Kecerobohan tim hukum Prabowo-Sandi adalah melebih-lebihkan yang tidak ada semata untuk memperkuat gugatan di MK, tanpa mempertimbangkan orisinilitas hak intlektual orang lain.
Bijaksananya dalam mengutip pendapat orang lain itu tanpa harus mengurangi juga melebihkan pendapat yang sebenarnya, karena biar bagaimanpun itu merupakan hak kekayaan intlektual orang lain, yang patut dihargai.
Apa lagi kalau pendapat tersebut menyangkut hal-hal yang berbau politik, tidak boleh dipolitisir untuk kepentingan politik pihak yang sedang mengalami sengketa politik. Inilah kecerobohan yang dilakukan oleh Tim Hukum Prabowo-Sandi.
Seperti yang dilansir CNBC Indonesia, Pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno banyak mengutip pendapat dan penelitian para pakar asing dalam gugatannya di Mahkamah Konstitusi.
Salah satu pendapat ahli yang mereka kutip adalah dari Tom Power, kandidat Doktor dari Australian National University.
Fatalnya apa yang dilakukan Tim Prabowo-Sandi adalah memelintir pendapat Tom Power tersebut, yang substansinya sangat berbeda dengan artikel riset dan analisisnya, inilah yang membuat Tom harus protes.
Memang Tom sedang melakukan riset tentang Pemerintahan Jokowi, yang mana hasil analisis dan pendapatnya tersebut dituangkan dalam sebuah artikel yang akan dipublikasikan di artikel jurnal BIES 2018.
Dalam salah satu gugatan Tim Prabowo-Sandi yang diwakili kuasa hukumnya, mengutip pendapat Tom terkait politik di Indonesia. Dalam gugatannya, Prabowo menulis bahwa Tom menyoroti hukum di Indonesia digunakan oleh pemerintahan Joko Widodo untuk menyerang dan melemahkan lawan politik serta munculnya kembali dwifungsi militer.
"Hal-hal tersebut bagi Tom Power adalah beberapa karakteristik otoritarian orde baru yang diadopsi oleh pemerintahan Joko Widodo," tulis kuasa hukum pasangan 02, yang mengutip pendapat Tom.
Cerobohnya lagi, kutipan tersebut ditambah dengan asumsi pribadi, sehingga apa yang dikutip sangat jauh pengertiannya dengan apa yang dituangkan Tom dalam hasil penelitiannya.
Tom sama sekali tidak mengatakan kalau karakter otoritarian Orde baru itu berimplikasi pada kecurangan, tapi Tim Prabowo-Sandi menyebutkannya demikian.
Dari riset Tom tersebut, kuasa hukum 02 lalu secara tidak langsung menyimpulkan bahwa pengaruh karakteristik orde baru tersebut sangat memungkinkan pasangan 01 melakukan kecurangan untuk memenangkan pemilu presiden 2019. Seperti yang disampaikan dalam materi gugatannya, untuk menyerang kubu 01,
"Menjelaskan bagaimana modus kecurangan pemilu di era otoritarian tersebut juga dilakukan oleh Paslon 01 yang juga presiden petahana Jokowi yaitu pengerahan strategi ABG di era orde baru adalah poros Abri-Birokrasi-Golkar."
Apa yang disampaikan Tim Prabowo-Sandi dianggap Tom sebagai sesuatu yang tidak lengkap, bahkan sangat berlebih-lebihan, sehingga Tom perlu menyanggah dan memprotes apa yang disampaikan Tim Prabowo-Sandi.
Hasil penelitian yang dipaparkan Tom Power dalam artikel Jurnal tersebut dituliskannya 6 bulan yang lalu, jauh sebelum Pemilu 2019 dilaksanakan, dan sama sekali tidak menyebut dan menunjukkan indikasi kecurangan pemilu yang berlangsung April lalu.
Jadi bagaimana mungkin Tom bisa menuliskan sesuatu yang belum terlaksana.
Di sinilah kecerobohan dan ketidaktelitian Tim Prabowo-Sandi, melebih-lebihkan sesuatu yang tidak ada, hanya semata untuk memperkuat gugatannya di MK, tanpa mempertimbangkan orisinilitas hak intlektual orang lain.
Tom juga menyebutkan, dalam penelitiannya memang mengindikasikan bahwa pemerintahan Jokowi menunjukkan sikap anti demokrasi tetapi ia sama sekali tidak menyebut bahwa pemerintahan Jokowi adalah rezim otoriter.
Terakhir, Tom juga menegaskan, "Saya sama sekali tidak mengatakan bahwa kualitas demokrasi di Indonesia akan lebih baik kalau Prabowo jadi presiden."
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews