Sumur Mendatangi Timba

Dengan segala kisah perjuangan di masa lalu, Prabowo adalah sumur kebijaksanaan yang dalam. Dibandingkan Prabowo, Cak Imin 'hanyalah' timba yang sedang beruntung.

Sabtu, 19 Oktober 2019 | 10:45 WIB
0
374
Sumur Mendatangi Timba
Prabowo dan Muhaimin Iskandar (Foto: Facebook/Setiyardi)

Saya ingin berbagi cerita. Pengalaman pribadi. Peristiwa ini saya alami menjelang Pilpres 2019. Suatu hari saya diterima seorang pensiunan Jenderal Angkatan Darat. Kami sudah beberapa kali berjumpa. Beliau senior Prabowo, dan memiliki hubungan baik dengan Capres itu. "Aku mau bantu Prabowo. Aku juga mau sumbang sedikit uang. Aturlah pertemuan," ujar Pak Jenderal tua itu.

Sepulang dari pertemuan, saya menghadap senior yang sangat saya hormati. Beliau tokoh yang disegani Pak Jenderal itu. Dia pun setuju dengan rencana pertemuan, dan meminta saya berkoordinasi dengan team 08 --- sebutan untuk Prabowo. Saya segera menelpon salah satu Wakil Ketua Umum DPP Gerindra. Kami mencocokan waktu.

Singkat kata, ditetapkan waktu pertemuan. Di Hambalang. Saya pun kembali lapor kepada tokoh senior sahabat karib Pak Jenderal. Tak diduga saya justru disemprot habis-habisan. "Bro, Prabowo memang capres. Tapi adabnya dia yang harus datang ke Pak Jenderal. Dia itu junior, dan banyak dibantu. Jangan sumur yang datangi timba. Ngerti kau?" Ujarnya. Wajahnya memerah. Saya tak berani membantah. Cuma diam.

Akhirnya pertemuan yang saya inisiasi batal.

Beberapa hari ini kita menyaksikan Prabowo melakukan safari politik. Setelah mendatangi Surya Paloh, bekas Danjen Kopassus itu mendatangi Cak Imin, Ketum PKB. Sebetulnya dalam politik sah-sah saja. Silaturahim itu secara umum baik. Tapi konteks ruang dan waktu saat ini membuat langkah Prabowo itu bermakna lain. Terlebih, setelah pertemuan, Cak Imin menyebut Prabowo [dan Gerindra] akan menjadi makmum 'masbuk' di belakang imam. Tentu imamnya adalah Jokowi.

Istilah masbuk biasa digunakan untuk makmum salat yang datang terlambat. Dalam syar'i batasannya ruku, karena tak sah rakaat seseorang jika tak membaca Al Fatiha. Tapi entah mengapa, penggunaan istilah masbuk oleh Cak Imin itu membuat saya sedih setengah mati. Saya merasa, ya, perasaan saya, ada nada 'penghinaan' di ungkapan itu. Sangat peyoratif. Entahlah, mungkin saya sedang sensi.

Ada hal lain. Saya merasa kapasitas Prabowo, mohon maaf, jauh lebih besar daripada Cak Imin. Bukan berarti saya merendahkan Cak Imin. Tapi itulah yang saya rasakan. Dengan segala kisah perjuangan di masa lalu, menurut saya Prabowo adalah sumur kebijaksanaan yang dalam. Dan, sekali lagi saya mohon maaf, dibandingkan Prabowo, Cak Imin 'hanyalah' timba yang sedang beruntung. Pun Surya Paloh. Dia juga adalah timba belaka. Alangkah baiknya jika sumur itu tak dibawa-bawa menyantroni timba.

Ini cuma opini. Boleh setuju, boleh juga berbeda pandangan.

Udah, gitu aja ...

***