Ketika Jenazah 6 Laskar FPI Bicara (3)

Rabu, 30 Desember 2020 | 13:04 WIB
0
151
Ketika Jenazah 6 Laskar FPI Bicara (3)
Penyergapan 6 Laskar FPI di Rest Area KM 50 Tol Jakarta-Cikampek. (Foto: Okezone.com)

Kalau memang proyektil dan selongsong peluru yang ditemukan Komnas HAM adalah yang dipakai menembak 6 Laskar FPI, dalam uji balistik nanti juga bisa mengarahkan jenis senjata yang dipakai si penembaknya dan dari satuan atau unit apa.

Dari sini pula akan diketahui siapa nama pemegang senjatanya. Pertanyaannya sekarang ini, beranikah Komnas HAM tanya sampai sedetail itu kepada Bareskrim Polri? Jika tidak berani menanyakannya, sebaiknya hentikan saja penyelidikannya!

Karena semua yang dilakukannya selama ini akan sia-sia dan tak berguna lagi. Proyektil dan selongsong peluru itu menjadi pintu masuk untuk membuka tabir penembakan 6 laskar FPI yang saat itu mengawal Rombongan Habib Rizieq Shihab.

Pasalnya, ada kejanggalan tindakan polisi di TKP, terutama di Rest Area KM 50 Tol Jakarta-Cikampek. Setidaknya, hal itu berdasarkan sumber saksi di TKP yang diliput Edy Mulyadi, wartawan FNN.co.id yang tayang juga di Bang Edy Channel.

Termasuk dari hasil liputan dan investigasi Majalah TEMPO. Aparat kepolisian sejak sore sudah berada di sekitar TKP dengan banyak kendaraan dan diantaranya kendaraan patroli kepolisian berseragam resmi.

Ini seolah sudah direncanakan untuk melakukan penyergapan terhadap rombongan kendaraan HRS yang akan lewat di Tol Japek. Karena, berkumpulnya mereka di situ tidak dalam rangka ada pengamanan pengguna jalan tol secara umum.

Dengan kata lain, besar kemungkinan telah ada rencana penyergapan rombongan HRS yang lebih dahulu telah diselidiki lebih dahulu bahwa HRS akan lewat di jalan itu.

Kesaksian

Seperti diketahui, lokasi KM 50 itu biasa menjadi lokasi penyergapan para teroris, bandar narkoba, dan lain-lain seperti dijelaskan saksi kepada Bang Edy Channel maupun TEMPO.

Apalagi, polisi yang berada di lokasi itu berpakaian preman, tidak berpakaian dinas, sehingga pihak rombongan HRS tak mengenali jika mereka adalah polisi. Sesuai rilis FPI, sehingga semula menyebutnya sebagai OTK oleh pihak rombongan HRS.                                                                                                                                 

Seandainya mereka berpakaian dinas dan tujuannya hanya pengamanan biasa tentu pada saat rombongan HRS lewat, polisi memberi tanda sirine kendaraan, sehingga dikenali kendaraan umum termasuk rombongan HRS “sebagai polisi yang sedang patroli”.

Tetapi dalam kasus ini mereka menguntit berpakaian preman dan menghadang rombongan HRS dengan senjata laras panjang dan pistol, sebagaimana pengakuan saksi di TKP. Polisi tidak menunjukkan indentitas diri sebagai aparat.

Masih berdasarkan keterangan saksi di TKP yang melihat kejadian itu, hanya 2 letusan yang terdengar dan kenyataannya ada 2 laskar tertembak yang setengah jam kemudian dibawa ke mobil ambulan. Sementara, 4 laskar lainnya yang dibawa polisi dengan kendaraan lain dalam kondisi masih hidup.

Artinya, saat itu tidak terjadi tembak menembak di TKP atau korban lebih dahulu menembak polisi sebab jika ada tentu akan sangat banyak suara tembakan dan bisa saja peluru ke mana-mana.

Jika hal ini benar, maka korban sesungguhnya tidak punya senjata api karena tidak ada balasan tembakan dari korban ke arah polisi.

Jika kemudian dalam jumpa pers polisi menunjukkan pistol rakitan, seharusnya di TKP tentu ditemukan proyektil yang ditembakkan oleh korban untuk menyerang polisi, namun ternyata tidak ada satupun korban di pihak polisi.

Menjadi pertanyaan, dari mana polisi mendapatkan pistol yang diklaim sebagai barang bukti tersebut? Ataukah memang telah dipersiapkan sebagai alibi seolah korban membawa senjata dan menyerang polisi?

Yang perlu diingat dan dicatat, selain jasad laskar yang tewas itu bisa bicara, TKP bisa juga bicara dan menjadi petunjuk kalau memang ada saksi yang melihat.

Tapi, berdasarkan keterangan Kapolda Metro Jaya Irjen Polisi Fadil Imrn di Polda Metro Jaya, Senin (7/12/2020), “Tidak ada anggota yang terluka.”

Kerugian hanya materil. Kendaraan anggota rusak karena dipepet dan ditembaki. Jelas, hal ini tidak sinkron dengan peristiwa di TKP sebagaimana telah dijelaskan di atas, karena jelas tidak ada tembak-menembak. Ada beberapa saksi yang melihat langsung.

Terkait kendaraan yang dikatakan rusak, rasanya juga agak aneh. Bagaimana kaca mobil polisi bisa tertembak, sedangkan korban sendiri tidak punya senjata, apalagi jika ditembaknya seolah mobil korban berada di depan.

Sebab, kaca mobil yang tertembak itu kaca depan, bukan kaca belakang. Apalagi, titik sudut tembak pun janggal. Karena bekas peluru di dalam mobil mengarah ke bawah, tepatnya dekat handle kopling.

Ini berarti kaca mobil sengaja ditembak sambil berdiri tepat di depan mobil. Apakah mungkin korban berdiri depan mobil polisi?

Jika dicermati pada kendaraan polisi yang tertembak, ini tidak terkesan kendaraantersebut dipepet oleh kendaraan pengawal HRS, apalagi berbenturan. Sebab jika terjadi benturan dengan kecepatan cukup tinggi, meski disrempet tentu akibatnya cukup fatal, bahkan bisa hilang kendali.

Tetapi yang terlihat pada kendaraan polisi tidak parah, hanya sedikit penyok, itu pun posisinya di atas dekat spion, bukan serudukan dari bawah.

Ini juga jadi memperkuat dugaan bahwa tembakan kaca depan di mobil polisi tambah janggal. Seharusnya, jika memang ada tembak-menembak tentu saja sopir polisi bakal ditembak dari sisi kanan ketika dipepet, bukannya malah di depan kaca.

Seharusnya kaca samping sopir yang tertembak! Dari kondisi fisik mobil polisi inipun sudah berbicara faktanya. Seperti yang pernah saya tulis sebelumnya, bahwa yang terjadi itu hanya “tembak-tembakan”, bukan tembak-menembak!

Secara umum setiap kejadian kriminal seringkali akan ada prosedur olah TKP dan garis polisi di lokasi. Namun kenyataannya itu tidak dilakukan polisi.

Bahkan, setelah membawa korban mereka langsung meninggalkan TKP dan ini pelanggaran prosedur kepolisian! (Bersambung)

***