaran yang disusun oleh Suku Dinas Pendidikan di Jakarta Barat dan Jakarta Timur.

Ramainya berita tersebut berawal dari unggahan salah seorang anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) bernama William Aditya Sarana, di akun Instagram pribadinya, bahwa dirinya menemukan pos anggaran 'janggal' yang termuat di website apbd.jakarta.go.id, di mana menurutnya perlu dikoreksi.

Anggaran 'janggal' itu misalnya rencana pembelian lem Aibon sebesar Rp 82,8 miliar, penyediaan sejumlah ballpoint sebesar Rp 124 miliar, pengadaan komputer sebesar Rp 121 miliar, dan seterusnya.

Menanggapi kritikan, pihak Suku Dinas Pendidikan Jakarta Barat dan Jakarta Timur pun memberi pengakuan, mulai dari salah ketik (input), terburu-buru karena waktu terbatas, dan akhirnya diluruskan oleh Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Syaefuloh Hidayat.

Syaefuloh mengatakan, bukan salah input atau semacamnya, tetapi anggaran yang terpampang di website hanya sementara, karena masih akan ada penyesuaian, ketika RKAS dari masing-masing sekolah sudah masuk seluruhnya.

Mendengar ramainya berita tentang anggaran yang disusun jajarannya, Gubernur Anies Baswedan ikut berkomentar. Beliau menyampaikan bahwa sudah ada instruksi darinya agar anggaran 'disisir' kembali.

Tidak hanya itu, Anies juga 'menghajar balik' William, yang disebutnya sebagai orang baru yang sedang cari panggung. Beliau juga mempersoalkan sistem penganggaran yang dinilainya "tidak smart", dan merupakan warisan buruk para pendahulunya.

Anies menyebut diksi "cari panggung", "tidak smart" dan "warisan buruk". Benarkah demikian? Tentu cuma beliau yang tahu jawabannya, mengapa ada penggunaan ketiga diksi itu.

Mengenai sudah ada instruksi kepada jajarannya, saya sudah meluangkan waktu untuk menonton tayangan videonya lewat Youtube. Instruksi itu diberi pada Rabu, 23 Oktober 2019. 

Lewat instruksinya, Anies memberi deadline penyisiran anggaran tepat pada Jumat, 25 Oktober 2019. Artinya wajib selesai dalam dua hari, sehingga Senin, 28 Oktober 2019 dapat dibahas bersama anggota DPRD DKI Jakarta.

Saya tidak bermaksud menyalahkan Anies, hanya saya agak kecewa dengan diksi "cari panggung". Mengapa William dituduh sedang bersensasi, padahal tugasnya untuk mengawal anggaran pemerintah daerah sudah dilakukan dengan tepat dan benar.

Menurut saya, William tidak salah (meskipun mungkin bablas karena mengunggahnya ke media sosial). Deadline penyisiran anggaran tiga hari sebelum pembahasan di DPRD, dan ketika William mengoreksinya, artinya memang benar di waktu dan tempat yang tepat.

Lalu apa alasan Anies menyebut William "cari panggung". Bukankah panggung itu sudah otomatis tersedia pada Senin, 28 Oktober 2019 yang wajib dimanfaatkan William sebagai wakil rakyat?

Kemudian soal sistem yang tidak smart, apakah maksudnya bahwa si peng-input data anggaran tidak perlu mengandalkan hati dan kejeliannya saat bekerja karena sudah percaya penuh kepada koreksi 'salah-benar' sarana teknologi?

Sehebat dan secanggih apa pun sistemnya, intervensi manusia tetap diperlukan. Maknanya, yang salah bukan sistemnya, tetapi orang-orang yang menggunakan sistem (alat bantu) itu sendiri. Sekali lagi, sistem adalah alat bantu, bukan andalan satu-satunya.

Dan karena disinggung sebagai 'pewaris' sistem buruk (tidak smart), dua mantan Gubernur DKI Jakarta yaitu Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat turut berkomentar. 

Ahok mengaku sistem (e-budgeting) tidak bermasalah, asal petugas peng-input data tidak mengada-ada atau melakukan mark up anggaran. Sistem itu diperlukan justru demi menjamin transparansi anggaran.

Senada dengan Ahok, Djarot juga menilai bahwa kesalahan ada pada petugas. Petugas itulah yang mestinya dievaluasi. Dan bilamana sistem butuh penyempurnaan, hal itu bisa dilakukan lebih lanjut.

Yang mengejutkan, di tengah polemik, ternyata sebanyak dua pejabat penting mengundurkan diri. Kedua pejabat tersebut yaitu Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sri Mahendra Satria Wirawan dan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Edy Junaedi.

Mahendra mengundurkan diri pada Jumat, 1 November 2019, sementara Edy sudah melakukan hal yang sama pada Kamis, 31 Oktober 2019. Mereka berdua telah menyampaikan surat pengunduran diri kepada Gubernur Anies.

Menyaksikan pengunduran diri kedua pejabat di atas, Anies mengaku terkejut, namun beliau tetap menghormati keputusan yang mereka ambil. Untuk pelaksana tugas Kepala Bappeda, Anies menunjuk Deputi Gubernur Bidang Pengendalian Penduduk dan Permukiman Sri Suharti.

Sedangkan posisi pelaksana tugas Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan belum ditunjuk, barangkali Anies masih menunggu kehadiran fisik Edy yang sedang berada di luar kota.

Mengapa Mahendra dan Edy mengundurkan diri? Alasan pasti tentang hal itu tentu yang paling tahu adalah mereka berdua dan Anies. Namun kiranya bisa ditebak, bahwa sangat mungkin penyebabnya yakni terkait soal pembahasan APBD 2020 DKI Jakarta yang banjir kritik.

Memutuskan mengundurkan diri, apakah artinya Mahendra dan Edy merasa paling bertanggungjawab atas munculnya polemik APBD 2020? Tampaknya demikian, meski penanggungjawab tertinggi adalah Gubernur Anies.

Sedikit menduga dan rasanya tidak salah untuk disampaikan, daripada berharap Mahendra dan Edy mau mengungkap jelas alasan mereka mengundurkan diri, setidaknya ada 3 penyebab keduanya mengundurkan diri: tertekan oleh situasi, merasa bersalah, serta ingin terbebas dari belitan masalah.

Penyebab pertama dan kedua cukup jelas, siapa pun pasti mengalami hal itu. Namun penyebab ketiga inilah yang patut disayangkan. Bahwa salah satu bentuk pertanggungjawaban itu adalah mengundurkan diri, ya, itu sering dilakukan para pejabat.

Akan tetapi, akan sangat baik bila proses pembahasan APBD 2020 diselesaikan terlebih dahulu, baru kemudian Mahendara dan Edy mempertimbangkan untuk mengundurkan diri atau tidak.

Sebesar apa pun tekanan dari luar mestinya dihadapi, agar langkah mengundurkan diri tidak dianggap sebagai aksi "cuci tangan", di samping pantas diteladani oleh para pejabat lainnya. Baik pejabat yang berada di posisi yang lebih tinggi, setara maupun yang lebih rendah.

Mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. Surat pengunduran diri Mahendra dan Edy sudah diterima Gubernur Anies. Semoga saja polemik anggaran segera berakhir dan tidak ada lagi pejabat yang mengundurkan diri.

William, Anies dan Ahok-Djarot telah beragumen, serta dua pejabat penting mengundurkan diri. Namun hemat saya tidak perlu saling menyalahkan satu dengan yang lain. Yang paling penting di sini sebenarnya mempertahankan dan memperbaiki sistem, serta mengawasi para petugas yang bekerja di balik sistem itu.

Saya punya pengalaman soal "sistem-sisteman", sangat sederhana, tidak serumit e-budgeting Pemprov DKI Jakarta, tetapi agaknya mirip. Beberapa tahun yang lalu, saya pernah memimpin sebuah lembaga pendidikan (kepala sekolah) yang tentunya berurusan dengan soal anggaran.

Bicara mengenai anggaran, khususnya di lembaga pendidikan, boleh dibilang kompleks dan rumit. Salah-salah alokasi bisa fatal dan menyebabkan kerugian keuangan sekolah (defisit).

Sekolah yang saya pimpin itu 'akrab' dengan yang namanya defisit (pemasukan sedikit, pengeluaran banyak). Penyusunan RKAS kerap dilakukan manual dan lebih banyak mengandalkan terkaan (kira-kira).

Sebagai pejabat baru, saya ingin menghindari diri dari dosa lama. Saya mulai mempelajari aliran pemasukan dan pengeluaran sekolah. Dan saya menemukan, betul salah satu penyebab utama defisit adalah minimnya kontribusi dari para peserta didik (iuran bulanan).

Tidak tega membebani orang tua peserta didik, saya putuskan iuran bulan tidak berubah, meskipun pihak yayasan menganjurkan saya menaikkan uang sekolah.

Yang saya lakukan berikutnya yakni mengubah tradisi penyusunan anggaran. Saya meminta penyusunan anggaran di tahun berikutnya wajib dicicil sedini mungkin dan dibuat detail per kebutuhan, per harga, per unit barang dan sebagainya.

Apa yang saya temukan, ternyata pola penyusunan anggaran sebelumnya dilakukan serampangan, yang penting jumlahnya sesuai RAB (seimbang antara pemasukan dan pengeluaran).

Tradisi baru yang saya munculkan tidak seindah yang saya bayangkan. Saya mulai diprotes sana-sini, dinilai berbelit-belit dan kaku. Maksudnya kalau nilai anggaran dibuat statis, takut tidak mengakomodir kebutuhan mendadak.

Tetapi saya tetap pada pendirian, semua anggaran kebutuhan harus rinci. Barang sekecil apa pun wajib ditulis untuk kebutuhan apa, pada saat kapan dan seterusnya. Tidak ada kebutuhan mendadak. Maka saya minta 2 persen dari total anggaran disisihkan sebagai cadangan.

Intinya saya tidak mau biaya kebutuhan mendadak itu diselip-selipkan di anggaran lain. Dan jika 2 persen anggaran cadangan tidak terpakai, maka wajib digunakan lagi untuk tahun anggaran berikutnya. Pokoknya begitu terus-menerus.

Anies pada arahannya (23/10) mengatakan sangat mungkin ada "permainan" bersama toko atau penyuplai barang kebutuhan. Maka pada pengalaman lampau, saya meminta bendahara sekolah menyerahkan nama-nama toko atau penerbit (pembelian buku) rekanan.

Karena dengan sudah adanya sistem 'kaku' keuangan, peluang permainan anggaran tetap terbuka. Saya tahu bahwa beberapa toko dan penerbit sengaja mengikat relasi dengan sekolah saya lewat iming-iming hadiah liburan atau voucher belanja.

Tidak ada diskon khusus (di balik meja) dan tidak ada tawaran liburan! Semua barang dibeli sesuai kebutuhan nyata. Barang atau buku pegangan belajar-mengajar (peserta didik dan guru) yang kurang berkualitas tidak boleh dibeli. Barang mahal namun berkualitas tidak jadi soal. 

Saya tidak ingin menipu orang tua dan anak-anaknya dengan belanja benda tidak berguna. Maksudnya begini, misalnya saja buku pelajaran. Saya yakin bukan cuma sekolah saya yang melakukan ini. 

Terkadang ada produk buku yang sebenarnya kurang berkualitas atau tidak cocok dipakai tetapi konsisten dibeli oleh sekolah. Mengapa? Karena ada "kontrak abadi". Di balik kontrak itu ada diskon atau uang kerohiman bagi panitia pengadaan buku. Saya tidak nyaman dengan itu.

Maka, saya tidak pernah mau mengikat kontrak kerjasama abadi dengan toko atau penerbit mana pun. Kalau barang atau bukunya bagus, kerjasama dapat berlanjut. Namun jika sebaliknya, kerjasama berakhir. Saya minta bendahara, wakil kepala sekolah dan para guru mencari rekanan baru.

Saya akhiri kisah pengalaman saya. Saya hanya mau mengatakan bahwa, dengan ada sistem (baku) saja, permainan anggaran tetap ada. Apalagi tanpa sistem, penyusunan anggaran bisa dilakukan secara liar.

Semoga Pemprov DKI Jakarta segera membenahi anggarannya untuk tahun 2020, supaya uang yang dialokasikan tidak terbuang sia-sia. Kasihan masyarakat yang terbebani membayar kontribusi (berupa pajak).

***