PDIP dan Partai Partai Menghadapi Masalah Klasik "Penyuapan"

Itulah yang terjadi sekarang sehingga partai besar terjebak dalam masyarakat yang lebih suka menggampangkan segala cara untuk meraih sesuatu termasuk dalam hal kekuasaan.

Kamis, 23 Januari 2020 | 06:57 WIB
0
284
PDIP dan Partai Partai Menghadapi Masalah Klasik "Penyuapan"
Gedung PDIP (Foto: riaumandiri.co)

 Harun Masiku kader politik PDIP dalam status DPO. Harun Masiku diduga terlibat dalam penyuapan mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan. Statusnya kini masih menjadi perdebatan apakah masih di Singapura atau sudah berada di Indonesia. Di kutip dari Koran tempo Harun terbang ke Singapura pada 6 Januari 2020 menggunakan pesawat  Garuda dengan nomor penerbangan GA 832 pada sekitar 11.30 WIB.

Di Singapura hanya sekitar 1 jam kemudian balik ke Indonesia menggunakan Batik Air. Menggunakan penerbangan ID 7156 pukul 16.35 waktu setempat. Tiba di Jakarta sekitar 17.03. Harun adalah calon legislator dari daerah pemilihan Sumatra Selatan 1. Harun diduga menyuap Wahyu Setaiwan sekitar 900 juta agar gol melenggang ke Senayan lewat pergantian antar waktu. Ternyata posisinya sudah diisi oleh Riesky Aprilia. Riesky posisi suaranya di bawah Harun Masiku, namun yang beruntung melenggang bukan Harun melainkan Riesky Aprilia.

Ruwetnya masalah legislator dan budaya suap menyuap bukan hal yang baru bagi partai politik. Hal seperti itu sudah berlangsung lama dan melibatkan partai baik yang berada dalam pemerintahan maupun oposisi. Jabatan, kedudukan status sosial di negara berkembang seperti Indonesia tampaknya selalu menjadi batu sandungan untuk membersihkan pemerintahan dari kasus korupsi, nepotisme.

Suap menyuap sudah mendarah daging dan susah dihilangkan. Ditambah bampernya bernama agama lebih ruwet lagi karena menyangkut fanatisme sempit. PDIP tentunya ingin melindungi nama baiknya dan melepaskan masalah yang membuat partai menjadi bulan- bulanan netizen. Sebagai partai pendukung pemerintahan dilema partai membuat upaya membersihkan pemerintahan dari masalah korupsi menjadi mentah. Partai masih terbelenggu oleh lingkaran setan dan stigma negatif partai yang cenderung menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan.

Siapapun presidennya mempunyai beban berat untuk membersihkan diri dari orang- orang yang mempunyai ambisi kuat dalam kekuasaan terutama partai yang merasa berjasa mengantarkan Presiden sukses melenggang ke pucuk kekuasaan. Idealisme yang dibawa presiden harus menemui masalah berat yang berasal dari orang – orang partai. Itulah yang dihadapi para politisi. Tantangan berat menanti karena biaya meraih kekuasaan juga tidak sedikit.

Jokowi sebagai kader Partai Demokrasi Indonesia juga menghadapi tantangan dengan banyaknya kerabat bahkan anaknya sendiri yang ingin mencoba melangkah sebagai pejabat entah wali kota, wakil bupati, calon bupati.

Menjadi ujian bagi Jokowi sebagai presiden yang tidak ingin melanggengkan kekuasaan dengan politik dinasti. Banyak pro kontra ketika kerabat terdekat presiden mendaftar diri lewat partai untuk menjadi calon bupati, wali kota dan waki bupati. Dilema tentu muncul dan banyak yang mulai nyinyir dengan lingkaran kerabatnya yang berharap dapat tuah dari kedudukan Jokowi sebagai presiden.

PDIP sebagai partai besar saat ini akan selalu mendapat sorotan terutama dari masyarakat dan netizen. Salah sedikit, kadernya berulah, terjebak kasus korupsi akan menjadi bulan- bulanan komentar masyarakat.

Kasus penyuapan dari kader dalam PAW (Pergantian Antar Waktu) yang membuat geger Indonesia saat ini menguak beberapa kasus partai yang sebetulnya sudah menjadi rahasia umum. Penyuapan dalam merengkuh jawaban itu sudah menjadi budaya bagi para pemburu kekuasaan. Jer Basuki Mawa Bea. Tidak ada makan gratis untuk bisa memuluskan langkah menuju kekuasaan. Ada uang abang di sayang tidak ada uang abang di tendang. Begitulah kenyataan hidup.

Menjadi pemimpin dengan idealisme tinggi itu sah  sah saja, tapi kendala di lapangan akan membuat pemimpin seberapapun bagusnya harus menemui tembok- tembok penghalang bagi cita- citanya yang mulia. Boleh jadi teman dekatnya adalah orang yang setia dan loyal tetapi karena kader partai ia harus mengikuti aturan dan garis partai. Idealisme untuk total mengabdi terhalang dengan tuntutan partai untuk memberi sumbangan baik dana maupun deal deal proyek karena berada di lingkaran kekuasaan.

Hampir serupa dengan partai – partai lain. Ada biaya yang mesti dikeluarkan untuk membangun partai, membangun jaringan dan memperkuat kaki – kaki partai. PDIP tidak lepas dari masalah kadernya yang memanfaatkan situasi, ketika kekuasaan di tangan maka ada kesempatan untuk bermain proyek, membangun dinasti, membangun network agar tetap nyaman dalam lingkaran kekuasaan.

Hasto Kristiyanto sebagai sekjen partai akan berusaha menutupi celah KPK sehingga tidak sampai mengobok- obok partainya masuk dalam lingkaran setan suap menyuap. Media mengatakan bahwa PDIP nyata telah mengaburkan dan melemahkan KPK. Jika KPK lemah maka partai aman. Isu – isu di media itu kencang dan membuat masyarakat lelah mengikuti jejak kasus partai politik baik yang berada dalam lingkaran kekuasaan maupun yang berada di luar sebagai oposisi.

Dari masalah- masalah partai tampaknya masyarakat sudah kenyang dengan intrik – intrik partai. Malah sampai muncul kerajaan- kerajaan baru seperti Keraton Agung  Sejagat, Sunda Empire, Adipati Jipang. Fenomena ini dihubungkan dengan kejiwaan masyarakat akan tuntutan kehidupan yang semakin berat, sementara di lingkaran kekuasaan tidak ada keteladanan, malah saling bersaing kekuatan dan kekuasaan.

Jokowi menghadapi masalah berat. Hal yang paling berat adalah mengubah karakter masyarakat yang cenderung ingin sukses secara instan, ingin kaya dengan cara tidak wajar, mau meraih kekuasaan dengan pola aji mumpung. Akhirnya masyarakat terbawa dengan karakter buruk yang diwariskan kekuasaan. Kalau hanya Jokowi sendiri yang harus meniti buih, mengingatkan masyarakat untuk membangun SDM unggul sedangkan masyarakat apatis dan cenderung terbawa arus umum yang lebih suka menggampangkan cara dan menganggap enteng masalah maka percuma saja bekerja keras. Masyarakat lebih senang membuang sampah sembarangan hingga akhirnya muncul masalah banjir, bencana longsor dan kotornya lingkungan.

Bangsa lain seperti Jepang dan Korea sebetulnya sudah mencontohkan etos kerja, dan profesionalisme dalam hal kerja keras dan safety, tetapi kebiasaan menggampangkan masalah membuat masyarakat merasa budaya Jepang dan Korea itu lebay padahal seharusnya masyarakat segera berbenah dan mengikuti cara- cara yang baik dalam bekerja.

Masyarakat cenderung tidak peduli dengan tantangan, perubahan dan kecepatan kerja. Sebagian masyarakat masih berharap subsidi membantu mereka meringankan beban hidup, padahal sebetulnya masyarakat tidak boleh tergantung pada subsidi. Kerja keras akan membuat masyarakat bisa bangkit dan meraih cita – cita.

Masyarakat (termasuk saya) lebih suka dimanjakan dengan dana hibah,bantuan, uang kaget. Maka ketika ada tuntutan persaingan dan kerja keras untuk bisa bersaing dengan negara lain maka yang muncul adalah keluhan- keluhan berkepanjangan dan kemudian berakhir menyalahkan pemerintah.

Itulah yang terjadi sekarang sehingga partai besar terjebak dalam masyarakat yang lebih suka menggampangkan segala cara untuk meraih sesuatu termasuk dalam hal kekuasaan. Semoga Indonesia segera bangkit membangun SDM unggul sehingga mampu berlari mengejar ketinggalan dan sejajar dengan negara maju. Jangan terlalu sering terjebak dalam intrik politik dan masalah agama yang tidak ada habis- habisnya. Semoga.

Salam damai selalu.

***