Jokowi Otoriter? Ente Baru Lahir, Ya?

Kalau Anda dekat dengan Soeharto maka Anda bebas untuk merampok uang negara. Yang penting Anda bagi-bagi jugalah dan jangan bikin sesama kroni tidak kebagian.

Rabu, 25 Agustus 2021 | 07:19 WIB
0
375
Jokowi Otoriter? Ente Baru Lahir, Ya?
Presiden Soeharto (Foto: koransulindo.com)

Jika Anda menganggap Jokowi otoriter maka jelas Anda baru lahir kemarin dan mungkin baru belajar merangkak. Anda perlu hidup di zaman Soeharto berkuasa agar Anda paham apa yang disebut otoriter itu. 

Di zaman Soeharto menguasai TNI, tentara benar-benar bisa sewenang-wenang dan berada di luar barak untuk menguasai segala sesuatu. Soeharto menunjuk para perwira menengah untuk menjadi bupati, walikota, gubernur, dan posisi-posisi strategis negara dengan semau-maunya.

Saya kebetulan punya seorang kerabat berpangkat letkol yang ditunjuk untuk menjadi walikota di Kaltim ketika itu. Jadi kalau demokrasi dilihat dari hak rakyat untuk memilih pemimpinnya sendiri maka saat Soeharto jelas belum bisa dikatakan ada demokrasi. Di zaman Soeharto tentara benar-benar ditakuti karena bisa menentukan hidup mati dan masa depan Anda.

Seseorang bisa dituduh menjadi antek PKI dan tidak perlu ada pengadilan untuk memastikannya. Tentara bisa mengambil orang tersebut dari rumahnya dan setelah itu tidak ada lagi kabar selanjutnya. Gone with the wind tapi bukan kisah percintaan. Keluarga yang ditinggalkannya akan distigma sebagai keluarga pengkhianat dan tidak perlu ada bukti untuk itu.

Hidup keluarga yang ditinggalkan akan sengsara dan sulit untuk bekerja di mana-mana. Saya punya teman yang ayahnya dituduh PKI, lalu dicokok sama tentara, dan keluarganya kesulitan mengurus apa pun. Jika demokrasi tolok ukurnya adalah tegaknya hukum dan keadilan maka jelas di zaman Soeharto hukum adalah apa kata Soeharto saja.

Bagaimana sih hukum pada waktu itu…?! Hukum apaan…?!  Ente pingin dikarungin? Istilah dikarungin itu benar-benar harfiah lho ya. Jangan dikira lebay. Di zaman Soeharto orang-orang yang dianggap pengacau masyarakat bisa benar-benar dibunuh, dimasukkan karung, dan dibuang di tengah jalan begitu saja untuk menciptakan rasa takut rakyat. Pelakunya disebut Petrus, tapi bukan muridnya Yesus melainkan singkatan dari Penembak Misterius.

Jadi tidak ada polisi yang mendatangi tersangka pengacau keamanan kemudian memproses hukum, kemudian dinasehati baik-baik, tersangka tandatangan di atas materai, difoto dengan tangan ngapurancang, lalu dilepas dengan harapan agar tidak mengacau lagi.

Kok nyaman betul hidupmu, bro…! Di zaman Soeharto ente bisa disangkakan macam-macam, diambil dari rumah Anda malam-malam and good bye my love forever. Yang datang bukan aparat berbaju coklat tapi berbaju hijau. Petrus mencokok siapa saja yang dinilai sebagai pelaku kriminal atau kejahatan, seperti preman, perampok, dan lain-lain.

Dari kasus Petrus ini, pada 1983, tercatat sebanyak 532 orang tewas dan 367 tewas karena luka tembak. Kemudian, pada 1984, ada 107 tewas dan pada 1985 sejumlah 74 orang tewas, 28 di antaranya tewas karena ditembak.

Bagaimana kalau ada ulama atau umat Islam yang menentang pemerintah, eh! Soeharto? Soeharto dulu itu anti-Islam dan yang ngomong bukan umat Islam saja tapi justru dari tangan kanannya yang paling ia percaya, LB Moerdani. LB Moerdani sendiri dituduh anti-Islam tapi ia berkelit. “Kok saya yang dituduh Anti-Islam. Soeharto itu yang anti-Islam,” kata Benny Moerdani setelah Salim Said bertanya terkait banyaknya tuduhan kepada Benny Moerdani yang dicap anti-Islam.

Saking tidak sukanya Soeharto dengan Islam sampai ucapan ‘Insya Allah’ saja tidak disetujuinya. Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) era peristiwa 1965, Subchan ZE, yang menyampaikan soal rencana aksi pengganyangan PKI, berucap kata “Insya Allah.” Soeharto pun terganggu. “Mengapa harus pakai Insya Allah?” tanya Soeharto dengan nada kesal.

Apalagi kalau kalian demo sambil takbir “Allahu Akbar…!” dengan bawa bendera hitam di depan istana. Tak terbayangkan akibatnya…! Untungnya belakangan sikapnya melunak, meski tidak lunak-lunak amat. Baca selengkapnya di artikel "Benarkah Soeharto Memusuhi Islam dan Mengapa Ia Berubah?"

Bagaimana sikap Soeharto pada ulama yang bersikap menentang ‘kebijakannya’? Ya wassalam. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.

Salah satu contohnya adalah Abdul Qadir Djaelani, seorang ulama sekaligus tokoh masyarakat Tanjung Priok. Ia sering dianggap menyampaikan ceramah yang dituding aparat sebagai provokatif dan berpotensi mengancam stabilitas nasional sehingga terjadi bentrokan antara aparat dengan umat Islam. Padahal nggak mencaci maki Soeharto lho…!

Djaelani dijemput aparat lalu divonis hukuman penjara 18 tahun. (Tempo, Volume 23, 1993:14). Selain Djaelani, persidangan juga menyeret sejumlah tokoh cendekiawan Islam lainnya seperti AM Fatwa, Tony Ardi, Mawardi Noor, Oesmany Al Hamidy, Hasan Kiat, dan lainnya, yang dituding sebagai “aktor intelektual” bentrokan tersebut.

Setidaknya ada 28 orang yang diadili dalam rangkaian sidang yang berlangsung selama lebih dari 3 bulan itu. Majelis hakim menyatakan seluruh tertuduh dinyatakan bersalah, dan dijatuhi sanksi bui yang lamanya bervariasi, hingga belasan tahun seperti yang dikenakan kepada Djaelani. Hal ini memicu terjadinya Tragedi Priok di mana diperkirakan 400 umat Islam yang protes berdemonstrasi dibantai dengan kejam oleh aparat yang menggunakan senjata berat.

Oh, ya! Zaman itu demonstrasi semacam ini tidak dihadapi oleh polisi seperti zamannya Jokowi. Polisi dianggap kurang efektif. Zaman itu belum ada sistem penyelesaian masalah dengan materai tapi dengan peluru dan senjata berat.

Bagaimana respon Soeharto melihat banyaknya korban? Dalam buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya” yang terbit 4 tahun setelah insiden tersebut ia berkata: “Peristiwa Tanjung Priok adalah hasil hasutan sejumlah pemimpin di sana. Melaksanakan keyakinan dan syariat agama tentu saja boleh. Tetapi kenyataannya ia mengacau dan menghasut rakyat untuk memberontak, menuntut dikeluarkannya orang yang ditahan. Terhadap yang melanggar hukum, ya tentunya harus diambil tindakan (maksudnya yo dipateni wae).”

So wise toh…! Jadi bayangkan betapa lunaknya polisi dalam menghadapi para demonstran yang menuntut agar Rizieq Shihab dibebaskan.

Baca selengkapnya di artikel "Sejarah Tragedi Tanjung Priok: Kala Orde Baru Menghabisi Umat Islam". Atau sila baca kisahnya di sini

Bagaimana dengan partai politik di zaman itu? Oh, zaman itu masih tentram sentosa aman dan damai karena hanya ada 3 parpol. Eh, dua ding! Yang ada cuma Golkar, PPP, dan PDI. Tapi Golkar tidak mau disebut parpol, jadi hanya PPP dan PDI yang parpol. Itupun mereka hanya dijadikan boneka saja.

Yang berkuasa jelas Golkar yang berlaku sak karepe dewe sebagaimana dengan bosnya. Meski waktu itu sudah ada pemilu di mana katanya rakyat boleh memilih salah satu dari ketiga partai tersebut tapi jika Anda percaya dengan apa yang disampaikan itu maka Anda akan diketawai oleh ayam.

Meski ada pemilu dan pencoblosan tapi hasilnya sudah ditentukan dan bahkan diumumkan sebelum penghitungan pencoblosan selesai. Pokoknya ajaib deh! Golkar selalu menang di atas 90% karena Golkar memang sangat dicintai oleh rakyat di bawah kepemimpinan Soeharto. Mau gimana lagi…?! Lha wong semua PNS dan karyawan instansi pemerintah wajib jadi anggota Golkar.

Bagaimana kalau ada yang mau coba-coba mbanggel dan tidak mau jadi anggota Golkar? Ya kayak sayalah nasibnya. Nasib saya sebagai guru PNS golongan II/b berakhir dengan sukses gara-gara coba-coba sok idealis melawan Golkar waktu itu. Kalau mau tahu kisahnya sila baca di sini

Jadi jangankan melawan Soeharto, menolak jadi anggota Golkar saja karier kita bisa tamat. Coba bayangkan jika sekarang Jokowi memaksa semua ASN, PNS, karyawan BUMN harus menulis surat permohonan untuk menjadi anggota PDIP dan mencoblos Puan Maharani. Anda pasti bakal berteriak sampai ke langit ke tujuh.

Tapi di masa Pak Dhe ‘Enak Jamanku Toh’ itu tidak ada yang berani teriak. Kecuali memang siap terima resiko. Itu sebabnya orang macam Rocky Gerung tidak pernah kedengaran suaranya di zaman Soeharto. Sekarang saja dia sok jagoan. Dulu ya mingkem klakep. 

Tapi memang ada juga yang nekat waktu itu. Abuya Dimyati, seorang ulama dari Banten yang mencoba melawan provokasi kadesnya yang memaksa masyarakat memilih Golkar dengan mengatakan “Golkar itu pemerintah”. Ia lalu membalas dengan mengatakan: “Pemerintah itu RI, bukan Golkar.”

Akhirnya, menjelang Pemilu 1977, Abuya Dimyati ditangkap polisi. Dia divonis bersalah dan dihukum penjara selama enam bulan penjara. Enak Jamanku toh…! Melawan kok disuruh bikin pernyataan di atas materai. Kok nyimut…!

Bagaimana dengan korupsi…?!

Korupsi di zaman itu hanya ada jika Anda bukan kroninya Soeharto. Untuk kroninya Soeharto maka bukan korupsi namanya. Namanya koncoisme kemakmuran bersama. Koncoisme itu persekongkolan menggaruk harta negara melalui politik penguasa bersama dengan keluarga dan kroni-kroninya.

Kalau Anda dekat dengan Soeharto maka Anda bebas untuk merampok uang negara. Yang penting Anda bagi-bagi jugalah dan jangan bikin sesama kroni tidak kebagian. Lahirnya konglomerat Sembilan Naga ya di era Soeharto. Bagaimana dengan sanak family, dan apalagi anak-anak Soeharto?

Bagaimana cara mereka agar bisa hidup sejahtera? Ya semau-mau merekalah. Emang siapa yang berani menentang anak-anak Soeharto jika mereka menginginkan sesuatu? Harta peninggalan Soeharto saja disebut-sebut mencapai sekitar Rp400 triliun.

Putri pertama Presiden RI ke-2 Seoharto, Siti Hardijanti Rukmana atau Mbak Tutut hartanya ditaksir mencapai USD 205 juta. Ia juga pernah diangkat menjadi Mentri Sosial oleh bapaknya sendiri.

Tommy Soeharto, putra kelima sekaligus putra mahkota, pernah menyabet peringkat ke-60 orang terkaya di Indonesia. Harta kekayaannya ditaksir USD 670 juta. Semua Keluarga Cendana sangat kaya raya berkat korupsi di era ‘Enak jamanku toh…!’

Bagaimana cara berbisnis Tommy? Salah satu caranya adalah dengan minta agar dirinya dijadikan penguasa cengkeh nasional melalui Kepres 1992, melalui Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) yang dipimpin langsung olehnya. Tommy masih berusia 28 tahun kala menjadi ketua konsorsium cengkeh.

Cengkeh sangat mahal pada waktu itu dan BPPC menjadi pengontrol satu-satunya di industri cengkeh. Semua cengkeh dari petani wajib dijual ke Koperasi Unit Desa, untuk nantinya dibeli oleh BPPC. Nanti Tommy yang menjual ke pabrik rokok dan industri lain yang membutuhkan cengkeh.

Di tengah monopoli itu, BPPC juga mendapat kredit dari Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) sebesar Rp569 miliar, pun dapat pinjaman komersial dari Bank Bumi Daya sebesar Rp190 miliar. Tentu saja semua diperintahkan oleh Soeharto. Pokoknya usaha tinggal pilih dan uang modal tinggal keruk dari bank.

Baca selengkapnya di artikel "Keculasan Orde Baru Membuat Harga Cengkeh Hancur". Para pembenci Jokowi selalu mengejek Jokowi yang mempromosikan mobil ESEMKA yang sampai sekarang tidak jelas wujudnya itu. Padahal tidak ada uang negara yang digunakan oleh perusahaan mobil Esemka.

Mungkin mereka tidak pernah tahu bahwa dulu Tommy menggunakan fasilitas negara dengan nyamannya memasukkan mobil impor dan dibebaskan dari bea masuk dan pajak lainnya dengan alasan membangun mobil nasional, TIMOR. Dan tidak ada yang peduli bagaimana duit negara yang menguap. Tapi kan memang “Enak jamanku toh…!” kalau mau korupsi. 

Bagaimana kalau ada yang mau mengusut dan mengadili mereka? Syafiuddin Kartasasmita adalah Hakim Agung/Ketua Muda Bidang Pidana Mahkamah Agung (MA) RI. Dalam sidang 22 September 2000, ia menjatuhkan hukuman 18 bulan penjara dan denda Rp30,6 miliar kepada Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto dalam kasasi kasus tukar guling tanah milik Bulog dengan PT Goro Batara Sakti. Genap 10 bulan berselang, Syafiuddin tewas ditembak orang tak dikenal dalam perjalanan menuju kantornya.

Tommy, diduga sebagai otak pembunuhan ini, dan kelak dugaan itu dibuktikan oleh pengadilan. Sungguh ngeri kelakuan Tommy ini. Baca selengkapnya di artikel "Pembunuhan Hakim Syafiuddin yang Dirancang Tommy Soeharto".

Zaman sekarang tentara benar-benar berubah. Kalau dulu tentara menginjak kaki kita maka kita yang harus minta maaf. Kan mereka kalah menang nyirik. Sekarang tentara main kasar pada rakyat bakalan ditahan oleh POM. Polisi juga begitu. Melanggar prosedur dalam bertugas maka mereka juga bisa ditahan.

Zaman sekarang justru banyak warga yang sewenang-wenang dan mau sak karepe dewe. Segala fitnah terhadap Presiden Jokowi didiamkan saja dan bahkan BEM UI yang sontoloyo itu masih dibela oleh Jokowi. Itu pun Jokowi masih dituduh otoriter dan represif. Hadeeeh…! 

Mungkin mereka perlu hidup di era Soeharto agar mereka paham bahwa hidup di era Jokowi ini sak enak-enaknya zaman. Kecuali kalau kita memang tidak bisa bersyukur. 

Surabaya, 22 Agustus 2021

Satria Dharma

***