Robohnya Baliho Kami, Kisah Pilu Perjalanan "Politik Belas Kasih" SBY

Kamis, 20 Desember 2018 | 06:26 WIB
0
556
Robohnya Baliho Kami, Kisah Pilu Perjalanan "Politik Belas Kasih" SBY
SBY dan baliho yang terkoyak (Foto: Liputan6.com)

Rasanya sebagai seorang yang kebetulan suka menulis, setiap kali membaca berita yang lucu-lucu ingin segera menuliskan apa yang tiba tiba terlintas dalam pikiran. Lalu saya teringat Ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan  sejumlah elite Partai Demokrat tampak pedih dan perih menyaksikan atribut kebanggaan mereka diisengi oknum yang mengaku utusan dari partai sebelah. Partainya petahana.

“Saya prihatin, saya tidak sedang bersaing dengan Pak Jokowi kenapa saya diperlakukan seperti ini?” kata SBY mengiba dengan mata berkaca-kaca menahan air yang bakal tumpah.

Air mata itu hampir menetes saat mantan Presiden menyaksikan bendera, foto-fotonya berkalang tanah tergelasah di rerumputan. Ini penghinaan besar. Sebab satu–satunya modal Demokrat adalah spanduk.

Mereka minder karena tidak ada yang bisa diandalkan untuk mendokrak suara partainya kecuali mencoba memainkan politik belas kasihan, ngetweet- ngetweet yang menunjukkan jejak kesuksesan masa lalunya. Padahal banyak orang tahu bahwa di samping kesuksesan karena bisa bertahan selama dua periode, kader-kadernya juga banyak mendekam di penjara karena kasus korupsi.

Warna biru itu lambang kedalaman… warna langit. Ia adalah lambang dari kecerdasan dan kebijaksanaan… Di masa lalu kita pernah berjaya karena ada seorang mantan presiden yang pernah menyia-nyiakan dia sebagai ahli strategi dan orator yang terukur dan mampu menghipnotis emak-emak karena pidatonya menunjukkan kecerdasannya dalam merangkai kata.

Indonesia tidak boleh lupa bahwa ia adalah bagian dari sejarah yang turut menyumbang kemajuan bangsa meskipun dia juga meninggalkan tugas besar bagi penerusnya berupa proyek-proyek mangkrak yang harus dibenahi agar tidak menjadi monumen kegagalan. Semua itu ada positif dan negatifnya… tidak ada manusia yang sempurna.

Tetapi Bapak ini masih ingin dikenang, maka pensiun dari pejabat bukan berarti pensiun ngetweet dan mengharu biru politik negeri ini yang tengah sakit karena kebanyakan micin. Kebanyakan berkhayal bahwa Indonesia akan punah bila tidak ganti presiden.

Herannya lagi pengikutnyapun percaya bahwa masa depan negeri ini akan jaya bila dipimpin oleh calon presiden yang pernah gagal-gagal dan gagal di periode sebelumnya. Tapi bukankah kegagalan itu adalah kesuksesan yang tertunda? Iya sih percaya! Tapi memimpin negara itu bukan hanya soal pandai beretorika, tetapi juga mampu menunjukkan ketedanan hidup yang berasal dari dari dirinya sendiri.

Jika seorang presiden mampu mengalahkan ego dirinya sendiri, tidak melibatkan keluarganya dalam proyek-proyek saat dirinya sedang berkuasa, menjaga keluarga tetap terlihat harmonis, mampu menndekat tanpa jarak dengan rakyatnya bukannya sudah cukup? Belum!

Indonesia itu unik. Kadang tampang menjadi kriteria utama dalam memilih seorang pemimpin. Kelihatan garang dan tegas menjadi impian sebagian orang yang karena kecewa tidak mendapat kue kekuasaan lalu membangun narasi bahwa rezim sekarang ini gagal. Rezim ini penuh orang–orang yang terindikasi Paham Merah. Paham sama rata-sama rasa. Yang berjargon kaum proletar… sosialis… dan ujungnya komunis.

Begitu gencarnya kaum ekstrem kanan memainkan isu PKI hingga tidak sadar masayarakat juga tengah dirusak adat ketimurannya yang dibangun lama oleh wali songo dan kyai- kyai tradisonal yang masih menginginkan kekuatan lokal, budaya asli menjadi watak dasar bangsa ini.

Sekarang ini budaya impor dengan menonjolkan kekasaran, aroma perang, pembedaan- pembedaan keyakinan menjadi ancaman serius relasi antar suku, agama, budaya bangsa. Ada yang alergi dengan bentuk salib bisa membuat seakan  akan ancaman bagi tanah pekuburan yang beragama. Tidak boleh ada suara-suara doa agama lain yan berkumandang.

Ada yang sengaja memanas-manasi situasi dengan gencar kotbah di tempat ibadah yang mengatakan tidak usah merayakan tahun baru karena tahun baru itu budaya agama Kristen. Yahudi dan orang barat. Ada ulama yang mengaku-ngaku keturunan nabi tetapi kelakuannya tidak seperti ulama tapi lebih dekat dengan preman..

Sekarang–simbol- simbol keagamaan amat kuat mencengkeram kehidupan sehingga relasi sosial budaya terhimpit oleh hasrat-hasrat fanatisme yang mempersempit kebudayaan masuk dalam masyarakat. Masyarakat mulai teracuni oleh paham–paham radikal yang cenderung mengkotak-kotakkan masyarakat.

**

Kembali ke pokok bahasan semula  tentang betapa sedihnya SBY yang merasa ia terus dizolimi karena tidak ada lagi penghormatan pada mantan pemimpin negara. Seharusnya seorang mantan pemimpin negara itu mendapat terhormat, terus dipuja dan dijadikan panutan.

Yah… kalau anda menempatkan diri sebagai mantan yang baik. Lupakan saja masa lalu… Anda tinggal duduk manis. Biarkan anak- anak Anda menemukan jati dirinya sendiri, berjuang dari nol untuk menemukan keyakinan dan tidak hidup dalam bayang-bayang ayahandanya.

Biarkan anak–anak mencari sesuap nasi hasil keringatnya sendiri jauhkan campur tangan ayah bundanya. Baliho yang jatuh berdebum biarkan saja. Ada yang lebih penting daripada sekedar rusaknya banner atau baliho.

Yang terpenting itu mampu memberi teladan politik santun dan mampu menyakinkan masyarakat bahwa seorang politikus itu bersih dari ambisi, bersih dari “drama” untuk menaikkan jumlah suaranya. Yakin saja jika anda masih mempunyai pengikut setia.

Tidak perlu merasa tersakiti karena bukankah ketika memilih jalur politik anda harusnya sadar akan menjadi sasaran nyinyir dan sasaran serangan fitnah. Tutup mata-tutup telinga mainkan saja strategi politik cantik menurut keyakinan sendiri.

"Baliho oh baliho, kenapa mesti dirobohkan sih...?!"

Hari gini masih menggunakan baliho...Medsos dong medsos...(itu kata anak saya)...bapaknya semakin tidak ngerti

tinggalkan baliho ganti yang lebih modern...lagian baliho, umbul- umbul, spanduk hanya bikin kotor kota saja...seperti sampah visual....

"Ngevlog jelas lebih keren...hehehe."

"Iya deh!"

***