Semestinya memilih Presiden itu, di luar head to head dengan penantang, juga diukur bagaimana kondisi real dengan presiden sebelumnya. Tentu saja, karena sebelum Jokowi, Presidennya adalah SBY. Kita patut juga untuk memper-banding-kannya, dalam istilah pop saat ini: before and after-nya.
Tapi alih-alih pakai parameter ekonomi-politik modern, saya memperbandingkannya dengan parameter sosial-budaya. Kebetulan sekali kedua-dua, SBY dan Jokowi sama-sama beretnis Jawa. Dan sama pula punya sikap keterbukaan untuk menerima mantu dari luar etnis Jawa. Artinya keduanya sama nasionalis-nya.
Parameter yang ingin saya gunakan, dengan menggunakan falsafah moh-limo (sering disebut salah kaprah sebagai molimo). Moh-Limo artinya adalah lima hal yang seharusnya dihindarkan.
Konon, falsafah ini dipopulerkan pertama kali Sunan Ampel, satu dari sembilan anggota Walisongo. Kelima pantangan tersebut, sudah sangat tegas bahkan pada tingkat paling permukaan: mabok (mabuk), main (berjudi), madon (bermain perempuan), madat (candu), maling (mencuri). Tapi dalam konteks yang lebih luas dan hari ini, kita mendapatinya memiliki pemaknaan yang juga menyesuaikan semangat jamannya.
Mari kita urai satu persatu:
1. Moh Mabok, arti dasarnya dilarang minuman keras, khamr dan sejenisnya. Namun arti paling dalamnya adalah tidak boleh melenakan rakyatnya, berani menjaga kesadaran penuh rakyatnya.
Dalam lima tahun pertama pemerintahan SBY, semua tampak baik-baik saja. Hingga ia bisa menang sangat telak. Barulah pada periode keduanya, rakyat tersadar: betapa berantakannya pemerintahannya. Skandal Bank Century, Hambalang, tak kurang para Menteri di Kabinet, Ketua Partainya bahkan juga si besan ditangkap KPK. Berkah kondisi ekonomi dunia yang stabil, dan booming batubara nyaris tak berjejak.
Yang muncul justru tambahan hutang yang digunakan untuk peningkatan sektor produktif. Dan untuk menunjukkan perhatiannya pada rakyat miskin adalah solusi instant Bantuan Langsung Tunai (BLT).
2. Moh Main, tidak mau bermain judi, taruhan dan sejenisnya. Namun perjudian yang paling membuat Indonesia seberantakan adalah koalisi yang dibangun dalam kabinetnya yang mengakomodasi partai-partai brengsek seperti PKS dan PAN.
Tidak hanya sekali-dua para petinggi partai itu dicokok KPK, atas berbagai skandal korupsi yang bahkan masing-masing diimbuhi isu tidak sedap berbau "ranjang bayaran". Pembiaran tumbuhnya organisasi yang sejak awal radikal, anti-toleransi, bahkan secara terbuka sangat sombong tidak mengakui Pancasila.
SBY nyaris tidak punya kendali, karena yang dibutuhkannya adalah kelanggengan kekuasaannya. Sesuatu yang harus "sangat" dibayar mahal, karena meninggalkan jejak mental korup, manipulatif dan hipokrit yang sukar disembuhkan di lingkaran PNS. Hanya beragama tetapi sangat tidak beretika!
3. Moh Madon, tidak mau berbuat zina, seks bebas, lesbian, gay dan sejenisnya. Sampai detik ini, saya tak habis pikir bagaimana mungkin seorang "pembohong" bisa diterima masuk di AKABRI. Memanipulasi pernikahan pertamanya, tak mengakui pernah melakukannya, tak mengakui bahwa dari hubungan tersebut juga telah menghasilkan anak, dan bahkan bisa diangkat sebagai anak mantu seorang Gubernur AKABRI.
SBY adalah manusia super-beruntung! Belakangan "sejarah gelap" mencatat bahwa ia adalah salah seorang lembu peteng dari penguasa dengan masa terpanjang dalam sejarah Indonesia modern. Lalu kenapa keluarga C dan C itu tak pernah akur? Saya pikir itu hanya sikap saling cemburu antara anak-beranak dengan patron dan jejak sifat dan watak "sama-sama suka madon".
4. Moh Madat, tidak mau memakai narkoba dan sejenisnya. Sebenarnya makna sesungguhnya adalah terbius, dan dalam konteks ini kekuasaan. Kekuasaan itu candu yang paling enak! Daripadanya tahta, harta, dan wanita mudah didapat.
Selepas Anas Urbaningrum yang minta digantung di Monas itu akhirnya meringkuk di Sukamiskin, nyaris semua jabatan strategis di partainya dirangkap sendiri. Sedemikian ngebetnya melanggengkan kekuasaannya, seolah Indonesia ini "play-doh"-nya dia.
Ia tega menyuruh anaknya keluar dari kedinasan milter, dengan pangkat terakhir Mayor. Betarung dalam medan panas Pilgub DKI Jakarta, dengan hasil luar biasa memalukan. Menunjukkan bahwa resistensi rakyat Indonesia terhadap SBY dan partainya sedemikian luar biasa.
Apa sesungguhnya yang paing ditakutkan SBY? Menurut saya: ya istrinya itu, orang yang berhasil mengangkat tinggi derajatnya.
5. Mo Maling, tidak mau mencuri, menipu, korupsi, merampok dan sejenisnya. Wah kalau yang ini gak usah harus diceritakan lagi. 10 tahun masa SBY, selain Orde Los Stang, periode paling tidak terkendaii. KPK ada, Kejaksaan, BPK, BPKP, Inspektorat, Polisi semua ada. Tapi kalah dengan semangat "perampokan berjamaah" nyaris di semua institusi pemerintahan.
Dengan uang sebejibun itu, kenapa ia tidak mendukung salah satu calon dengan all-out? Di luar terkenal pelit, penuh itungan njlimet, keluarga ini juga dikenal tidak punya kepedulian yang baik. Contoh paling mutakhir: ketika Ramadhan Pohan, sahabat saya, sedulur ubyang-ubyung semasa di Asrama UI akhirnya harus menjalani hukuman. Kenapa sejak semula, ia tidak mau menutup hutang-hutang yang ditimbulkan akibat kegagalan Pohan saat Pilwakot Medan. Padahal Ramadhan itu kan di luar adik besannya sendiri, juga pengurus partai yang sangat loyal dan pekerja keras.
Demikian jauh jarak jurang pemisah antara SBY dan Jokowi. Apakah Jokowi tidak akan terseret jatuh seperti SBY?
Bila ukurannya dia memilih Cawapres-nya dan berubah jadi baperan, kemungkinan itu memang ada. Bagi saya itu tetap absurd!
Tapi mudah-mudahan ya cuma itu sisi lemahnya. Tapi kalau dilihat Jokowi tidak dramatis bertambah gemuk, tak ada kantong mata yang membesar, dan gak berminat bikin album lagu. Bahwa ia akan terus on-the-record muncul dengan berbagai kejutan-kejjutan barunya.
Masalahnya "faktor kejutan", itu diluar memang benar mebuat terkejut setengah mati. Juga tak ada dalam kriteria dalam salah satu Moh-Limo di atas!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews