Langkah Sandi Hormati Proses Demokrasi Berbeda dengan Pendukung "Ksatria Wirang"

Berharap, bangsa ini bisa menyelamatkan Prabowo agar tidak menjadi ksatria wirang yang dipermalukan oleh grakan provokatif dari sebagian pendukungnya itu.

Kamis, 9 Mei 2019 | 13:08 WIB
0
469
Langkah Sandi Hormati Proses Demokrasi Berbeda dengan Pendukung "Ksatria Wirang"
Prabowo dan Sandiaga (Foto: BBC.com)

Puasa tahun ini suhu politik masih saja terasa panas meski Pemilu telah lewat hampir tiga minggu yang lalu. Jauh-jauh hari bahkan santer terdengar  adanya sesumbar aksi pengerahan massa, yang lebih keren disebut "people power".

Mungkin mereka lupa bahwa rencana people power tersebut bertepatan dengan datangnya bulan ramadan. Jelas, sesumbar ini datang dari kelompok yang kurang bisa dipertanggungjawabkan secara moral keagamaan.

Bagi seorang yang menyandang gelar imam besar sebuah organisasi yang konon bernafaskan Islam, seruan akan melakukan ibadah, kebaikan hingga cinta kasih pada sesama selama bulan puasa ini yang harusnya dikedepankan. Bukan malah sebaliknya, menjadikan nuansa ibadah keagamaan terkontaminasi dengan nilai politik yang condong pada salah satu kandidat Presiden.

Padahal, jelas-jelas imam besar tersebut kini tengah berada di Jazirah Arab, sebuah tempat yang harusnya mampu menjadikan sang Imam besar lebih bijak dalam bersikap dan bertutur kata.

Beruntung, tidak semua orang mampu diatur apalagi disuruh-suruh begitu saja oleh orang yang keberadaannya nun jauh disana. Sandiaga Uno misalnya. Sebagai calon wakil Presiden yang berpasangan dengan Prabowo, Sandiaga Uno nampak bijak menyikapi keadaan.

Sandi dengan tegas menyatakan  bahwa pemilu yang telah berlangsung pada tengah april lalu jujur dan adil. Sandi tidak sendiri, belakangan tokoh-tokoh Demokrat menyatakan keberpihakannya kepada institusi penyelenggara pemilu dan menentang segala sikap inkonstitusional yang mendahului mekanisme penghitungan suara.

Baca Juga: Apa yang Diharapkan Prabowo dengan Curhat Kecurangan ke Awak Media Asing?

Sedari awal data quick count ditampilkan di sejumlah media, ada saja pihak yang meradang dan berteriak curang tanpa bukti yang dapat mereka tunjukkan.  Imam besar FPI yang kini berada di Arab sana dengan lantang memaksakan jalan pikiran kepada pada pengdukungnya agar terus membuat o"ontran'ontran" ketidakpuasan hasil pemilu. Ada saja dalih yang mereka buat. Dan smua itu diluar logika kewarasan pada umumnya. Sebut saja cara timses 02 menyebut real count versi mereka digelar  di tempat rahasia dan berpindah-pindah. 

Mari berfikir sederhana dengan membandingkan jumlah perolehan suara partai pendukung 02? Jumlahkan lalu bandingkan dengan peroleh suara partai pendukung 01. Kasat  mata selisihnya. Lantas bagaimana bisa mereka mengklaim kemenangan dan berkata bahwa lawan mereka curang. Ada pula istilah lucu yang mereka keluargakan yakni mendiskualifikasi pasangan 01.

Lha ini namanya tamak atau alam bahasa jawa disebut "kemaruk". Dalam hal ini pendukung 02 sebagai pemain penyerang memaksakan diri mengintervensi wasit. Entah logika berfikir seperti apa yang mereka miliki sehingga yang ada hanyalah demokrasi "Pokoke" dimana semua harus tunduk dan menuruti apa kemauan mereka.

Perilaku yang sudah diluar batas wajar dari tim sukses 02 ini malah semakin merugikan pasangan 02 itu sendiri. Meski kini, kita patut mengapresiasi langkah bijak seorang Sandi yang cukup Ksatria dalam menanti hasil pemilu 2019. Begitupun beberapa politisi partai pendukung yang mulai berbalik arah demi menjaga nama partai dalam jangka panjang.

Berbeda dengan Prabowo Subianto. Ah, andai Pak Prabowo bisa lebih legowo.Harusnya Ksatria itu  Tidak larut dalam bujuk rayu langgam politik jalanan yang menciptakan perpecahan. Dimana jiwa patriotik ? kenapa begitu mudah dipercik provokasi yang menggerus nalar dan nurani.

Sangat disayangkan, berbagai bentuk provokasi yang dilancarkan oleh sebagian pendukung 02 khususnya dibawah Komando Ijtima Ulama seolah membuat Prabowo kehilangan sifat Ksatria. Semoga pak Prabowo tidak lupa bahwa menurutnya sendiri ada darah Banyumas dalam dirinya. Bukankah ksatria sejati harus mampu mengakui kemenangan lawan, tanpa mengotori nama besar dengan sikap-sikap arogan?

Harusnya pendukung Prabowo mampu melihat potensi diri yang masih bisa dikembangkan diluar perebutan kursi Presiden. tanpa menjadi Presiden, Prabowo toh tetap menajdi Ketua Partai Gerindra, Prabowo tetap tampil dengan gaya khas militernya meski ia sudah tidak lagi berada di ranah militer. Prabowo tetap punya peran ekonomi, politik di lingkungan yang membesarkannya.

Lantas, kenapa begitu mudah Prabowo terbawa arus politik yang mengatasnamakan Ijtima Ulama "the series". Saya sungguh berharap Prabowo tidak lekas kehilangan jatidiri manakala dia berinteraksi dengan kelompok-kelompok yang membawa panji-panji agama yang terkait dengan imam besar FPI.

Sudah saatnya capres 02 melakukan kontemplasi kebangsaan. Menempuh jalan kembali  menjadi negarawan. jangan turuti nafsu dibalik semua proses demokrasi jalanan yang selama ini diusung oleh mereka yang secara ideologi menyakiti roh Persatuan dan kesatuan bangsa. Pertiwi i memanggil roh kebangsaan yang melekat dalam diri Prabowo. Seblum terlambat, roh itu pergi akibat nada radikalisme hingga aroma makar menggerogoti.

Prabowo harusnya  jangan mau dijadikan tumbal oleh sekelompok oknum yang mengatasnamakan ulama dan panji-panji islam yang tak bertuan. Sebelum kemenangan yang dipaksakan menjadikan Prabowo sebagai "Ksatria Wirang".

Entah kenapa istilah "ksatria wirang" memiliki tafsir makna yang cenderung negatif bagi saya. Bagi orang Jawa, Wirang alias Malu dan atau dipermalukan justru akan mengikis unsur ksatria itu sendiri.

"Wirang" alias malu merupakan imbas atau dampak dari sikap dan perilaku yang tidak semestinya. Lantang berteriak bahwa KPU curang misalnya, Sudah jelas-jelas mekanisme penghitungan suara belumlah tuntas dirampungkan. Bahkan saat momentum Ramadan pun mereka tak segan untuk terus berkata curang dengan penuh tendensi. Istilah Satrio wirang pernah dilekatkan dalam Prabowo saat Pilpres 2014. Beruntung Jiwa Ksatria seorang Prabowo masih dominan dibandingkan dengan unsur wirang yang melingkupinya.

Ahli filsafat Jawa asal STAIN Salatiga, Jawa Tengah, Benny Ridwan seperti dilansir dalam Republika.co tahun 2014 menyebut "Satrio Wirang ini sebenarnya memiliki watak yang keras dan mudah tersinggung tapi cepat melupakan dan memaafkan kesalahan orang lain pada dirinya".

Dan pada pemilu 2019 ini sayangnya unsur wirang Prabowo bertambah akibat ulah sebagian pendukungnya yang dengan tega gencar menyebar fitnah kecurangan, hingga pemaksaan kehendak untuk memenangkan 02 tanpa data yang bia dipertanggung jawabkan. Jadilah Ksatria wirang yang harus menanggung malu atas semua kelakuan pendukungnya yang tidak menghormati Proses dan mekanisme konstitusi demokrasi di negeri ini.

Saya berharap, bangsa ini bisa menyelamatkan Prabowo agar tidak menjadi ksatria wirang yang dipermalukan oleh grakan provokatif dari sebagian pendukungnya itu. Semoga keluarga besar Pak Prabowo mampu mengembalikan Prabowo menjadi pribadi yang ksatria, yang legowo mengakui kemenangan lawan tanpa intervensi dari imam besar yang berada nun jauh disana sekalipun.

Salam.

***