Jika Keledai Tak Jatuh Dua Kali di Lubang yang Sama, Capres Boleh Berapa Kali?

Senin, 7 Januari 2019 | 17:06 WIB
0
461
Jika Keledai Tak Jatuh Dua Kali di Lubang yang Sama, Capres Boleh Berapa Kali?
Ilustrasi [kompasiana.com/tilariapadika]

Saya tak tahu bagaimana ceritanya, sampai-sampai peribahasa yang di Barat berbunyi "not even a donkey falls in the same hole twice" di Indonesia menjadi "hanya keledai yang jatuh dua kali di lubang yang sama." Padahal konon keduanya sama-sama diserap dari ujar-ujaran bijak Persia.

Ada yang bilang itu gara-gara orang Indonesia gampang memaafkan. Ada pula yang berteori, saking besarnya tepa salira orang Indonesia, hal-hal jahat pun ditolerir. Entahlah.

Jika dipikir-pikir bisa jadi memang demikian. Di belahan dunia lain orang pelit dalam mentolerir kesalahan berulang sebab mereka sungguh belajar dari pengalaman. Karena itu bahkan keledai pun tak mengulangi kesalahan.

Di Indonesia, bolehlah keledai melakukan dua kali kesalahan serupa. Mungkin agar cocok orang yang merepetisi kesalahan serupa menerima umpatan: keledai! Sebab jika keledai yang sial ditempeli stereotip bego itu hanya boleh salah sekali, dengan hewan apa lagi kita samakan orang-orang yang tidak menimba ilmu dari kekeliruan?

Bicara tentang memaafkan kesalahan berulang, hingga kini saya masih penasaran, berapa banyak slot izin kesalahan berulang  yang dimiliki para politisi di Indonesia?

Sudah lazim kita membaca gerutuan dalam artikel-artikel tentang politisi korup yang terpilih kembali di setiap pemilu. Ketika mereka terjerat korupsi, ramai orang menghujat dan mencemooh. Setelah bebas, mereka berkontestasi dalam pemilu dan menang lagi. Orang-orang yang mencaci mereka itu jua pemilihnya.

Sifat pemaaf rakyat Indonesia ini sudah tentu menguntungkan capres-cawapres dalam pilpres 2019. Kesalahan fatal yang mereka lakukan tidak segera berdampak terjun bebasnya elektabilitas mereka.

Kita lihat misalnya pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Dalam banyak kesempatan keduanya menyampaikan pernyataan berisi informasi yang kemudian terbantahkan kebenarannya.

Ketika Prabowo berkonferensi pers, mohon maaf sudah grasa-grusumenyebarluaskan kabar bohong Ratna Sarumpaet, banyak orang menyangka pilpres sudah usai. Peluang memenangkan pilpres sudah terbang pergi meninggalkan Prabowo-Sandiaga.

Asumsi ini hanya benar jika hasil survei menunjukkan penurunan tajam elektabilitas Prabowo-Sandiaga. Nyatanya, grafik elektabilitas Prabowo-Sandiaga bergerak landai, adem-adem saja.

Padahal penyebaran kabar bohong Ratna Sarumpaet adalah blunder fatal. Selain berdampak besar pada keresahan publik, Prabowo jadinya memiliki imej penghalal cara (menyebarkan kabar bohong) demi mendegadrasi pesaingnya, petahana Joko Widodo.

Pascaskandal Ratna Sarumpaet, Prabowo berulang kali mengeluarkan pernyataan kontroversial. Sebagaian karena diksi yang digunakan menggores hati kelompok masyarakat tertentu. Sebagian masih sama, informasi yang ia sampaikan tak didukung evidensi valid. Misalnya ketika Prabowo katakan ia mengutip data Bank Dunia bahwa 99 persen penduduk Indonesia hidup sangat susah. Faktanya Bank Dunia tidak pernah menerbitkan informasi demikian.

Namun tetap saja kesalahan-kesalahan di atas belum berujung elektabilitas Prabowo terjun bebas. Sejumlah survei sesudah kehebohan dan pertikaian pendapat oleh pernyataan-pernyataan itu masih saja menunjukkan keterpilihan Prabowo-Sandaga cuma bergerak landai, bahkan cenderung merayap naik meski tak berarti.

Kini, akhir Desember 2018, Prabowo sekali lagi keluarkan pernyataan yang seharusnya bikin banyak orangsangat cemas. Ia katakan alat cuci ginjal di Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo, rumah sakit terbesar milik pemerintah, digunakan lebih dari 40 pasien. Prabowo katakan ia mendengar informasi itu dari orang.

Pernyataan Prabowo ini adalah tuduhan serius. Rakyat pemanfaat layanan RSCM, terutama layanan cuci ginjal bisa saja menggugat RSCM ke pengadilan. Publik bisa kehilangan kepercayaan terhadap pelayanan rumah sakit. Bukannya sembuh, pasien yang berobat justru terjangkit penyakit baru karena alat-alat yang seharusnya hanya sekali pakai per pasien malah digunakan beramai-ramai.

Pihak RSCM sudah memberikan klarifikasi bahwa pernyataan Prabowo tidak benar. Lantas dengan santai kubu Partai Gerindra menanggapi klarifikasi RSCM dengan gaya serupa yang sudah-sudah, yaitu bahwa Prabowo hanya meneruskan pengaduan masyarakat; Prabowo bisa jadi khilaf; dan maksud Prabowo sebenarnya mengkritik problem BPJS.

Jubir Gerindra bahkan--sekali lagi seperti yang sudah-sudah--menawarkan permintaan maaf Prabowo sebagai jalan damai atas kekisruhan yang sudah terlanjur melanda benak banyak orang.

Padahal masalah ini sepatutnya tidak selesai sedemikian gampangnya, hanya dengan lagi-lagi permintaan maaf. Harus ada otoritas yang menyelidiki praktik layanan di RSCM dan di seluruh rumah sakit, memastikan SOP alat dan bahan sekali pakai benar-benar ditegakkkan.

Pihak RSCM juga seharusnya menuntut Prabowo ke polisi, mengadukannya sebagai fitnah. Demikian pula masyarakat yang resah, sepantasnya melaporkan Prabowo sebab jika tak terbukti, tindakan Prabowo adalah penyebaran kabar bohong yang patut berganjar pidana.

Saya penasaran, apakah setelah skandal pernyataan mesin cuci darah dipakai keroyokan ini Prabowo masih saja lolos dari hukuman publik, ataukah survei yang dilakukan 1-2 pekan ke depan menunjukkan kemiringan curam gerak menurun grafik elektabilas Prabowo?

Andai masih sama juga, mungkin kelak di negeri-negeri seberang kan tercipta ujar-ujaran, "none bitten twice in the same hole but Indonesian."


Sumber:

Tribunnews.com (02/01/2019) "Prabowo Soal Selang Cuci Darah Dipakai 40 Pasien: RSCM Bantah, Gerindra Sebut Bisa Jadi Khilfaf"

Tayang juga di Kompasiana.com/tilariapadika

***