TNI di Hari Ini, Tetap Sensitif pada PKI dan Abai pada HTI

Sampai kini TNI masih amat sensitif pada PKI yang telah mati puluhan tahun lalu sebagai musuh yang harus dibasmi tuntas. Tapi, mereka malah sangat toleran terhadap HTI.

Selasa, 20 Agustus 2019 | 21:03 WIB
0
490
TNI di Hari Ini, Tetap Sensitif pada PKI dan Abai pada HTI
Hadi Tjahjanto dan Enzo Allie (Foto: Tempo.co)

TNI konon sudah banyak berubah, telah banyak melakukan reformasi. Secara organisasi, saya percaya. Memang sudah seharusnya begitu, tanpa perbaikan diri mana mungkin mereka bertahan sebagai institusi yang solid. Mereka telah kembali ke barak. Tak lagi tinggal sebagai avonturir di banyak instansi, baik itu yang bersifat bisnis maupun pemerintahan.

Istilah dwifungsi ABRI sudah lama menghilang, bukan saja karena ABRI-nya sudah tak ada. Tapi sesuai tuntutan zaman, dwifungsi menjadi tidak terlalu relevan. Banyak pekerjaan yang dahulu menjadi kewajibannya, sekarang sudah banyak diambil alih oleh kepolisian.

Kasus terakhir, ketika seorang polisi diculik dan akhirnya dibunuh oleh sekelompok pengacau liar di Papua membuat tangan TNI AD gatal. Mereka menawarkan bantuan, bahkan menyarankan untuk melakukan operasi besar. Menunjukkan bahwa TNI punya banyak keterbatasan kekuasaan.

Saya tidak tahu, apakah para pemberontak itu masih bersifat sekedar "anak nakal" atau sudah terkategorisasi "pengancam kedaulatan negara". Mungkin karena itu, di tengah-tengahnya ada istilah teroris yang sudah jelas pasti anak nakal, tapi belumlah sampai sebagai membahayakan kedaulatan. Jadi masih jadi tanggung jawab polisi saja. Agak lucu dan wagu, tapi begitulah pembagian tugas. Atau lebih tepatnya pembagian proyek pengamanan negara dilakukan....

Realitas lain bahwa TNI makin hijau juga gak bisa banyak dibantah. Sejak masa reformasi tak pernah lagi ada jendral bintang empat yang berasal dari kalangan nonmuslim. Itu tak terbatas di lingkungan TNI AD, tetapi juga AU maupun AL. Sebuah kemunduran yang sangat, karena di masa lalu banyak sekali "orang besar" bahkan "pahlawan nasional" berasal dari kalangan nonmuslim. Sebut saja LB Moerdani, yang nasionalisme-nya sangat tidak diragukan.

Seorang prajurit komplit yang tidak saja teruji kemampuan militernya di lapangan, tetapi juga kemampuan intelejen, organisasi, dan jaringan internasionalnya. Mungkin sudah tidak akan lagi muncul sosok seperti dirinya, yang ambisinya melulu tulus untuk keutuhan bangsa. Sialnya, di hari ini dia justru selalu dianggap sebagai musuh Islam nomor satu. Hanya karena peristiwa Tanjung Priok yang legendaris itu.

Saya masih ingat, pernyataan Soeharto sebelum maut menjemput. Bukanlah kejatuhan yang ia sesalkan, bukanlah berbagai pengkhiantan yang telah dialaminya. Tetapi ia menyesal ketika merasa tidak mempercayai dan telah menyingkirkan Moerdani. Justru ketika ia mengingatkan akan berbagai bahaya yang ada di lingkungan sekitarnya.

Ia menyesal justru karena menganggap Moerdani akan merampok kekuasaanya. Padahal Moerdani adalah "anjing penjaga"-nya yang paling setia dan paling dapat diandalkan.

Dan hari ini, saya tidak tahu apakah di lingkungan TNI masih ada faksi Naga Hijau atau Naga Merah? Mungkin sisa-sisa kader Naga Merah sudah dihabisi atau dihambat karirinya sejak masih perwira pertama atau perwira menengah. Walaupun tampak adem ayem, persaingan karir di lingkunagn TN sangat keras dan ketat.

Jangan lupa, bahkan anak seorang SBY sekalipun mengalami hambatan karir kepangkatan yang sangat kuat. AHY berhenti di level mayor, padahal konon ia lulusan terbaik di angkatannya. Ia boleh saja memiliki gelar kesarjanaan hingga master, dan pengalaman ini itu. Tapi dalam karier kemiliteran tetaplah mampet. Jadi tak usah terlalu lebay menyalahkan bila ia juga tak tahan, lalu buru-buru keluar!

Beberapa waktu yang lalu, Jokowi bahkan nyaris bikin blunder dengan memperbolehkannya TNI kembali masuk ke lingkaran sipil. Hanya karena penuh sesaknya jabatan, over supply jendral dan perwira menengah. Saya tidak tahu apakah "dwifungsi" itu telah kembali secara diam-diam. Atau itu hanya "lip service" yang masih nunggu kajian lebih lanjut.

Karena itu tak mengherankan konon 80% keluarga di lingkungan TNI memilih Pasangan 02. Sebagai orang yang juga berasal dari lingkungan TNI, saya melihat walaupun tingkat kesejahteraan mereka sudah jauh lebih baik dibanding masa Orde Baru dulu, apalagi mungkin zaman Orde Lama. Mereka tak beda dengan "buruh" yang lain, selalu menuntut lebih dan lebih. Tak pernah ada kata cukup memang untuk keserakahan....

Lalu kita harus merasa aneh bila Kastaf TNI AD tiba-tiba membela Enzo Allie, seorang taruna blasteran Indo-Perancis, yang nyata-nyata orang tuanya terpapar HTI yang terlarang, dan bukankah itu artinya ia tidak bersih lingkungan. Apalagi sosial media kemudian mampu membuktikan bahwa si anak-pun berkali-kali menunjukkan keberpihakannyanya pada gaya hidup ibunya.

Dan walaupun publik sudah bersuara keras, tetapi nyatanya TNI AD membelainya. Dengan alasan ia memiliki indeks 5,9 dari kemungkinan 7. Tanpa menunjukkan sensitifitas publik kepadanya. Padahal itulah cara rakyat menunjukkan kepeduliannya pada TNI yang konon lahir dari rahim rakyat itu. Eh, dia tiba-tiba berlagak seperti Direktur PLN yang ketika memberi penjelasan tiba-tiba berbicara teknis dan njlimet gak mudah dipahami.

Apakah ini memang cara termuthakir untuk ngeles. Berbicara data, tapi hanya untuk membenarkan diri sendiri, bukan membuat paham orang lain? Kondisi kedua lembaga mungkin sama, konon sudah lebih dari 10% terpapar kalangan radikalisme "nyang ntu"...

Kondisi terhari ini menunjukkan TNI masih lah tetap institusi yang sama. Ia tak pernah salah, susah diingatkan. Nggugu karepe dewe!

Satu-satunya yang masih tetap, ia masihlah amat sensitif pada PKI yang yang telah mati puluhan tahun lalu. Masih menjadikan komunisme yang telah usang dan ketinggalan zaman sebagai musuh yang harus dibasmi tuntas. Tapi mereka malah sangat toleran terhadap HTI, yang nyata-nyata merupakan akar radikalisme baru yang jauh lebih berbahaya. Saking berbahaya dan bikin gelisah, ia nyata-nyata ditolak di banyak negara. Bahkan di negara paling muslim sekalipun. Dan ia mengabaikannya. Atas nama apa?

Mungkin itu karena radar TNI terlalu canggih: semut di seberang lautan bisa tampak, kuman di masa lalu masih sangat dianggap berbahaya dan menganggu. Tapi gajah di depan mata tak mau dilihat, bahkan monyet ebola di depan hidung tak tampak ada. Duh... TNI AD, begnilah caramu menghormati rakyat setiamu, pembela sejatimu....

***