Mudahnya Kata–kata Kasar Meluncur dari Bibir Calon Pemimpin

Tetapi bagaimanapun kejahatan pada akhirnya akan lenyap dengan cara yang lain. Suatu saat nanti.

Rabu, 10 April 2019 | 21:28 WIB
0
403
Mudahnya  Kata–kata Kasar Meluncur dari Bibir Calon Pemimpin
Ilustrasi (Foto: Inovasee)

Sering terucap kata-kata kasar lahir dari calon pemimpin bangsa, dengan ringannya mengucap kata “bajingan" dalam perhelatan kampanye.

Saya sih tidak menilai pantas tidaknya, hanya menyayangkan kenapa calon pemimpin tidak mampu mengontrol emosinya.

Saya  merasa betapa beratnya bangsa ini tahun-tahun belakangan ini menanggung beban  keterbelahan. Salah satu penyebabnya adalah media sosial/media online/internet. Yang membuat masyarakat terbebani dengan aneka ujaran kebencian dan hoaks yang beredar masif membuat yang benar menjadi salah dan yang salah akhirnya mendapat pembenaran.

Sebegitu cepat berita datang tanpa melalui keputusan pantas tidaknya  masuk dalam ranah publik hingga kata- kata kasar dengan cepat masuk ke memori manusia yang sudah tertawan oleh media digital.

Apapun beritanya baik dari audio, visual, komentar- komentar sarkas, menerjang ruang sosial kita, masuk dalam otak menyusup ke alam bawah sadar dan tersanderalah  manusia oleh umpatan- umpatan yang membandang.

Pemimpin sekarang lebih banyak berteriak, berorasi, berbicara berapi – api tetapi lupa dan sering meninggalkan doa dan kontemplasi.

Berdoapun tujuannya politis, supaya dilihat betapa religiusnya dia. Hampir mirip perilaku Orang  Yahudi yaitu kaum farisi yang sering berdoa di tikungan jalan di tempat umum untuk menunjukkan betapa religiusnya dia. Kemunafikan telah menjalar dan hampir membungkam kemurnian hati nurani.

Padahal doa yang tulus dan baik  itu ketika manusia merunduk dalam sunyi. Atau saat bekerja tulus demi kesejahteraan keluarga  dan sesama. Doa itu dialog jiwa dengan  Sang Maha Pencipta.

Jika manusia tersandera hasrat diri untuk dipuja dan mendapat puji atas keahliannya menghapal ayat dan fasih membaca dihadapan khalayak maka doa menjadi hanya semacam kamuflase,  semacam pelarian dari hasrat untuk menguasai yang  jauh lebih besar.

Menurut penulis doa itu penyerahan diri secara total kepada Tuhan. Tanpa bahasa, tanpa ucapan Tuhan sudah  mengerti suara bathin manusia, sebelum terucap Tuhan  sudah tahu apa yang akan didoakan manusia.

Sungguh lucu jika doa mesti dilakukan massal dengan gemuruh meminta untuk menang dalam kontestasi politik.

Apakah doa bisa dipolitisasi? Itulah yang terjadi sekarang Tuhanpun sudah diklaim, Tuhan sudah diminta untuk mendukung  salah satu kontestan. Ketika politik sudah mendikte agama amat susah mengembalikan mansuia pada kodratnya sebagai manusia lemah tak berdaya di hadapan Tuhan.

Manusia telah menjadi makhluk sombong yang merasa bisa memaksa Tuhan untuk berpaling pada mereka semata.

Dan ternyata diriku masih seperti mereka yang sering tidak sadar ketika memaki – maki. Aku memaki dan sampai sekarang tidak pernah percaya seratus persen pada politisi. Dalam diskusi masih terlihat keberpihakanku. Karena masih manusia dan aku merasa aku bisa merasakan getar jiwa pemimpin idolaku.

Saat ini aku tetap masih mengaguminya meskipun banyak orang mulai tidak percaya. Atau tergoda karena masifnya berita- berita hoaks hingga nalar dan akal tergerus oleh sentimen agama dan kecemasan akut oleh fitnah- fitnah yang tidak pernah berhenti di media sosial.

Untuk menjadi orang baik dengan kejujuran dan kesederhanaan hidup amat susah berkembang. Banyak tokoh baik akhirnya tenggelam tergerus oleh fitnah keji kehidupan. Baru merasakan optimisme menyaksikan Jakarta yang siap menggerus keperkasaan Singapura, muncul tragedi politik yang membuyarkan mimpi.

Dan ketika mulai optimis menatap ke depan sebagai bangsa yang mampu bersaing di tingkat dunia, bergelombang intrik politik yang menggerus nalar dan menjungkirbalikkan mimpi hingga muncul ketakutan akan muncul jika ada kekalahan yang tidak bisa diterima.

Agama tidak lagi netral sebagai penyeimbang dari kegarangan politik dan keculasannya. Para koruptorpun seperti tidak pernah jera merampok dan menghabiskan anggaran negara.

Manusia masih hobi mengarahkan  telunjuk mengarah ke orang lain atas kesalahan- kesalahan yang tidak pernah diakuinya tetapi  jari lainnya mengarah ke diri sendiri. Secara tidak langsung jika manusia mau introspeksi diri manusia politik sedang memaki diri sendiri yang perilakunya sebetulnya tidak lebih baik dari orang lain.

Semakin sunyi jiwanya orang- orang politik karena hidupnya penuh untung rugi. Atas nama uang dan kekuasaan mereka membelah masyarakat, meremukkan etika, moral dan keadaban yang dibangun susah payah oleh nenek moyang. Katanya bangga  sebagai orang Timur yang masih lebih punya adab, moral, nyatanya  sama saja. Barat dan Timur kini sama tersandera krisis moral.

Semua saling menuding, saling mengaku yang terbenar hanyalah kelompoknya yang lain lewat. Siapakah elite yang dikatakan bajingan. Dengan lirih setanpun mengakui ya diri manusia dan teman- temannya yang berbicara itu yang bajingan.

Sayapun akan berkoar-koar jika diberi kesempatan rakyat untuk menjadi calon pemimpin bangsa tentu akan berkata kecap nomor satu adalah milik saya yang lain lewat. Pilihlah saya manusia terhebat yang dimiliki negeri ini. Persetan siapapun akan saya lawan untuk bisa berkuasa dan menang.

Indonesia menang tapi terbelah, Indonesia maju tapi tercederai oleh nafsu serakah, semua mengaku berakal sehat, tidak mau dikatakan gila hormat, gila kekuasaan. Bahkan pemimpin agama terperosok dalam kubangan kekuasaan. Kata- kata kasarpun amat mudah terucap.Siapakah yang patut dicontoh?

Hanya semilir angin lembut, serta dedaunan yang bisa menjawab. Tuhan yang ada di hati masing-masing yang mampu  meredam kemarahan dan mampu mengendapkan  seluruh nafsu tunduk padaketidakberdayaan manusia atas segala kuasa Tuhan Yang Maha Semuanya.

Bisa jadi isyarat alam sedang meninabobokkan iblis dan setan hingga merasa di atas angin. Tetapi bagaimanapun kejahatan pada akhirnya akan lenyap dengan cara yang lain. Suatu saat nanti.

Entah kapan.

***