Kesopanan Bukan Jaminan Kebenaran

Selasa, 12 Februari 2019 | 20:51 WIB
0
489
Kesopanan Bukan Jaminan Kebenaran
Ilustrasi opisisi (Foto: Training-SDM.com)

Semakin mendekati pilpres di mana pesta demokrasi akan dilangsungkan, perbincangan politik baik dari TKN (Projo) dan BPN (PAS) bertebaran baik di media mainstream, medsos bahkan warung kopi pun tak luput menjadi perbincangan yang sangat menarik untuk dibahas, meski ada saja yang acuh tak acuh terhadap perbincangan politik.

Kritik pedas terhadap Petahana terkadang terlihat sarkas dan jauh dari nilai kesopanan sebagai bangsa dilakukan oposisi pun sering dilontarkan, namun setiap anak bangsa punya karakter masing-masing, dan tak harus sopan untuk mengkritik kebijakan Pemerintah karena Demokrasi memberikan kebebasan untuk berpendapat.

Diakui atau tidak, ini seringkali membuat kegaduhkan suasana jelang pilpres 17 April 2019 dengan tanpa tedeng aling-aling kubu oposisi menyerang kubu petahana.

Di beberapa kesempatan terkadang sangat diplomatis, namun terkadang terkesan memilih kalimat keras bin sarkas. Walhasil, banyak yang tidak siap. Shock culture, dari sosok yang biasa dipuja-puji tiba-tiba kena kritikan keras dan vulgar, kubu petahana pun blingsatan lalu menyerang oposisi dengan auto benteng pertahanannya maka jatuhlah pada debat seputar norma kesopanan dan segala kritik dianggap hoax oleh kubu petahana, bahkan dianggap lebay dan pada intinya lebih menyetujui cara yang adem untuk mengkritik petahana.

Pendapat dan kritikan oposisi seolah tidak dijadikan introspeksi diri kubu petahana meski cacat yang penting sopan dan adem cara menyampaikan. Padahal seringkali kenyataan di bawah menunjukan bahwa masyarakat butuh perubahan bukan janji-janji manis yang belum terealisasikan sampai saat ini. Keluhan masyarakat yang diterima kubu oposisi tak dianggap malah terkadang dilawan kubu petahana, dan selalu mengganggap benar apa yang dilakukan petahana dengan citra diri kepemimpinan yang sopan, baik, humble, sayang keluarga, merakyat dan lain-lain, bukankah orang baik tidak selalu baik bisa jadi pemimpin, pemimpin itu juga harus punya ide, gagasan dan leadership yang kuat, karena pekerja yang baik dia hanya mampu bekerja dan bekerja tanpa perlu ide dan gagasan, dan nurut dengan petunjuk yang memberi pekerjaan.

Tanpa sadar kubu oposisi tidak mau terjebak kemapanan norma-norma sosial yang membelenggu yang membuat orang-orang lebih melihat kesopanan sebagai ukuran baik buruk seseorang, daripada substansi yang diucapkan, kan gila!!!

Sekali lagi Demokrasi memberikan kebebasan untuk berpendapat dengan berbagai cara.
Masyarakat kita seolah sedang terhegemoni. Banyak yang menuding oposisi kasar, nyinyir dalam mengkritik karena dia melancarkan kritik dengan vulgar.

Saya bertanya :"Sejak kapan di negara ini ada penyeragaman, ada cluster-cluster untuk berpendapat. Kalau harus seragam mendingan jadi kodok aja bila malam di musim penghujan selalu berbunyi yang sama....

Menurut saya, oposisi sedang mempraktekan teori kontra hegemoninya Gramsci. Melawan standar kesopanan dengan bicara vulgar dan memilih dicap buruk daripada menyerah pada kesopanan yang sering digunakan membungkus kejahatan. Ibarat pepatah "Anda sopan kami curiga karena anda nyalon".

Dan prediksi saya melalui pengamatan langsung di masyarakat dan medsos petahana akan tumbang di tahun ini, karena sesungguhnya masyarakat saat ini butuh perubahan, meski kita disuruh bersyukur oleh Pakde JKW dengan pertumbuhan hanya mencapai 5% untuk menutupi ketidakmampuan memenuhi janjinya.

***