Tentara, Baliho dan Polisi

Seterusnya tugas Satpol PP dan Kepolisian. Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran mendukung sikap tegas Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman dalam menertibkan spanduk dan baliho.

Rabu, 25 November 2020 | 07:58 WIB
0
243
Tentara, Baliho dan Polisi
Panglima Besar Jenderal Soedirman (Foto: Istimewa)

Satu

Ini sebuah cerita dari zaman Romawi. Suatu hari, tanggal 10 Januari 49 SM, Jenderal Julius Caesar, dengan mengesampingkan imbauan Senat, membawa pasukannya menyeberangi Sungai Rubicon, sebuah sungai kecil di Italia utara. Sungai ini memisahkan wilayah Cisalpine Gaul (Gallia Cisalpina)—antara  Apennines dan Apls daerahnya suku Celtik—dan Italia.

Senat mengingatkan, bila Caesar membawa pasukannya menyeberangi Sungai Rubicon dan bergerak ke Roma, akan pecah perang saudara. Caesar tak peduli. Ia dan pasukannya tetap menyeberangi Sungai Rubicon, dan pecah perang saudara yang dimenangi Caesar.

Kini ungkapan “menyeberangi Rubicon” diartikan sebagai melakukan tindakan yang sangat menentukan sehingga tidak ada jalan untuk mundur. Ibarat kata, dadu sudah dilempar, tidak bisa dihentikan.

Begitulah yang dilakukan tentara—dimulai dari perintah Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman—menurunkan baliho-baliho bergambar wajah Habib Rizieq Shihab. Tindakan tentara itu menimbulkan pendapat pro dan kontra, terutama di media-media sosial, bahkan diangkat ke televisi.

Ada yang berpendapat bahwa tindakan tentara di luar kewenangannya, di luar koridor hukum. Ada juga yang berpendapat, apakah boleh kekuatan koersif menafsirkan sendiri suatu keadaan benar-benar ancaman?

Tetapi, ada pula yang menyambut gembira turunnya tentara mengatasi masalah. Bahkan, ada yang mengatakan “baru sekarang negara hadir.” Dalam ini, yang dilakukan tentara adalah demi kepentingan nasional dan memenuhi harapan, kehendak rakyat.

Apapun alasannya, seperti Caesar memutuskan untuk menyeberangi Sungai Rubicon, demikian pula Pangdam Jaya juga pasti memiliki alasan yang kuat ketika memutuskan untuk menurunkan baliho-baliho di Jakarta, yang sekarang diikuti daerah-daerah lainnya.

Dua

Di zaman lain, yang jauh sesudah zaman Romawi, Napoleon Bonaparte (1769-1821) pernah mengatakan sesuatu yang sangat menarik tentang tentara. Pemimpin militer Perancis dan kaisar Napoleon I, yang menaklukkan sebagian besar Eropa pada awal abad ke-19 ini mengatakan, kepala tanpa pengetahuan adalah seperti benteng tanpa tentara. 

Apa artinya benteng yang begitu kokoh tanpa tentara?

Napoleon “hanya” ingin mengatakan bahwa keberadaan tentara itu, sangat penting. Sangat penting bila dikaitkan dengan keberadaan dan kelanggengan sebuah negara; menjaga keselamatannya.

Karena itu, menurut Samuel Huntington (1957) secara sosiologis adalah penting adanya hubungan erat antara tentara (militer) dan masyarakat.

Tentara, terutama angkatan darat, bukanlah kasta khusus yang terpisah dari masyarakat, karena mereka harus “berada dalam hubungan yang segar dan konstan dengan pemikiran dan perasaan para warga sipil setempat”. Para perwira militer pun menekankan pentingnya tentara “berada dekat dengan masyarakat”.

Dalam bahasa lain, Panglima Besar Jenderal Soedirman mengatakan, tentara bukanlah merupakan suatu golongan di luar masyarakat; bukan suatu kasta yang berdiri di atas masyarakat. Tentara tidak lain dan tidak lebih dari salah satu bagian masyarakat yang mempunyai kewajiban tertentu.

Tiga

Dalam kebanyakan masyarakat Barat, peran militer pada dasarnya adalah untuk mendukung aspirasi politik masyarakat di bawah kepemimpinan sipil. Ketika militer “menyimpang” dari perannya sebagai pendukung kepemimpinan sipil, mereka dianggap telah melakukan intervensi politik (Bilveer Singh, 1995).

Tetapi, dalam kasus lain, misalnya di Tunisia dan Mesir, militer mendukung tegaknya demokrasi. Selama beberapa waktu, militer di Tunisia dan Mesir mendukung rezim otokratik dan menikmati posisi istimewa. Tetapi, pada suatu titik, para pemimpin militer di kedua negara berbalik meninggalkan penguasa yang memberikan jabatan, dan berpihak pada rakyat (meskipun, di Mesir militer kembali berkuasa).

Dengan lain kata, dalam suatu sistem demokrasi dimana negara berperan sebagai pelindung masyarakat dari ancaman dan gangguan, maka posisi tentara di dalam sebuah negara sudah semestinya berfungsi agar ancaman dan gangguan itu menjadi minimal. Fungsi itu bisa dikatakan sebagai kewajiban pokok dari sebuah institusi militer.

Dengan demikian posisi tentara atau angkatan bersenjata merupakan sebuah institusi yang sah atau lazim  dalam sebuah organisasi yang bernama negara, yang mempunyai kewajiban berkaitan dengan perlindungan negara demi memproteksi masyarakat dari ancaman fisik.

Karena itu, Panglima Besar Jenderal Soedirman  (1916-1950), mengatakan tentara hanya mempunyai kewajiban satu, ialah mempertahankan kedaulatan negara dan menjaga keselamatannya. Sudah cukup kalau tentara teguh memegang kewajiban ini.

Semangat dan komitmen TNI membela kedaulatan dan ideologi negara serta kepentingan yang lebih mendasar didorong antara lain oleh pesan yang diwariskan Panglima Besar Jenderal Soedirman: “TNI adalah soko guru dari negaranya. Ia tegak dengan negaranya, dan ia hancur dengan negaranya pula. Suatu tentara yang memiliki kepercayaan diri sendiri yang kokoh, yang tidak tergoyahkan, yang sanggup untuk menjamin keamanan dan keselamatan negara dan bangsanya. … Perjuangan yang menuntut keadilan dan kesucian” (Jenderal TNI Joko Santoso 2006:102).

Empat

Sejak berakhirnya Perang Dingin, karakter ancaman dan risiko terhadap kedaulatan, persatuan dan kesatuan bangsa serta negara, telah berubah. Perubahan ini dibarengi dengan perubahan peran kekuatan militer dari sekadar “kekuatan penangkal” menjadi “kekuatan stabilitas” juga. Dalam hal ini, termasuk juga perubahan peran kekuatan tentara (TNI).

Dalam konteks menjaga stabilitas inilah kiranya, Pangdam Jaya memerintahkan prajuritnya untuk menurunkan baliho-baliho. Sebab, menurut Gubernur Lemhanas Letjen TNI (Purn) Agus Wijoyo (Kompas TV), apa yang dikatakan Rizieq Shihab terhadap negara, pemerintah, bahkan khususnya TNI, sudah keterlaluan.

Meskipun Agus Wijoyo mengatakan, tindakan tersebut seharusnya dilakukan oleh Satpol PP atau Kepolisian. Sebab, kedua institusi tersebut bertugas menegakkan hukum.

Yang dikatakan Agus Wijoyo, benar. Tetapi, sekarang yang dibutuhkan adalah adanya tindakan. Karena adanya, “….ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara” (UU No.34/2004, Pasal 7, ayat 1), dirasakan oleh masyarakat banyak.

Dan, tentara, sudah “menyeberangi Sungai Rubicon” dan “dadu pun sudah dilempar.”  Tentu, mereka cukup “menyeberangi Sungai Rubicon” saja, tidak perlu bergerak sampai ke “Roma” demi tetap terselamatkannya demokrasi. Karena intervensi militer, secara luas dilihat sebagai pengingkaran terhadap nilai-nilai dan institusi demokrasi.

Maka seterusnya adalah tugas Satpol PP dan Kepolisian. Apalagi, Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran pun mendukung sikap tegas Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman dalam menertibkan spanduk dan baliho.

***