Soenarko, Eggi Sudjana, Potret Buram Rekonsiliasi Jokowi-Prabowo?

Untuk melanggengkan kekuasaan atas uang, akses ekonomi, proyek, kehormatan, maka para broker politik itu berselingkuh dengan kaum radikalis.

Kamis, 27 Juni 2019 | 20:52 WIB
0
510
Soenarko, Eggi Sudjana, Potret Buram Rekonsiliasi Jokowi-Prabowo?
Soenarko (Foto: Batamnews.com)

Soenarko, Eggi Soejana, adalah potret buram rekonsiliasi politik Jokowi-Prabowo. Penelanjangan hukum yang dilakukan oleh Hadi Tjahjono dan didukung oleh operator politik LBP sungguh mengenaskan. Demi apa? Demi apa? Untuk apa?

Penegakan hukum diintervensi secara blatant, telanjang. Tanpa baju elegan. Terang benderang dipertontonkan di muka umum. Penegakan hukum dan hukum menjadi permainan para penguasa. Kekuasaan menjadi penentu hukum di Republik. Rakyat terkejut.

Maka para broker, atau menganggap diri broker politik seperti Sufmi Dasco Ahmad pun unjuk gigi. Setelah Soenarko, maka merembetlah ke Eggi Sudjana. Kroco pilek politik sekelas Dasco ikut bermain. Karena dia tahu isi deal dengan Prabowo. Maka dia menggunakan kekuatan isi deal itu untuk menjalankan agendanya: berselingkuh dengan kaum radikal semacam Eggi ini.

Tersangka makar dibebaskan dari tahanan. Bukan hanya Lieus Sungkharisma dan Mustofa Nahrawardaya. Bahkan Gerindra meminta dan menjamin pembebasan atau penangguhan penahanan 58 perusuh 22 Mei 2019. Termasuk Kivlan Zen segala.

Padahal para penegak hukum (Polri/BIN/Bais) tengah berjuang untuk menegakkan keadilan hukum. Upaya cerdas mereka membongkar rancangan kerusuhan 22-25 Mei 2019 adalah penyelamatan bangsa. Pembongkaran kolaborasi parpol Gerindra (bukti CCTV dan ambulan Gerindra dan ACT/Dompet Dhuafa), PKS, PAN, Berkarya, dengan GARIS, FPI, nyata terpapar di publik.

Mereka tengah berupaya menghapus tuduhan kriminalisasi oleh pemerintahan Jokowi atas ulama, dan oposisi. Mereka tengah membuktikan di depan khalayak bangsa. Bahwa para begundal politik itu merencanakan kejahatan atas negara. Makar namanya. Dan, Polri pun telah menetapkannya. Tuduhan dan tersangka makar.

Jelas Polri pun kalang kabut. Bingung. Upaya all-out Polri menjadi mentah di depan para broker politik dan kekuasaan. Lebih parah lagi rekonsiliasi Jokowi-Prabowo ini ditunggangi oleh kepentingan proxy kaum radikal. Lalu rekonsiliasi ini untuk siapa? Jokowi? Bukan.

Rekonsiliasi Jokowi-Prabowo ini hanyalah pelintiran niat baik Jokowi. Jokowi menginginkan rekonsiliasi untuk bangsa dan negara. Padahal sesungguhnya rekonsiliasi dalam bentuk informal itu tidak dibutuhkan.

Salim Said pun mengatakan hal serupa.Tanpa adanya keputusan legalitas dari Mahkamah Konstitusi. Rekonsiliasi setelah keputusan MK pun hanya menguntungkan Prabowo-Sandi, yang Sandi jadi menteri Jokowi. Enak. (Rakyat yang berdarah-darah saling mengeluarkan tenaga dan biaya membela Jokowi atau Prabowo dibuat melongo. Loh kok Sandi jadi menteri Jokowi. Hahaha. Publik kecele.)

Kenapa? Ini tentang politik dan kekuasaan. Pemegang kunci kekuasaan memainkannya. Narasi rekonsiliasi, ancaman, peluang, SWOT analysis dibuat. Tujuannya untuk menggiring Jokowi untuk memeluk Prabowo. Untuk? Untuk mereka: para operator politik.

Tujuannya? Untuk melanggengkan kekuasaan. Maka orang-orang Jokowi bekerja (atau menunggangi orang lain) untuk membangun rekonsiliasi. Rekonsiliasi untuk memantapkan kekuasaan. Bukan untuk Jokowi.

Untuk para pemabuk kekuasaan. Kekuasaan itu memabukkan. Kekuasaan adalah uang. Uang adalah kekuasaan. Rakyat hanyalah obyek, penonton, penyedih (baca: untuk tidak menyebut kata penggembira).

Pesta kemenangan di mana pun di dunia dilakukan oleh yang berpunya, penguasa. Pesta kemenangan tidak pernah terjadi pada para jelata. Bahkan, pesta kematian para jelata ada sejak dalam pikiran. Mereka pun telah mati ketika masih hidup. Kematian yang disebabkan oleh kerakusan kekuasaan. Oleh para penguasa.

Untuk melanggengkan kekuasaan atas uang, akses ekonomi, proyek, kehormatan, maka para broker politik itu berselingkuh dengan kaum radikalis. Intervensi penegakan hukum untuk Soenarko, Kivlan, Eggi, para perusuh, menjadi gambaran buram hukum di NKRI. Hingga intervensi hukum ini semakin merusak kredibilitas Jokowi. Hingga tuduhan aneka kriminalisasi semakin menumpuk di benak rakyat.

Dan, Jokowi dirugikan. Rakyat terlebih lagi. Menonton dengan mulut ternganga. Menonton intervensi hukum atas nama rekonsiliasi. Untuk melanggengkan para broker politik. Yang tak malu memertontonkan kebebalan berpikir tentang hukum.

Hanya untuk diri mereka. Bukan untuk Jokowi, bukan untuk bangsa. Terlebih, karena di dalamnya ada perselingkuhan dengan kaum radikalis, perusuh yang Jokowi hendak perangi.

Sad mode!

Ninoy N Karundeng, penulis.

***