Tak perlu teori ndakik-ndakik. Apakah kita mengalami konflik keagamaan secara nasional? Rasanya tidak.
Tak ada satu argumentasi yang dibangun konsisten untuk itu. Sampai pun kita juga akan bingung, ketika melihat bagaimana GNPF yang berbasis Rizieq Shihab (FPI) bisa bertemu mantan Muhammadiyah macam AR dan DAS. Kemudian ada HTI, PKS, Orbais, Tommy Soeharto.
Tiba-tiba Hasjim Djojohadikusumo membuka pintu untuk anak-turun PKI. Sementara KZ sebagai dieharder Prabowo selalu mengkampanyekan bahaya bangkitnya PKI di Indonesia. Atau Hasjim tergoda dengan informasi KZ, ada 30 juta anggota baru PKI?
Ini soal kelompok yang tersingkir secara politik dan ekonomi, karena terlempar dari kekuasaan, dengan kelompok yang mendaku berbekal Piagam Jakarta (tetapi juga punya kepentingan yang lain lagi, karena bisa jadi proxy war pihak asing –Arab Saudi pun bisa disebut pihak asing, bukan hanya Cina dan AS), yang sesungguhnya minoritas dari sisi jumlah. Hanya ngecer dan nebeng pada momen-momen tertentu, untuk mendapat tumpangan gratis.
Hasjim Djojokusumo berkali-kali nyebut bagaimana pengorbanannya (membiayai sang kakak nyapres). Kubu Capres 02 konon akhir Januari ini sudah mengeluarkan dana kampanye di atas Rp 80 milyar, sementara dana yang masuk Rp 93 milyar (kompasdotcom, 1/2).
Jumlah penyumbang terbesar, Sandiaga Uno Rp 60-an milyar dan Prabowo Rp 30 milyar. Dari masyarakat dan kelompok sekitar Rp 600 juta. Dan (menurut Sandiaga) belum ada setoran dari partai koalisi. Sementara kita lihat, beberapa orang HTI dan PKS menjadi tim pemenangan capres. Apakah ini perjuangan gratisan? Sementara kita juga tahu, PKS terancam mesti keluar duit Rp 30 milyar, karena konfliknya dengan Fahri Hamzah.
Sampai di sini dulu, kita merenungkan angka-angka itu, dan bagaimana peta kekuatan soliditas koalisi itu. Jika perlu, bisa dipertajam pertanyaannya; Soal elektabilitas capres, kemungkinan kemenangan dan kekalahannya, serta apa sebetulnya orientasi dan motivasi orang-orang di seputar capres? Mereka sesungguhnya pendukung fanatik, atau para oportunis?
Ini politik macam apa? Agama dimanfaatkan sebagai justifikasi untuk melakukan pembenaran pada apapun langkah mereka, dan legitimasi untuk mengesahkan apapun pilihan mereka. Agama dieksploitasi bukan untuk pencerahan, melainkan penggelapan.
Bayangkan saja FZ, FH, DAS, AR, AA, begitu agamaisnya ketika membela AD, dan umat bertakbir menyambut RG yang mengatakan kitab suci hanya fiksi, berkutbah di dalam masjid. Ini agama? Bukan. Ini politisasi agama. Makanya dulu, Cak Nur maupun Gus Dur pernah bilang ‘Islam yes, Partai Islam No.!’ dalam konteks bahaya politisasi itu.
Kalau ingin ngomongin agama dalam konteks religiusitas dan spiritualitas, datanglah pada ulama macam Quraish Shihab atau Gus Mus, dan yang sejenis keduanya. Engkau akan mendapatkan pencerahan yang berbeda.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews