Rocky Gerung, Kedunguan dan Kekasaran yang Dipelihara

Tampaknya Rocky Gerung perlu belajar banyak tentang filsafat Jawa. Tapi barangkali ia pernah belajar, tetapi ia memang mencitrakan diri untuk menjadi “pengkritik”.

Jumat, 6 Desember 2019 | 19:10 WIB
0
664
Rocky Gerung, Kedunguan dan Kekasaran yang Dipelihara
Rocky Gerung (Foto: RMOL.id)

Bagi Rocky Gerung semua yang dibencinya pastilah orang yang ia anggap bodoh. Siapapun akan dikatakan dungu karena ia merasa beberapa tapak lebih tinggi. Ia manusia dengan kemampuan di atas rata- rata (menurut dia sendiri). Kok saya sebagai orang yang kebetulan lahir dari kebudayaan Jawa aneh benar dengan segala perilaku Rocky Gerung.

Katakanlah saya lebih pintar dari orang lain, tetapi mengatakan dungu itu sebuah pekerjaan berat. Dari kecil saya tidak diajarkan untuk mengatakan kasar dalam hal ini mengolok – olok orang lain. Lebih susah lagi mengatakan bodoh, dungu, oon kepada teman sebaya atau kepada lawan politik sekalipun.

Tapi Rocky itu manusia perkecualian, manusia yang seperti digambarkan oleh orang Jawa sebagai “Ora Nduwe wudel”’ Urat malunya sudah putus dan saya bingung harus mengatakan apa. Tapi itu hak Rocky sebagai manusia sebagai “intelektual”  sebagai profesor filsafat yang mengaku mempunyai pengetahuan unggul.

Dalam forum apapun ia mengatakan dungu kepada yang sedang dibencinya atau sedang dikritiknya. Ia seperti sudah tabal oleh nyinyiran yang tertuju padanya. Mungkin meskipun ia belajar filsafat ia pasti jarang membuka–buka  filosofi Jawa yang sering mengajarkan manusia untuk bersikap andap asor. Orang yang berilmu cenderung semakin bijak dalam mengeluarkan pendapat atau mengkritik.

Orang yang mempunyai pengetahuan luas akan semakin kalem dan teduh dalam setiap perkataannya. Tetapi Rocky Gerung memang mempunyai perkecualian. Tidak ada manusia lain sesempurna dia maka ia berani mengkritik, berani merendahkan orang lain karena ia sangat percaya diri dengan dirinya sendiri.

Entah rasanya semua filsuf tampaknya mempunyai keunikan- keunikannya sendiri. ERGE  meskipun badai kritik kerap mampir, segala julukan untuk Rocky ia terima tetapi tetap tidak ada perubahan dalam dirinya. Baginya kata- kata yang keluar dari mulutnya sudah terukur, lepas bahwa orang lain merasa tidak nyaman dengan segala perkataannya.

Dengan bibir yang cenderung selalu menampakkan sunggingan penuh misteri dan tatapan sinis, ia melihat orang lain tidak lebih baik darinya. ERGE rasanya tidak perlu orang lain untuk berbagi kebenaran, dan ia cenderung mencela dan meremehkan orang lain.

Benar- benar luar biasa Rocky Gerung. Tapi kata teman kantor yang sering mengatakan apalah saya hanya "remah- remah yang sering tercecer di bawah kursi". Di hadapan Rocky Gerung yang agung mungkin hanya sekuku jarinya dalam hal pengetahuan filsafat.

Entah setahu saya filsafat itu untuk menelaah kehidupan yang paling hakiki, dasar- dasar pengetahuan, kajian- kajian kebijakan dalam tataran tinggi. FIlsuf sering mengkaji ilmu sampai dalam dan semakin berisi ia semakin diam karena semakin belajar rasanya ia semakin tidak tahu apa- apa.

Jika mengamati Rocky Gerung saya jadi teringat Clifford Geertz,  dalam ranah budaya Jawa tujuan hidup manusia adalah untuk memperoleh kedamaian perasaan. Modalnya adalah membuat orang lain tentram, merasa enak.

Beda dengan Rocky Gerung ia mempunyai kemampuan untuk membuat orang lain geram, membuat orang lain merasa risi dengan segala kritikannya yang cenderung “ugal- ugalan”. Untungnya ia menghadapi lawan yang tidak mudah termakan segala kata- katanya yang cenderung meremehkan.

Makluklah sekarang ini banyak manusia yang mempunyai selera kasar yang muncul oleh perilaku politik: saya membaca bukunya Asti Musman dengan judul Agama Ageming Aji. Sebuah cuplikan filsafat jawa menjadi pengingat: Para janma saroning jaman pakewuh kasudranira andadi daurune saya ndarung, keh tyas mirong marang margi kasetyan wus ora katon ( Orang–orang di zaman sulit kerendahan budinya menjadi jadi tindak rusuhnya berlarut- larut, banyak tekad sesat (dan) salah jalan, kesetiaan sudah tidak tampak).

Tampaknya Rocky Gerung perlu belajar banyak tentang filsafat Jawa. Tapi barangkali ia pernah belajar, tetapi ia memang mencitrakan diri untuk menjadi “pengkritik”. Baiklah biarkan saja ia bebas bicara. Selama ia bisa mempertanggungjawabkan ucapannya.

Kalau suatu saat ada peristiwa yang membuat ia diam dan tidak mampu mengkritik itu adalah perjalanan hidupnya. Manusia akan dikenang ucapan dan tindakannya. Apa yang bisa dikenang dari Rocky Gerung?

***