Viralkan ketidakefisienan kepala daerah masing-masing. Ada puluhan Gubernur dan ratusan Walikota/Bupati, masa yang hobi melakukan pemborosan anggaran hanya mandor DKI saja?
Gaeess.. Cuma saran nih.. Coz aku koq lama-lama agak prihatin dengan arah krkritikan netijen pada seni instalasi bambu (sekarang batu) itu...
Meski kamu bukan pendukung ABas dan pengkritik tetap semua kebijakannya, tapi kritiklah dia dengan ukuran, sesuai porsinya... Jangan kebablasan!
Mengukur efektivitas kebijakan ABas terkait seni instalasi bambu Getah Getih karya Jokoavi yang anggarannya senilai 550 juta, bukan dengan cara membaginya dengan jumlah batang bambu yang digunakan menjadi senilai 300 ribu sekian juga kaliiik...
Lalu kamu tidak mengukur nilai seninya ? Tidak menghargai kreativitas profesi senimannya? Profesi seniman diharga seperti kuli bangunan yang pasang gapura bambu 17 agustusan di ujung gang?
Setidak pahamnya klean tentang seni yang sifatnya abstrak dan subyektif, nggak sampai gitu juga kali.
Saya juga sama nggak ngerti sih, misalnya melihat lukisan seorang maestro yang isinya cuma segoresan garis di atas kanvas, tapi nilainya bisa ratusan milyar sampai trilyunan. Duh. Gak nyampe akal, mata, dan rasa saya menilai setinggi itu.
Tapi kalau ada orang bilang, nilainya memang worthy segitu..ya OK. Berarti memang nilainya segitu bagi para penggiat dan penikmat seni. Saya tidak akan menilainya dengan ukuran-ukuran lain di luar seni.AApalagi menggunakan ukuran saya sendiri yang buta seni.
Jadi gak patutlah, niat mengkritisi ABas disinggungkan dengan karya seninya seorang seniman lalu direndah-rendahkan.
Kalau dipostingan sebelumnya saya menyebut karya Jokoavi itu dengan nama "Bambu Senggama"... sebetulnya bukan untuk menilai karya seni itu sendiri, tapi sekedar menyindir "Kaum Beriman" yang sering menggunakan 'double standard' dalam menghakimi orang lain. Sekarep dewe, dengan ukuran mereka sendiri, mostly sekedar by like & dislike.
Kalau klean berkontra dengan 'Kaum Beriman' ini ya jangan ditiru dong pola-pola perilakunya yang sama. Kalau sama saja ya derajat klean pun tidak ada bedanya.
Kalau cara saya mengkritisi kebijakan ABas itu, dengan cara mengukur "efektifitas" dan "efisiensi" penggunaan anggaran yang ia gunakan (tapi bukan dengan cara menghitung harga sebatang bambunya juga, Marimar...).
Nilai sebuah karya seni adalah hal yang priceless. Saya tidak menilai harga karya seni seorang Jokoavi. Justru dalam dunia seni, semakin mahal nilai rupiah sebuah karya, artinya semakin diapresiasi kualitas karya seniman tsb oleh para penikmatnya.
Yang jadi persoalan adalah bagaimana pertimbangan ABas mengambil sebuah kebijakan sehingga setiap rupiah anggaran yang dikeluarkan mendapatkan outcome semaksimal mungkin, baik dalam bentuk materiil maupun immateriil.
Misalnya, dalam opini saya, dengan memegang prinsip efektivitas & efisiensi anggaran, regulator menetapkan tujuan. Ingin memanfaatkan lahan kosong di jantung kota untuk ruang apresiasi seni dan budaya lokal yang ikonik. Baiquelah. Jadi karya seni yang ditampilkan akan selalu berganti-ganti secara periodik. OK-lah.
Maka langkah pertama dibuatlah konsep dan skema pembiayaannya.
Menurut opini saya lagi, jika memang konsepnya untuk diganti-ganti secara periodik, maka tidak perlu mengambil seniman yang sudah berkelas internasional dan berharga mahal. Negara ini tidak kekurangan seniman lokal yang sangat berbakat, namun butuh ruang untuk menunjukkan kreasinya.
Semestinya seniman-seniman lokal seperti inilah yang perlu diberikan panggung untuk eksis, mereka yang belum dikenal oleh publik namun memiliki bakat yang luar biasa. Di sanalah fungsi negara seharusnya hadir.
Namun jika konsepnya memang ingin menciptakan ikon untuk kota, sehingga setidaknya menampilkan karya-karya anak bangsa terbaik, OK!
Kita tinggal memikirkan skema pembiayaannya sehingga tujuan tersebut tidak membebani anggaran, apalagi akan dilakukan secara periodik.
Banyak cara, salah satunya dengan menggandeng swasta. Swasta diajak membiayai dengan diberi kesempatan memasang logonya. Jika dihitung sebagai biaya advertising nilainya sudah berapa, memasang logo di jantung kota selama berbulan hingga bertahun? Swasta pasti rebutan mengambil proyek ini.
Jadi jika bisa dibiayai oleh swasta, mengapa harus mengambil dari anggaran pemerintah?
Menurut opini saya (lagi), fungsi negara adalah sebagai fasilitator atau regulator, bukan sebagai konsumen.
Contohnya, negara ingin memberikan apresiasi kepada pelukis Affandi. Caranya bukan dengan membeli lukisan Affandi seharga 500 Milyar dengan menggunakan anggaran negara lalu disimpan di Istana. Tapi bisa dengan menyediakan lahan, lalu mendirikan museum atau galeri, dengan maksimum security dan perawatan, sehingga karya-karya maesto Affandi kebanggaan Indonesia bisa dinikmati oleh publik, rakyat jelantah yang tidak mampu membeli namun hanya bisa memandang dari kejauhan..
Misalnya lagi, negara membangun gedung-gedung cinema rakyat, berbagai film karya sineas lokal bisa diputar di sana, dan negara menyediakan tiket murah (disubsidi) untuk masyarakat menikmati produk para sineas lokal tsb.
Dengan demikian para seniman punya tempat cari makan, ruang berkreasi dan masyarakat mendapatkan wahana seni serta hiburan.
Sekali lagi, fungsi negara bukan sebagai konsumen. Bukan sebagai pembeli karya-karya para seniman tsb. Untuk hal tersebut, berikan ruang kepada swasta untuk bisa mencari duit juga di sana. Dengan demikian tercipta pertumbuhan ekonomi.
Bagi saya (lagi), regulator yang berlaku sebagai konsumen, nggak keren, nggak kreatif, dan tidak menjalankan seruan Ibu Kasir kita Sri Mulyani untuk menjaga efektivitas & efisiensi penggunaan anggaran. Ini berlaku kepada regulator siapapun, bukan hanya ditujukan kepada ABas saja.
Supaya klean tidak dipanggil Cebong, hambok viralkan ketidakefisienan dan efektifan kepala daerah masing-masing. Ada puluhan Gubernur dan ratusan Walikota/Bupati, masa yang hobi melakukan pemborosan anggaran hanya mandor DKI saja?
Ah masaaa...
***
.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews