Akulturasi dan Nganuisasi Agama

Minggu, 21 Oktober 2018 | 13:42 WIB
0
485
Akulturasi dan Nganuisasi Agama

Bulan Sura, Sapar, Mulud (tahun ini sekitar bulan September, Oktober, Nopember), adalah waktu penting bagi bangsa Jawa, apalagi khususnya yang tinggal di Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur.

Pada ketiga bulan itu, akan ada banyak tradisi pemuliaan leluhur, pemuliaan alam semesta, pada tempat-tempat yang dalam keyakinan mereka mesti dirawat, dijaga, karena telah memberikan ruang kehidupan.

Ada banyak tradisi ritual yang dilakukan dalam berbagai bentuknya. Sedekah bumi, sedekah laut, gunung, sawah, desa, dan seterusnya. Ada pula acara syukuran, srokalan, shalawatan, nyebar udik-udik, jamasan pusaka, gunungan, dan seterusnya. Tiga bulan itu, dalam keyakinan Jawa bulan baik melakukan retreat, internalisasi, berada dalam suwung atau senggang. Di mana pertanyaan-pertanyaan pada diri-sendiri didedahkan.

Sura dalam pengertian Jawa adalah tahun baru Jawa, yang dikreasi Sultan Agung (8 Juli 1633), sebagai awal ideologisasi bangsa Jawa dalam proses transisi dan akulturasi. Dari Hindu ke Islam dengan variannya, atau transfenomena Islam Kejawen (dalam tarik-ulur Islam dengan Hindu-Buddha di satu sisi). Senyampang itu, juga relasi Kejawen dengan agama-agama diluar secara umum.

Tradisi Mataram (Islam) semenjak Sultan Agung, merupakan pencampuran berbagai unsur waktu itu. Hindu, Syiwa–Buddha, Islam, dan anasir-anasir lain, baik itu Arab, China, maupun India. Kejawen tumbuh dalam kelindan akulturasi semuanya itu. Membentuk karakternya yang lentur, permisif, eklektik. Secara jumawa kadang dikatakan kemampuan memangku sebagai kekuatan spiritual yang mematikan lawan.

Seusai bulan Sura, kemudian Sapar sebagai bulan ‘kosong’. Bulan mawas diri, mengosongkan diri, hingga kemudian ditutup dengan ritual Rabu Pungkasan di beberapa tempat, sebagai akhir segala bencana. Barulah kemudian setelah menyambut kelahiran Muhammad di bulan Mulud, segala sesuatunya bergulir sebagaimana biasa, dalam sembilan bulan ke depan.

Tapi ritus sosial dan spiritual itu, kini berhadapan (atau berbarengan) masa kampanye politik 2019. Apa hubungannya? Acap organisasi massa yang mengaku mewakili Islam, muncul sembari teriak-teriak melarang ritual ini dan itu, yang ditudingnya kafir dan musyrik. Kebetulan?

Tak ada yang kebetulan dalam dunia intrik. Memang hanya dengan menunggangi momen, agenda setting akan diperhatikan. Jika penegak hukum atau aparat keamanan tak hati-hati menangani, mereka akan bisa ngomong dinista dan disudutkan capres sebelah sini. Sehingga masuk akal jika mereka teriak-teriak mendukung capres lainnya. Capres tertentu tak ramah dengan agama mereka, dan capres lainnyalah dikatakan menyediakan sorga untuk siapa yang memilihnya.

Ini memang nganuisasi agama. Bukan proses akulturasi yang setara. Jika Nabi Muhammad melarang umatnya menganeksasi kearifan lokal, orang Jawa tak boleh takut menolak pemaksaan dari kelompok nganuisasi agama itu.

***