Ngunduh Wohing Pakarti

Persoalan Wadas itu adalah ujian Ganjar Pranowo. Dan ia tampak sudah tidak lulus sejak awal. Saat pertama dulu, ia membiarkan polisi masuk ke desa hanya untuk berhadapan dengan ibu-ibu.

Jumat, 11 Februari 2022 | 09:57 WIB
0
338
Ngunduh Wohing Pakarti
Ganjar Pranowo (Foto: Facebook/Andi Setiono)

Apa yang terjadi pada Ganjar Pranowo pada hari-hari ini, apa yang oleh orang Jawa bilang sebagai: kesandung ing rata, kebentus ing tawang. Sesuatu yang seharusnya tidak terjadi, tapi terjadi juga. Bagaimana mungkin kita bisa jatuh di jalanan yang rata dan mulus, atau terbentur kepala kita padahal awan atau langit ada jauh sekali di atas kita. Inilah apa yang disebut orang Italia sebai que sera sera. Apa yang akan terjadi, terjadilah... 

Sedih menuliskannya, tapi demikianlah akhir ceritanya. Ia harus tampak buruk dan gagal, justru di tanah kelahirannya sendiri: Purworejo.

Saya selalu bilang, bahwa pemimpin Indonesia itu tidaklah boleh terlalu ganteng. Apalagi bila sampai ia menjadi idola ibuk-ibuk, karena permainan gestur dan body language-nya. Karena umumnya karakter seperti itu justru akan terpeleset oleh ulahnya sendiri.

Kita pernah punya pemimpin seperti itu dalam diri Sukarno. Dan ia adalah role-model terakhir yang bisa diterima, dengan segala "kebrutalan" persoalan kawin-cerai-selingkuh yang dramatis itu. 

Tapi ya hanya sekali itu, tak pernah ada lagi tokoh yang bisa berperilaku lagi seperti itu. Kecuali di lingkaran kecil para kadrun, yang pada akhirnya hanya menjadikan isu poligami sebagai kursus berbayar. Sekedar untuk mencari dan memperbesar komunitas mereka. Sekedar hanya jadi public enemy yang abadi.

Lepas dari rivalitasnya di Jawa Tengah dengan Bambang Pacul, yang pernah mengkritiknya sebagai "kemajon". Sebenarnya itu adalah alert, atau peringatan yang sangat dini. Gaya komunikasi dan profilingnya yang gila sosmed dan bersepeda mahal. Sangat jauh dari harapan publik kelas bawah, yang berharap ia bisa menjadi penerus Jokowi. Meneladani sikap ndeso, rendah hati, tapi penih kesungguhan dan kesabaran. Tapi ia tidak!

Persoalannya ia hanya tampak baik, karena rival atau kompetitornya secara sosial-politik adalah mereka yang disokong oleh mereka yang berbau kadrun. Walau sesungguhnya mereka juga sekedar numpang "kost". Sebut saja Anies Basweda dan Ridwan Kamil. GP tampak "sedikit" lebih baik karena sikapnya yang lebih tegas sebagai orang bercitra "anti kadrun". 

Sikap keras anti-kadrun-nya inilah, yang menjadikannya dalam survei-survei-an atau poling-poling-an oleh lembaga pemeringkat popularitas menempatkannya pada titik tertinggi. Yang kalau dibaca secara bijak dan jujur sebagai "cuma sedikit lebih tinggi". Sesuatu yang sebenarnya di era sosmed ini, cara merekayasanya juga sangat mudah sekali. 

Dan hingga bum, terjadilah peristiwa Wadas. Sebuah peristiwa yang sesungguhnya terlalu biasa. Sangat biasa. Kenapa? 

Pembangunan bendungan, lepas dari kontroversinya bagi saya adalah suatu keberanian dalam membuat suatu rencana jangka panjang. Dibanding proyek infrastruktur apa pun, membangun bendungan semsetinya selalu menjadi alternatif paling multiguna. Realitas tertingginya, di masa depan kita itu akan semakin butuh air. Jauh lebih butuh dari masa apa pun. Siapa pun yang mampu mengendalikan air, ia lah pemilik sesungguhnya masa depan. 

China, sebagai contoh paling kongkret. Ia dianggap maju, sebenarnya bukan sekedar karena teknologi, ekonomi, maupun militernya. Tapi ia dianggap super power sesungguhnya, saat ia berani memindahkan aliran sungai Yangtze di Selatan yang berlimpah air. Melawan gravitasi bumi ke arah Utara yang miskin air, dengan biaya ribuan triliun yang akan tercatat sebagai proyek infrastruktur terbesar sepanjang sejarah umat manusia.

Dalam sejarah umat manusia, proyek "dolanan banyu". Merekayasa air tercatat selalu mengubah sejarah peradaban manusia. Sebuat saja salah duanya Terusan Suez dan Terusan Panama. Membuktikan air selalu memberi jalan baru ke dunia baru. 

Dalam konteks inilah, semestinya siapa pun manusia-nya harus menerima rencana pembangunan waduk itu. Apalagi dalam konteks Waduk Bener, ia akan tercatat dalam sejarah sebagai bendungan tertinggi di Pulau Jawa.

Artinya ia sudah menjauh sedemikian rupa dari dataran rendah yang umumnya menjadi lahan produktif. Ia menjangkau dua kabupaten dengan elevasi tertinggi di Jawa Tengah: Purworejo dan Wonosbo.  

Dalam konteks Wadas, bahkan apa yang dirumorkan sebagai "galian tambang". Sebenarnya justru kelebihan dari waduk itu sendiri. Di mana kebutuhan akan batu untuk konstruksinya dapat diperoleh tak jauh dari lokasi waduk itu dibangun. Di sini, tampak sekali "permainan isu" yang tidak dikelola dengan baik sejak awal. Bahkan sangat terkesan ada permainan bisnis yang tak tertangani secara baik sejak awal.

Demikianlah pada akhirnya nasib GP. Sikap abainya, keengganannya menangani masalah sejak awal. Apa yang orang-orang Jogja bilang "dumeh nang kampunge dewe". Persoalannya akan besar dan serius, jika seluruh masyarakat menolak. Tapi kan sebenarnya itu hanya sebagian, dan itu wajar saja terjadi pada semua proyek besar. Jangan hanya karena "ganti untung" lalu semua persoalan dianggap selesai. Saya mencatat, tak satu pun proyek ganti untung yang bisa mensejahterakan secara permanen dalam jangka panjang. 

Sebut saja satu saja? Bandara, Tuban, jalan tol? Tak ada....

Persoalan Wadas itu adalah ujian Ganjar Pranowo. Dan ia tampak sudah tidak lulus sejak awal. Saat pertama dulu, ia membiarkan polisi masuk ke desa hanya untuk berhadapan dengan ibu-ibu. Dan sekali lagi, ia mengulangi, hanya untuk sekedar mendampingi petugas BPN mengukur tanah.

Saya tak habis pikir, bagaimana mungkin pembiaran itu terjadi. Di era, masyarakat sudah sangat sebel melihat ada polisi dengan tameng dan pentungan berhadapan dengan rakyatnya sendiri. 

Ora cucuk blas, not worth it. Goblog saja pakai banget..

Tapi demikianlah, sejarah selalu mencatat. Bagaimana alam menjadi pennetu nasib seseorang di masa datang. Ia memberikan berkah, sekaligus ujian. Bukan pada ada demo atau tidak. Ada SJW atau LSM. Itu kan pribadi-pribadi dan kelompok-kelompok yang ndompleng kasus, yang wajar saja ada dimana-mana. 

Ganjar dalam bagian lain, membuktikan pepatah Jawa yang lain lagi. Ia terlalu cepat untuk sesuatu yang seharusnya ia bersabar. Tapi terlalu lambat, dimana harusnya ia bersegera. 

Deweke sing kesusu ning ora ngerti ngoyak apa, ning malah rendet ora ngerti sing dienteni apa....

NB Ganjar adalah profiling bahwa ngono ya aja ngono. Ia ngunduh wohing pakarti, memetik buah apa yang dilakukannya dulu sekali. Bukan persoalan besar sesungguhnya. Beberapa waktu lalu, ia mengejek masyarakat sendiri dengan menggunakan kaos guyon (tapi ora parikeno). Hanya ingin membuktikan apa yang sering dianggep ironis atau lucu atau satir oleh dirinya sendiri sebagai: uasu kabeh!

Bagi saya, sekarang ia menuai karmanya. Ketika saat ini, semua yang ada di sekitarnya dadi asu kabeh. Njegog kabeh. menggonggong semua!