Disinformasi dan Pembodohan Pemilu

Seperti kata Paul Krugman, "Politik menentukan siapa yang akan memiliki kekuasaan, bukan memiliki kebenaran.”

Selasa, 16 April 2019 | 10:03 WIB
0
347
Disinformasi dan Pembodohan Pemilu
Kotak suara KPU (Foto: Warta Ekonomi)

Apakah anggota Parlemen atau wakil rakyat selalu orang pilihan, pintar, dan baik? Faktanya, belum tentu. Bahkan bisa sebaliknya. Bukan pilihan, juga bodoh, bahkan jahat.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon, meminta penghitungan suara dalam Pemilu, memakai hitungan manual saja. “Kita tidak butuh itu server-server kaya begitu," katanya dalam peluncuran kumpulan puisinya di Jakarta Timur (8/4). “Kita pakai hitungan manual saja. Buang itu server,...”

Bayangkan, wakil rakyat yang juga sedang berjuang jadi penyair itu, tak ngerti UU Pemilu? Atau pura-pura dalam perahu? Sedang melakukan disinformasi, agar muncul kekacauan? Karena UU Pemilu, termasuk soal aturan penghitungan suara, dibuat oleh Parlemen. KPU hanya pelaksana UU Pemilu.

Pemilu di Indonesia boleh dibilang sangat demokratis. Setiap tahapannya (dari persiapan, pelaksanaan, hingga rekapitulasi penghitungan), harus melalui proses bersama. Melibatkan partai politik peserta Pemilu, bahkan pengawas dan pengamat dari luar KPU-Bawaslu, dan dari luar negeri. Hanya, soal sistem pendataan pemilik suara, logistik dan distribusi kertas suara, itu mestinya yang disoroti.

Tapi soal penghitungan suara, dua hari (6/4) sebelum Zon bekoar, Ketua KPU sudah memastikan; Penghitungan suara yang sah pada pemilu serentak, baik legislatif dan presiden, dilakukan secara manual dan bukan digital (iNews, 7/4). Hal itu sesuai UU No. 7 Tahun 2017 dan revisinya, untuk membedakan Pemilu 2019 dengan sebelumnya.

Tahap penghitungan suara, di masing-masing TPS, melibatkan semua pihak secara terbuka. Pengesahan penghitungan suara, melewati tahap persetujuan atau kesepakatan bersama (semua orang berhak mendapatkan informasinya). Satu tahapan, baru bisa ke tahap (atau proses) berikutnya, jika dinyatakan sah oleh semua stake-holder itu, dan disepakati secara tertulis. Kecurangan mestinya bisa ditekan ke titik nol.

Lantas kenapa Zon, sebagai Wakil Ketua Partai, bahkan Wakil Ketua DPR-RI, bisa ngomong seperti itu?

Seolah tidak tahu bunyi UU Pemilu, dengan segala sistem dan mekanisme yang telah disahkan secara konstitusional melalui lembaga yang dipimpinnya? Dia sedang membodohi diri sendiri atau memang bodoh?

Orang tidak tahu tapi menyebarkan yang tak diketahuinya, itu tragis. Tapi orang yang (karena itu tupoksinya) tahu, namun tidak menyampaikan informasi yang diketahuinya, bahkan mengaburkan dan mengacaukannya? Itu jahat atau setidaknya memiliki tendensi buruk. Bagaimana wakil rakyat bisa melakukan itu? Dia pinter atau bodoh? Dia baik atau jahat? Kalau dia bodoh, bahkan jahat, kok bisa kepilih?

Bisa jadi karena yang milih lebih bodoh. Atau mungkin pinter tapi milih golput. Cuek, membiarkan semua berlangsung, dan mengikhlaskan diri ditipu mentah-mentah. Hingga akhirnya, seperti kata Paul Krugman, "Politik menentukan siapa yang akan memiliki kekuasaan, bukan memiliki kebenaran.”

***