Aku dan Politik
Politik bagiku bukanlah barang asing, meski keseharianku dengannya tak bisa dibilang seakrab sahabat karib, tapi kondisi yang kualami membuatku mau tak mau harus kenal dengan politik. Bagaimana bisa?
Semua berawal di suatu siang pada tahun 1998, ketika itu saya masih SD kelas 5, bermaksud berangkat ke sekolah yang berlokasi di dekat Lapangan Karebosi, Makassar. Siang itu sebenarnya sama saja dengan siang-siang sebelumnya, namun sebuah peristiwa yang terjadi di balik punggungku selepas turun dari "pete-pete" (sebutan untuk mobil angkot di Makassar), membuat siang itu sangat berbeda.
Jika biasanya tenang, siang itu sontak terasa tegang dan gaduh, setelah sebuah suara ledakan mengejutkan siapapun di situ.
Orang-orang tiba berlarian kesana-kemari. Saya yang saat itu masih terbilang kanak-kanak langsung berlinang air mata karena ketakutan, langsung berlari ke arah sekolah, berharap bisa mendapat keamanan di sana. Belakangan baru diketahui, ledakan berasal dari senapan aparat yang bermaksud memberi tembakan peringatan kepada mahasiswa yang sedang berdemonstrasi.
Sesampai di sekolah, saya mendapati teman-teman saya yang sama takut dan paniknya. Mungkin inilah resiko bersekolah di jantung kota. Selanjutnya, suasana mencekam ini ternyata tak hanya berlangsung hari itu saja, tapi berlanjut sampai ke beberapa hari setelahnya. Di ruang kelas kami yang sedang belajar tenang bisa tiba2 dikejutkan dengan suara gemuruh teriakan para demonstran.
Aparat keamanan ada di mana-mana, mahasiswa dengan berbagai warna jaket almamater melakukan long march membawa spanduk panjang bertuliskan protes dan desakan agar rezim pemerintahan saat itu segera diganti, belum lagi aksi pembakaran ban yang bau asapnya sangat khas.
Aku ingat betul saat itu di TV pun heboh pemberitaan krisis moneter berkepanjangan yang membuat pemerintah harus meminjam dana ke IMF, barang-barang sangat mahal, antrian panjang untuk membeli sembako. Kondisi inilah yang memicu ketidakpuasan pada pemerintah saat itu, sehingga dimana-mana orang bisa ngomong politik, bahkan teman-teman sekelas saya sudah mulai menjadikan politik sebagai bahan obrolan sewaktu bersama menikmati bekal makan siang.
Pergantian rezim yang menjadi hasil dari segala tuntutan yang dikoarkan para demonstran pun mewarnai hari-hari yang saya lalui di bangku sekolah dasar. Bagaimana tidak? Tulisan "Reformasi" dan "Ganti Soeharto" ada di mana-mana, memancing rasa ingin tahu, yang lalu melahirkan jawaban bahwa negara kita butuh perubahan besar.
Pemilu 1997, Titik Balik Lahirnya Gerakan Reformasi 1998
Aksi unjuk rasa diwarnai ricuh yang terjadi pada tahun 1998 dipicu berbagai faktor, dilandasi ketidakpuasan dan kekecewaan masyarakat pada ketidakadilan yang terjadi saat itu. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme seolah menjadi suatu hal yang biasa pada rezim pemerintahan saat itu.
Menengok Pemilu 1997, demokrasi seakan lenyap karena dominasi Golkar dipertahankan dengan segala cara, menjadikan kedua partai lainnya (PPP dan PDI) hanya sebagai penggembira belaka. Saat itu, perbedaan pendapat dianggap sebagai suatu hal yang mengancam negara, sehingga harus ditindaki dengan anarkis.
Ruang advokasi mahasiswa yang menjadi satu implementasi kesadaran Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pengabdian masyarakat, wadah penyaluran aspirasi warga terkait perampasan tanah, politik upah murah, dan harga yang melambung sangat tinggi, disebabkan kenaikan signifikan inflasi serta nilai tukar rupiah terhadap dolar.
Kondisi yang sudah tak terbendung inilah yang menjadi titik balik munculnya gerakan mahasiswa 1998. Pasalnya, Soeharto dinilai sudah tak lagi memikirkan kepentingan bangsa Indonesia, namun hanya mementingkan keluarga dan kroni-kroninya. Sementara itu, jalan demokrasi sudah diliputi jebakan-jebakan yang berunsur kekerasan.
Kelahiran People Power di tahun 1998
Di tengah kebuntuan, mahasiswa menganggap "people power" adalah satu-satunya jalan yang harus ditempuh demi menyelamatkan bangsa. Pemilu Orde Baru bukan lagi wujud harapan akan demokrasi yang sesungguhnya, karena hanya mengandalkan mobilisasi suara rakyat.
Dalam hal ini, ada satu pemahaman yang perlu kita luruskan, bahwa people power sesungguhnya adalah sebuah perjuangan terhadap kemerdekaan ruang aspirasi rakyat dalam proses berbangsa dan bernegara sebagai aksi perlawanan terhadap penguasa saat itu, bukan sebentuk huru-hara atau kerusuhan horizontal antar-rakyat.
Selama melancarkan aksi protesnya ini, mahasiswa selalu menggemakan slogan "Rakyat Bersatu", berfokus pada penolakan Presiden RI kembali menjadi Presiden RI ketujuh dan penolakan keras terhadap Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Maka, ketika terjadi kerusuhan Mei 1998, mahasiswa merasa panik karena merasa ada oknum-oknum yang memanfaatkan momentum ini untuk menguntungkan dirinya sendiri.
Aksi penjarahan dan HAM menjadi isu yang sering mewarnai berita di berbagai media saat itu, dan sekali lagi.. membuat saya, mau tak mau, memang harus tahu tentang politik.
Berkaca Pada Pemilu 1997, Apakah Pemilu 2019 akan Berujung Rusuh?
Setelah melalui berbagai pergantian zaman dan rezim selepas reformasi, di tahun 2019 ini, bangsa kita juga akan melaksanakan pesta demokrasinya. Semakin dekat hari H yaitu pada 17 April, masing-masing kubu yang bertarung di Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden semakin gencar melakukan berbagai macam aksi untuk menggalang suara sebanyak-banyaknya untuk menang.
Di tengah maraknya hoax, radikalisme, fitnah, dan terorisme, apakah sempat terbersit khawatir di benak kita kalau-kalau Pemilu 2019 juga akan berujung kisruh? Mari kita renungkan bersama.. Pemilu bukanlah ajang untuk saling memecah-belah persaudaraan yang merupakan kekayaan bangsa ini, namun mari kita jadikan Pemilu sebagai ajang pemersatu, momen yang tepat untuk sama-sama menentukan arah nasib bangsa ke depannya.
Ketimbang Pemilu 1997, di tahun ini demokrasi sudah semakin berkualitas dan terinstitusi. Pemilu sudah dilaksanakan oleh Komite Independen, dan telah diawasi oleh badan independen, mulai dari tingkat nasional sampai daerah.
Saat ini pula, demokrasi multipartai dan multi capres/cawapres dengan kriteria yang semakin dewasa, disertai proses persiapan dan perhitungan yang semakin akuntabel.
Berkat kemajuan jaman, Indonesia juga mengalami peningkatan dari segi daya saing ekonominya, dan akan semakin meningkat seiring dengan perkembangan infrastruktur, proses perijinan yang semakin transparan dan cepat, seiring meningkatnya kualitas SDM, yang merupakan hasil dari investasi negara pada sektor pendidikan dan kesehatan.
Mengapa Kita Perlu Bertekad Pemilu 2019 Harus Damai?
Maraknya intoleransi, radikalisme, dan terorisme dalam sistem politik pemilu berpotensi mempersempit ruang gerak kita untuk menikmati pesta demokrasi yang bernuansa damai. Dalam segala kontestasi politik, kita sebagai warga negara tak hanya berhak memilih sesuai kata hati nurani, namun juga berkewajiban menjaga kesejukan Pemilu sebagai ruang aspirasi dalam semangat persatuan, bukan malah memicu perpecahan.
Karenanya, untuk menjawab pertanyaan dan kekhawatiran kita akan potensi Pemilu 2019 berakhir ricuh, jawabannya ada ada diri kita sendiri.. Apa kita rela melihat bangsa ini terpecah-belah penuh kebencian?
Apapun profesi dan latar belakang kita, semangat Pemilu Damai 2019 harus sama-sama kita gemakan dalam dada sebagai sebuah tindakan untuk menjaga persatuan bangsa sebagai aset nasional, sebagaimana diamanatkan Presiden Joko Widodo dalam Penutupan Rembuk Nasional Aktivis '98, Kemayoran, Juli 2018: "Karena aset besar bangsa Indonesia adalah persatuan, aset besar bangsa Indonesia adalah persaudaraan di antara suku-suku, di antara daerah-daerah yang berbeda tradisi, adat, dan bahasa. Inilah yang harus kita sadari bersama."
Karenanya, PepNews mengajak penulis warga atau netizen untuk sama-sama menyebarkan kebaikan lewat tulisan dengan mencetuskan sebuah Deklarasi Penulis untuk Pemilu Damai pada 17 Februari 2019. Liputan selengkapnya akan saya bahas di tulisan selanjutnya..
***
Salam Damai..
I Love Indonesia..
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews