Politik Sama Kotornya dengan Prostitusi?

Senin, 28 Januari 2019 | 23:40 WIB
0
747
Politik Sama Kotornya dengan Prostitusi?
Ilustrasi politik (Foto: Erabaru)

“Saya dahulu bilang bahwa politik adalah profesi tertua kedua di dunia. Yang pertama adalah prostitusi. Namun saya baru menyadari bahwa politik sama kotornya dg prostitusi” - Ronald Reagan, Presiden AS.

Seharusnya menjadi politisi itu adalah profesi yang membanggakan, karena politisi mampu mengatasi problem masyarakat, politisi berperan sangat besar dalam membangun peradaban yang baik. Namun sayangnya, dewasa ini justeru politisi menjadi problem masyarakat.

Politisi menyebabkan politik yang seharusnya mulia menjadi Kotor, sama kotornya dengan prostitusi. Itulah yang dikatakan Mantan Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan. Kalau melihat realitas Politik dewasa ini, tidaklah salah apa yang dikatakan Reagan.

Lantas pertanyaannya, Pemilu nanti sebetulnya kita memilih apa.? Memang kita akan memilih Presiden dan anggota Legislatif, tapi seperti apa yang kita ingin pilih, kalau situasi Politik yang dibangun oleh politisi sekarang ini, hanyalah dipenuhi muatan kepentingan kelompok.

Lihatlah cara-cara mereka untuk mendapatkan kedudukan, sangat jauh dari apa yang kita harapan. Kebohongan dijadikan permainan, bagian dari cara untuk mendapatkan kedudukan. Menciptakan berbagai ketakutan, demi semata untuk memperlihatkan bahwa hanya merekalah yang bisa menyelesaikan semua persoalan.

Terlalu mudah didalam ucapan, tanpa memperhitungkan berbagai aspek, yang sangat mungkin menjadi hambatan. Padahal sejarah sudah mengajarkan, bahwa memperbaiki keadaan yang sudah rusak selama puluhan tahun, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.

Tidak bisa meyakinkan masyarakat hanya dengan janji, tanpa memikirkan implementasinya. Terlihat begitu mudah, seakan-akan semua persoalan akan bisa diselesaikan, hanya dengan menina bobokkan masyarakat lewat janji yang muluk.

Berhadapan dengan masyarakat miskin, seakan-akan kemiskinan bisa ditanggulangi begitu bisa terpilih. Berhadapan dengan tingginya harga berbagai bahan pokok, seketika dijanjikan akan diturunkan, tanpa pernah memikirkan mekanisme dan faktor penunjang lainnya.

Seakan-akan semua begitu mudah ditanggulangi. Begitu sudah berhadapan dengan kenyataan yang sebenarnya, dan tidak mampu meng-implementasikan apa yang sudah dijanjikannya, maka dicari-cari penyebab kesalahan lainnya, bahkan berani mengatakan tidak pernah menjanjikan.

Begitulah kulaitas politisi yang akan menjadi pilihan, tidak bertanggung jawab dengan apa yang sudah dijanjikan. Kampanye hanyalah media propaganda Politik, hanya untuk mencapai Kekuasaan, begitu Kekuasaan sudah ditangan, lain lagi yang dikerjakan.

Tidak pernah memikirkan bahwa apa yang mereka lakukan adalah pendidikan Politik, yang akan diserap dari generasi kegenerasi. Partai politikpun sudah seperti persereon terbatas, yang dimiliki perseorangan, yang dikelelo dengan pola kapitalis.

Tujuan berpolitik tidak lagi membangun peradaban yang baik, Politik dipresentasikan dengan sangat Kotor, jauh dari etika dan moralitas. Pada akhirnya, Partai Politik tidak memberikan kontribusi apa-apa pada negara dan bangsa.

Lihatlah parlemen Kita, hanya dipenuhi oleh orang-orang yang ambisius terhadap Kekuasaan dan kekayaan. Tidak sedikit pun mereka mau peduli untuk menegakkan keadilan dan kemanusiaan. Mereka hanya menjadi orang-orang yang egois, yang cuma bicara atas nama kepentingan politik kelompoknya, bukanlah atas nama bangsa da negara.

Seharusnya, menurut Jerry, media dijadikan sebagai partner, mitra, mengingat media akan mempublikasi gagasan dari para calon tersebut.

***