Motif Komentar Kontroversial AP Hasanuddin

Kecerdasan kognitif berbeda dengan kejiwaan, bagaimanapun keduanya saling berhubungan.

Selasa, 25 April 2023 | 09:33 WIB
0
191
Motif Komentar Kontroversial AP Hasanuddin
AP Hasanuddin (Foto: pikiran-rakyat.com)

Ketika pertama kali membaca berita tentang komentar AP Hasanuddin di akun Facebook Thomas Djamaluddin, saya langsung meragukan bahwa akun AP Hasanuddin itu adalah akun yang jelas profilnya. Gaya bahasanya sangat vulgar, ala preman pasaran yang tidak berpendidikan atau seperti akun buzzeRp anonim/bodong yang sengaja memancing kegaduhan di sebuah postingan, supaya tingkat “reach” dan “engagement” postingan tersebut jadi meningkat tajam.

Komentar yang sangat kontroversial itu tercipta di kolom komentar postingan Thomas mengenai perdebatan adanya perbedaan penentuan 1 Syawal 1444 Hijriah atau hari lebaran antara pemerintah dengan Muhammadiyah.

Setelah saya ikuti beritanya hingga pagi ini, saya agak terkejut bahwa akun itu ternyata jelas profilnya, bukan orang awam pula. Andi Pangerang Hasanuddin, civitas Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dengan jabatan Peneliti Ahli Pratama. Lulusan S1 Teknik Elektro dan tergabung dalam satuan kerja Pusat Riset Antariksa.

Dia sudah menyampaikan menyatakan permintaan maaf, namun rasanya mustahil dia bisa dimaafkan atau tidak dihukum, karena komentarnya itu bersifat provokasi yang telah menimbulkan kegaduhan di tengah-tengah masyarakat umum dan sudah jelas sekali melanggar hukum.

Sebagai pengguna medsos, terutama di Facebook sejak tahun 2010 dan di Kompasiana sejak tahun 2012, saya sangat sering menjumpai postingan atau komentar semacam itu, khususnya di masa Pilkada DKI Jakarta 2012, Pilpres 2014 dan Pilpres 2019 yang polarisasinya sangat tajam.

Untuk kasus ini, sulit sekali menebak motifnya. Diperlukan penyelidikan yang serius oleh badan yang berwenang mengenai motif AP yang sebenarnya.
Namun berdasarkan pengamatan dan pengalamanku sendiri, ada beberapa kemungkinan mengapa AP kebablasan.

  1. Sedang mengalami stres atau depresi yang dipicu oleh masalah berat dalam pekerjaan atau pribadi/keluarga, sehingga gampang mengalami kekalapan, fungsi akalnya jadi terganggu.
  2. Pemikiran sosial-budaya-politisnya terkontaminasi berat dengan pemikiran-pemikiran yang radikal.
  3. Sengaja bablas demi suatu tujuan tertentu. Hal ini tentunya bisa diketahui berdasarkan hasil penyelidikan yang intensif dari pihak yang berwajib atau dari pihak yang independen.


Dari kasus ini kita juga bisa mengetahui bahwa kecerdasan kognitif berbeda dengan kejiwaan, bagaimanapun keduanya saling berhubungan. Orang yang cerdas secara keilmuan/saintifik, belum tentu kejiwaannya “cerdas” juga.

Semoga kasus ini bisa segera diselesaikan oleh pihak-pihak yang berwenang dan menjadi pelajaran berharga yang kesekian-kesekian-kesekian kalinya bagi para pengguna medsos.

[-Rahmad Agus Koto-]